SOLOPOS.COM - Puitri Hati Ningsih (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (25/2/2016), ditulis Puitri Hati Ningsih. Penulis adalah aktivitas di Komunitas Pawon Sastra Solo.

Solopos.com, SOLO — Sudah lima kali festival jenang digelar di Solo. Pada 14-17 Febuari 2016 lalu festival yang diprakarsai Yayasan Jenang Indonesia (YJI) diadakan kembali di tempat yang sama, kawasan Ngarsopura.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tema jenang bahari telah dua kali ini diusung. Pada tahun ini ditambah dengan tema jenang Nusantara. Jenang Nusantara itu mencakup jenang pecah intan dari Kepulauan Riau, jenang marhaban dari Kalimantan Timur, jenang khas Jambi, Menado  sampai Papua.

Ada pula jenang kreasi baru seperti jenang cinta yang mahkotanya berwarna ungu menyala dari buah naga. Pengunjung festival bisa menikmatinya dengan gratis. Ada jenang yang dikenal luas masyarakat Solo, seperti jenang mutiara, jenang lemu, jenang sumsum, pati garut, ketan ireng, jenang grendul.

Ada pula jenang yang belum pernah dimakan pengunjung, misalnya jenang sukun yang ditampilkan Hotel Sahid Raya Solo. Masyarakat umumnya suka menikmati sukun goreng untuk penganan pagi atau sore untuk teman minum teh. Di festival jenang  pekan lalu bisa ditemukan jenang sukun.

Menurut G.P.H. Dipokusuma dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dalam saresehan tentang sejarah jenang di Omah Sinten, 16 Febuari 2016, di depan siswa-siswa SMA se-Solo, zaman dulu ada jenang pelok.

Jenang pelok saat ini menjadi jenang langka, bersama jenang langka lain seperti jenang bekatul,  jenang nangka, dan jenang duren. Jenang pelok sangat mengusik saya. Ingatan saya samar-samar kembali ke masa kecil.

Saat itu saya tahu jenang pelok ini atau malah sudah pernah menyantapnya.  Menurut cerita ibu saya, Sri Indrastuti, 68, di Solo ketika ia masih remaja suka membuat jenang pelok dengan teman sepermainannya.

Pelok atau biji mangga dikeluarkan dari balutan daging mangga lalu diparut dan diperas,  diambil sari patinya, kemudian direbus dengan santan kelapa, daun pandan, kayu manis, dan gula jawa. Jadilah jenang pelok itu.

Di festival jenang di sepanjang jalan kawasan Ngarsopura dari depan Pura Mangkunegaran sampai perempatan Pasar Pon, saya tak menemukan jenang pelok. Mungkin jenang pelok telah dilupakan orang di era digital, era jagat online ini.

Sejarah jenang memang tak bisa lepas dari kehidupan wong Jawa. Banyak upacara adat Jawa yang menggunakan jenang sebagai ubarampe atau sajen, misalnya dalam upacara slametan. Contohnya jenang suran disajikan pada  bulan Sura. Jenang suran adalah jenang dengan taburan ikan teri di atasnya.

Ubarampe upacara yang berupa jenang lainnya adalah jenang grendul, jenang mutiara, jenang ketan ireng, jenang pathi, jenang garut, jenang lemu, jenang tumpang, jenang sambel goring, dan masih banyak lagi nama jenang dalam kitab-kitab lama.

Jenang abang putih atau jenang merah putih adalah jenang lemu yang dimasak dengan gula merah. Konon merupakan lambang perempuan. Jenang ini dikenal pula sebagai jenang slametan dan melambangkan warna bendera gula kelapa, warna merah putih.

Bubur sumsum yang terbuat dari tepung beras sampai kini masih dibuat dan disajikan oleh orang yang selesai punya gawe atau lebar duwe gawe.  Jenang sumsum biasanya dibagikan kepada seluruh anggota panitia yang ikut kumbokarnan atau panitia mantu.

Jenang sumsum dimaksudkan untuk menghilangkan segala rasa lelah di perasaan, pikiran, dan sekaligus fisik. Kini jenang sumsum bisa dipesan dari pengusaha catering. Zaman dulu orang yang lebar punya gawe membuat sendiri jenang sumsum di belakang rumah dengan rewangan tetangga.

Jenang yang mengiringi untuk slametan ada jenang ngebor-ebori, yaitu jenang yang dibuat khusus untuk ibu hamil saat usia kandungan masih muda. Jenang ini dibuat dari tepung beras atau jenang lemu.

Saya kadang masih menerima antaran tetangga yang memberikan jenang procotan, jenang yang diwadahi daun pisang, pada zaman dulu diwadahi takir, wadah segi empat dari daun pisang yang disemati lidi d iujungnya. Sekarang jenang procotan disajikan dalam piring dengan alas daun pisang.

Jenang procotan yaitu jenang dari tepung beras dengan gula merah dan di tengahnya atau di bawah dasar jenang ada pisang raja yang membujur dan ditorehi santan kelapa kental. Jenang itu untuk selamatan kandungan ibu yang mendekati akhir sembilan bulan atau mengantarkan bayi yang hampir lahir, biasanya sepekan sebelum hari perkiraan lahir.

Ada jenang sewengenan yang dibagi kepada tetangga ketika bayi yang lahir berusia sehari. Berikutnya adalah jenang  sepasaran bayi, yaitu jenang terbuat dari labu atau beras dan diberi sayur sambel goreng dari labu siam dan telur rebus.

Jenang sepasaran bayi ini dibagikan kepada tetangga bila umur bayi telah menginjak delapan hari atau sepasar. Dari sekian banyak jenang yang dikenal masyarakat Jawa memang tak satu pun resep jenang yang menggunakan hasil laut atau bahari ke dalam kuali jenang nenek moyang orang Jawa.

Mungkin jenang suran yang ditumpangi ikan teri sebagai mahkota bisa mewakili jenang bahari sebagai tema festival jenang pada dua tahun terakhir ini. Menurut kebiasaan orang Jawa, mencampurkan jenang dan memasaknya bersama ikan memang kurang lazim.

Orang Jawa menganggap pencampuran ikan menimbulkan kesan amis pada jenang. Jenang khas Manado yang memasukkan sayuran juga memakai ikan asin, tapi cara memasaknya tidak jadi satu, ikan asin hanya sebagai pendamping jenang bersama sambal. [Baca selanjutnya: Budaya Terbuka]Budaya Terbuka

Pada setiap Ramadan di dekat masjid kampung di kawasan Kratonan, Solo  ada tradisi memasak jenang dengan kuali besar sekali untuk semua jemaah masjid itu dan masyarakat luas. Pembuatan jenang itu adalah tradisi para pendatang dan perantau dari Banjarmasin yang kemudian menetap di Solo.

Jenang khas Ramadan itu menggunakan bumbu rempah-rempah dan daging kambing yang menggugah selera. Warnanya agak kekuningan karena kunir. Orang-orang datang dengan membawa wadah dari rumah.



Tradisi memasak dan membagi jenang itu turun-temurun sejak tokoh pertama yang mentradisikan membagi jenang itu secara merata untuk setiap orang yang datang ke masjid itu saat Ramadan.

Jenang bahari mencoba merevolusi jenang dengan memasukkan unsur hasil laut ke dalam jenang. Di era pemerintahan  Presiden Joko Widodo ini, kekayaan bahari sedang diangkat ke permukaan dengan kebijakan-kebijakan khusus yang diterapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Para koki dikenalkan dengan jenang bahari. Bahannya adalah beras, labu (waluh), kangkung, bayam, kemangi, sambal tomat, garam, dan ikan teri goreng. Resep itu dibacakan oleh dua pembawa acara di panggung pembukaan Festival Jenang pada 14 Februari 2016 lalu.

Masyarakat Jawa dikenal dengan pola pikir yang luwes, bisa menerima budaya baru. Jenang khas Ramadan dari Banjarmasin di Kampung Kratonan tadi adalah salah satu buktinya.

Masyarakat Jawa memiliki jenang suran yang menambahkan ikan teri di bagian atas. Mungkin jenang suran dan jenang bahari ada benang merahnya, yaitu ikan teri tadi.

Nenek moyang kita punya frasa yang begitu terkenal, begitu puitis, dan berima, yaitu nggoleka jeneng dhisik jenange keri. Artinya, carilah nama baik dan harga diri dulu baru nanti kemakmuran dan harta dunia itu akan menyusulmu. Begitu terjemahan bebasnya.

Kekuatan bahari yang telah lama terlupkan seolah-olah memperkenalkan diri  dengan jeneng, mencari nama baik dulu dengan mendekat ke masyarakat melalui jenang yang lebih dulu mentradisi.

Setelah itu, jenang sebagai simbol kemakmuran akan mengikuti  dengan terwujudnya kemakmuran rakyat negeri ini dari hasil laut. Semoga ini menjadi doa kita dan Tuhan mengabulkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya