SOLOPOS.COM - Flo. Kus Sapto W (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (13/7/2015), ditulis Flo. Kus Sapto W. Penulis adalah praktisi pemasaran.

Solopos.com, SOLO — Agenda reshuffle Kabinet Kerja mengemuka pada hari-hari terakhir ini. Potensi reshuffle salah satunya terlihat dari berbagai ekspresi kekecewaan elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengakomodasi orang-orang partai di pemerintahan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Indikasi lain adalah hasil survei Indo Barometer yang menempatkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi hanya sebesar 57,5% persen. Akankah tekanan partai politik dan hasil survei itu mampu mendorong Jokowi melakukan reshuffle?

Terhadap berbagai tekanan politik, Jokowi sebaiknya menempatkan diri secara rendah hati sebagai petugas partai dan memosisikan amanahnya sebagai presiden dengan bijaksana. Dengan demikian posisinya bisa dipahami sebagai pengejawantahan amanat partai yang justru membutuhkan beberapa pengecualian berbeda dengan petugas partai di internal organisasi.

Jokowi tentu bisa menjelaskan bahwa ”orang partai” tidak selalu harus identik dengan kader di struktural. Semua kandidat profesional yang menjunjung demokrasi, berpihak kepada rakyat bawah, menghargai pluralisme, menolak diskriminasi, menjunjung nasionalisme adalah penganut ideologi partai, meski tidak berasal dari partai.

Jika ”orang partai” masih diartikan secara sempit, PDIP hampir pasti akan kekurangan kader mumpuni. Secara objektif harus diakui PDIP sebagai partainya wong cilik dan kuat di akar rumput adalah fakta tak terbantahkan.

Justru karena menjadi partainya kaum marginal itulah sumber daya manusia (SDM) di internal PDIP masih sangat terbatas dalam kualitas pendidikan dan kemampuan profesional tertentu. Data base di bagian penelitian dan pengembangan PDIP akan sangat mendukung kondisi itu.

Selain itu, modal sosial dalam penguasaan jumlah massa di akar rumput tidak lagi relevan dengan kinerja profesi. Kesepahaman akan posisi Jokowi dan potensi objektif di internal tersebut akan sangat membantu kesesuaian gerak langkah dan kebijakan politik PDIP dan Jokowi ke depan.

Jika hanya berdasarkan hasil survei publik melalui sejumlah lembaga secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dan kemudian harus menilai kinerja kabinet dan diri sendiri selama tujuh atau delapan bulan pertama ini, bisa saja penilaian masih dipengaruhi oleh pemberitaan media.

Sangat mungkin publik terpengaruh oleh seringnya pemberitaan negatif terhadap beberapa kebijakan pemerintahan Jokowi sehingga memersepsikan masifnya pemberitaan sebagai sebuah kesimpulan.  Pada tujuh hingga delapan bulan pertama pemerintahan Jokowi–JK, publik memang disuguhi sejumlah berita menghebohkan dari beberapa kementerian. [Baca selanjutnya: Perdebatan]

 

Perdebatan
Misalnya terkait Kurikulum 2013. Keputusan penghentian dan atau pelaksanaan selektif atas kurikulum baru itu sempat menimbulkan kegaduhan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh sempat terlibat perdebatan di media massa.

Selanjutnya adalah berita penenggelaman kapal-kapal pencuri ikan di perairan Indonesia. Tindakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ini layak diapresiasi. Setelah itu, sebagai kelanjutan dari pelanggaran izin terbang pesawat Air Asia QZ8501, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan membekukan sementara izin terbang lima maskapai. Garuda Indonesia dan Susi Air termasuk di dalamnya.

Selanjutnya berita yang melibatkan setidaknya tiga kementerian (Kehutanan, Perdagangan, dan Perindustrian) terkait masalah sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Berita lainnya adalah keributan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Seolah-olah terjadi saling serang antara dua lembaga itu. Calon Kapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK (13/1). Penetapan status tersangka itu berlanjut pada penetapan tersangka terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh polisi (23/1).

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly turut memberi sumbangan berita dengan keputusannya mengesahkan kepengurusan Agung Laksono dalam konflik dualisme di Partai Golongan Karya (Golkar). Bagaimana sebaiknya publik memaknai berbagai pemberitaan yang sarat dengan nuansa keributan itu?

Keributan–dalam perilaku organisasi disebut konflik–adalah situasi ketika dua atau lebih pihak berbeda sikap. Perbedaan itu bisa terjadi antara dua atau lebih divisi dalam satu institusi maupun dua atau lebih institusi dalam satu organisasi induk (kabinet).

Bagi pencapaian sebuah tujuan, keributan justru diperlukan, terutama ketika keributan itu menyangkut cara-cara bekerja untuk mencapai tujuan. Keributan juga dibutuhkan ketika berkenaan dengan orang atau pihak yang seharusnya melaksanakan pekerjaan itu.

Hal ini bisa karena secara aturan paling berwenang atau secara kemampuan diyakini paling kompeten atau sebaliknya. Keributan semacam ini bersifat positif (Robbins, 2005). Demua pihak yang terlibat sedang mencari cara terbaik.

Demikian juga penetapan pelaksana terbaik. Selebihnya, apakah keributan pemberitaan terkait menteri atau Kabinet Kerja sejauh ini dapat diartikan sebagai sebuah kinerja positif? Pemberitaan, seturut paparan Gaye Tuchman dalam Making News by Doing Work (1973), bisa diklasifikasikan dalam lima kategori, yaitu hard news, soft news, spot news, developing news, continuing news.

Meskipun artikel yang dimuat dalam American Journal of Sociology itu tinjauan utamanya adalah pengelolaan berita oleh jurnalis, namun ada beberapa hal menarik terkait korelasi berita dan kejadian nyata. Sekecil apa pun kejadiannya dan termasuk kategori berita apa pun bukanlah berasal dari ketiadaan.

Termasuk di dalamnya adalah berita tentang kejadian-kejadian yang tidak diharapkan (unexpected). Misalnya perampokan, pembunuhan, bencana alam, dan kecelakaan. Artinya, jika kinerja seorang menteri atau institusi masuk dalam pemberitaan, bisa diyakini a memang demikianlah yang dilakukan oleh menteri atau institusi itu. [Baca: Riuh]

 

Riuh
Jadi, terlepas dari produktif tidaknya sebuah pekerjaan/keributan diberitakan, secara positif minimal menunjukkan bahwa pihak-pihak yang diberitakan memang sedang bekerja.  Apakah dengan demikian menteri atau institusi yang tidak masuk dalam keriuhan pemberitaan sedang tidak bekerja atau justru sebaliknya?



Di dalam kajian pemasaran, dikenal sebuah strategi keep in the news atau menjadikan berita sebagai bagian dari promosi. Tidak penting benar apa substansi pemberitaannya (baca: pekerjaannya), bahkan tatkala harus memunculkan keributan yang bisa dikategorikan sekadar asal ribut ala para artis atau politikus.

Belakangan diketahui bahwa dengan keributan itulah artis atau politikus bekerja atau menciptakan pekerjaan untuk dirinya sendiri. Setidaknya dari publikasi keributan itu mereka kemudian diundang ke berbagai talk show. Si artis menjadi laris dan si politikus tetap eksis.

Jika demikian halnya, menteri atau institusi kementerian semacam ini hanyalah pembuat berita yang pintar berwacana, tapi bukan pekerja. Jadi, pertimbangan Jokowi-JK melakukan reshuffle atau tidak, tentunya akan tetap didasarkan pada evaluasi kerja yang nyata, bukan sekadar pertimbangan untuk dijadikan pemberitaan atau sekadar karena sering menjadi berita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya