SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (15/8/2017), karya Bandung Mawardi dari Bilik Literasi. Alamat e-mail bandungmawardi@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Setahun setelah peristiwa bersejarah, proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, terbit buku berjudul Djangka Djajabaja Sempoerna dengan Peristiwa Indonesia Merdeka garapan R. Tanojo. Buku itu diterbitkan oleh Sadoe Boedi, Solo, dalam tiga jilid.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Proklamasi merangsang literasi mengacu teks-teks sastra klasik. Pemaknaan aktual diajukan agar ada keterhubungan masa lalu dan masa sekarang. Pada tahun-tahun menjelang kemerdekaan, para pujangga dan kaum intelektual di Jawa sudah terbiasa membahas Djangka Djajabaja.

Mereka berharapan jangka atau ramalan terbukti. Penantian panjang mewujud dengan kemerdekaan. Jangka itu pernah dituliskan dan diajarkan. Ratusan tahun dilewati untuk pembuktian.

Ekspedisi Mudik 2024

Tanojo menjelaskan: … saja akan mengadjak sekalian pembatja, tidak hanja mengetahoei maksoednja kitab Djangka Djajabaja itoe sahadja, akan tetapi ada pentingnja djikalau sekalian pembatja soeka menjelidiki sedalam-dalamnja, betapa akan maksoed hasratnja sang poedjangga itoe jang sekarang betoel-betoel dapat diwoedjoedkan oleh ketoeroenan bangsanja!” Ramalan itu disahkan ”betoel-betoel dapat diwoedjoedkan.”

Kita mengerti bahwa sejarah kolonialisme tak cuma dipahami sebagai wujud nalar politik modern dan peristiwa militer. Di benak orang-orang Jawa, misteri mengikuti realitas-realitas selama ratusan tahun. Misteri  mengandung pengertian-pengertian tak bernalar Barat atau bercap modern.

Kolonialisme berlangsung tapi tak dipastikan kukuh saat orang berpijak pada jangka atau pembukaan misteri dalam kalimat-kalimat puitis dan magis. Kitab itu digubah oleh Pangeran Widjil I, 1743. Barangkali kitab itu gubahan terakhir, sebelum sang pujangga wafat pada 1747.

Pangeran Widjil I berasal dari Kadilangu, mengabdi kepada Paku Buwono II. Gubahan-gubahan sastra jadi penanda perubahan alur kekuasaan di Jawa. Dia itu pujangga sekaligus peramal. Di Jawa, penghormatan kepada jasa Pangeran Widjil diwujudkan melalui ritual simbolis berwujud hidangan: nasi putih, bobor kerokot, pisang raja, bunga, boreh, sirih, dan dupa.

Selanjutnya adalah: Pujangga jadi tokoh terhormat…

Pujangga

Pujangga jadi tokoh terhormat, referensi pengertian-pengertian politik, agama, etika, dan seni. Sejak gubahan Djangka Djajabaja muncul pada abad XVIII, Jawa bergerak dengan ramalan-ramalan meski dicengkeram kolonialisme. Jawa tak merasa kalah. Ramalan kemenangan, jangka kamardikan, ramalan kemerdekaan, menantikan ratusan tahun.

Pada abad XX, ramalan itu semakin membesar. Kalangan pergerakan kebangsaan dan kaum terpelajar berpendidikan Barat tetap bereferensi pada kitab lawas bermisteri. Pembentukan Sarekat Islam dan gerakan-gerakan perlawanan perlahan jadi pembuktian ramalan.

Pewarta Soerabaia (1913) pernah memuat berita tentang kerusuhan-kerusuhan di Jawa. Peristiwa itu jadi pertanda bakal berlaku jangka dari gubahan pujangga bernama Pangeran Widjil. Orang-orang mulai sibuk menafsir Djangka Djajabaja dan menanti pembebasan Jawa dari kolonialisme.

Soekarno bertumbuh dalam kegandrungan orang-orang pada Djangka Djajabaja (Bernard Dahm, 1987). Soekarno memilih menoleh ke ramalan modern dari Karl Marx, pemikir dari negeri jauh. Ramalan itu berisi keruntuhan kapitalisme.

Ambisi Membenarkan Ramalan

Soekarno mengelak dari kalimat-kalimat misteri pujangga Jawa tapi memiliki ambisi membenarkan ramalan dalam kalimat-kalimat filosofis lelaki berjenggot lebat itu. Kita simak petikan penjelasan Soekarno dalam Indonesia Menggoegat (1930) yang menghubungkan ramalan dan realitas kolonialisme.

”Haraplah memfikirkan, Toean-Toean Hakim, apakah sebabnja rakjat senantiasa pertjaja dan menoenggoe-noenggoe datangnja Ratoe Adil, apakah sebabnja sabda Praboe Djajabaja sampai ini hari masih teroes menjalakan harapan rakjat…”

”Tak lain tak boekan ialah oleh karena hati rakjat jang menangis itoe tak henti-hentinja, tak habis-habis menoenggoe-noenggoe atau mengharap-harapkan datangja pertolongan, sebagaimana orang jang berada dalam kegelapan tak berhenti-henti poela saban djam, saban menit, saban sekon, menoenggoe-noenggoe dan mengharap, kapan, kapankah matahari terbit?”

Selanjutnya adalah: Kaum pergerakan kebangsaan.

Pergerakan

Di lingkungan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kaum pergerakan kebangsaan, Djangka Djajabaja tetap menjadi urusan pelik akibat dianut oleh ribuan orang. Politik modern mesti berhadapan dengan jangka dari kitab sastra tua, kitab yang ditulis ratusan tahun silam.

Rangkaian peristiwa-peristiwa politik sejak 17 Agustus 1945 dijadikan ”cerita” oleh Tanojo. Buku Djangka Djajabaja Sempoerna dengan Peristiwa Indonesia Merdeka jilid 2 dimulai dengan pembenaran ramalan. Bukti-bukti disebutkan dan disertai penjelasan-penjelasan ringkas. Buku itu memuat konklusi pemerintah negara Republik Indonesia merdeka dapat menyempurnakan cita-cita Djangka Djajabaja.

Pembaca diajak membaca kutipan-kutipan dari kitab tua disandingkan penjelasan-penjelasan mengenai teks proklamasi, UUD 1945, dan Maklumat Pemerintah 1 November 1945. Kemerdekaan tak sanggup “menepikan” hal-hal di luar nalar poilitk modern atau bercap Barat.

Di Jawa, ramalan tetap berlaku dan terus bergerak ke masa depan. Di ujung pembahasan kita membaca pekik-pekik bertanda seru: Djajabaja! Indonesia djaja! Indonesia tetap merdeka! Abadi! Buku itu telah mengartikan dan mengiringi kemerdekaan. Buku bersampul tokoh Arjuna, bendera merah putih, dan bola dunia.



Kita diajak bergeser ke literasi unik, tak melulu mengenang kemerdekaan melalui teks-teks ampuh garapan Soekarno, Mohamad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Muhammad Yamin. Di Solo seorang pengarang terkenal bernama Tanojo justru mengembalikan pembaca ke ingatan masa silam. Kemerdekaan tak cuma hasil dari partai politik, risalah, demonstrasi, rapat umum, atau bedil.

Sejarah panjang Indonesia dipengaruhi gubahan Djangka Djajabaja. Sejarah dituntun kalimat-kalimat puitis bermisteri. Kemerdekaan tak mutlak hasil rasionalitas modern. Di kalangan wong Jawa, kemerdekaan itu ”boeah kalam” para pujangga dari abad XVII saat Jawa mulai kehilangan terang dan merana. Buku itu pernah ada meski kita melupakan dan meremehkan jika dibandingkan buku-buku berisi kutipan-kutipan pemikir Barat dan mutakhir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya