SOLOPOS.COM - Toto Suharto (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (29/7/2015), ditulis Toto Suharto. Penulis adalah dosen di IAIN Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Islam Nusantara, menurut Azyumardi Azra (Republika.co.id¸18 Juni 2015), secara normatif-doktrinal mengacu pada Islam yang menganut rukun iman dan rukun Islam kaum ahlussunnah wal jama’ah (suni) sebagaimana disepakati mayoritas ulama otoritatif.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam batas tertentu, Islam Nusantara memiliki distingsi sendiri dengan Islam lainnya di belahan dunia lain. Kenyataan ini bisa dilihat dari ortodoksi Islam Nusantara yang memiliki tiga unsur utama, yaitu kalam (teologi) Asy’ariyah; fikih Syafi’i, meski juga menerima tiga mazhab fikih suni lainnya; dan tasawuf Al-Ghazali.

Dengan distingsi ini, ortodoksi Islam Nusantara ini berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi yang hanya mengandung dua unsur, yaitu kalam (teologi) salafi-Wahabi dan fikih Hanbali. Tasawuf ditolak ortodoksi Islam Arab Saudi karena dianggap mengandung banyak bidah yang sesat.

Bagi Azra, karakter Islam Nusantara adalah Islam wasatiyah (moderat) yang representasi paling sempurnanya adalah Islam Indonesia yang inklusif, akomodatif, toleran, dan dapat hidup berdampingan secara damai dengan umat lain.

Dengan demikian, Islam Indonesia adalah model sempurna Islam Nusantara dengan karakter moderatnya. Pada 5 Juni 2015, di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan rapat terbatas dengan mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam dan rektor sejumlah Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia, untuk menggagas pendidikan Islam moderat di Indonesia.

Ekspedisi Mudik 2024

Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi menegaskan Islam Indonesia adalah Islam yang moderat, yang rukun, dan selalu damai berdampingan dengan agama lainnya. Ini merupakan sebuah cermin Islam yang bukan hanya menimbulkan citra yang baik terhadap bangsa Indonesia yang plural, tetapi juga rahmah li al-‘alamin.

Untuk itu, diperlukan sebuah perguruan tinggi Islam yang moderat. ”Perguruan tinggi Islam moderat yang betul-betul sebuah universitas yang besar, yang nanti akan menjadi kiblat perguruan tinggi Islam,” demikian kata Joko Widodo, sebagaimana diberitakan Pikiran Rakyat (5/6).

Pertanyaannya, apakah pendidikan Islam di Indonesia saat ini belum dipandang moderat sehingga perlu dibangun sebuah perguruan tinggi Islam moderat? Pertanyaan ini memang layak dimunculkan sebab dalam sejarah panjangnya Islam masuk ke wilayah Nusantara dengan penuh kedamaian.

Ini terjadi sejak 600 tahun yang lalu (Thomas W. Arnold, 1985: 352). Islamisasi penuh kedamaian ini segera berubah setelah Indonesia memasuki era reformasi 1998. Menurut catatan Tim Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia atau Pusham UII (2009: 38), akhir Orde Baru merupakan prakondisi bagi munculnya berbagai kelompok gerakan Islam ”baru” yang berada di luar kerangka mainstream Islam Indonesia yang dominan, semisal Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, Al-Wasliyah, Jamiat Khair, dan sebagainya.

Organisasi-organisasi seperti gerakan tarbiah (yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera atau PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin, Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, dan sebagainya merupakan representasi generasi baru gerakan Islam di Indonesia itu.

Oleh Ahmad Syafi’i Mufid (2011: 215-216) beberapa gerakan yang berada di luar mainstream Islam Indonesia itu disebut sebagai gerakan transnasional, yaitu kelompok keagamaan yang memiliki jaringan internasional, yang datang ke suatu negara dengan membawa paham keagamaan (ideologi) baru dari negeri seberang (Timur Tengah) yang dinilai berbeda dari paham keagamaan lokal yang lebih dahulu eksis.

Beberapa kelompok keagamaan Islam atau gerakan yang dianggap transnasional adalah Al-Ikhwanul Muslimin (gerakan tarbiah) dari Mesir, HTI dari Lebanon (Timur Tengah), salafi dari Saudi Arabia, syiah dari Iran, dan Jamaah Tabligh dari India/Banglades.

Keenam gerakan atau kelompok keagamaan Islam tersebut saat ini berkembang di Indonesia. Mereka berupaya menancapkan paham keagamaan melalui lembaga pesantren, perguruan tinggi atau kampus-kampus, majelis-majelis taklim, lembaga-lembaga amil zakat, infak, dan sedekah.

Mereka membawa paham keagamaan (ideologi) baru yang dalam perkembangannya acap kali menimbulkan gesekan dengan beberapa kelompok keagamaan Islam yang telah lebih dahulu ada. Sejak ini, berbagai peristiwa yang disebut radikalisme dan terorisme sering dan selalui menghantui Indonesia. [Baca: Ideologi]

 

Ideologi
Gagasan untuk memunculkan pendidikan Islam moderat kiranya mendapat momentum saat gerakan keagamaan transnasional itu mulai menancapkan ideologinya melalui lembaga-lembaga pendidikan yang mereka dirikan.

Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini telah terfragmentasi dalam beragam ideologi. Lembaga pendidikan di bawah naungan pemerintah, baik berupa madrasah negeri atau sekolah negeri, memiliki ideologi yang jelas, yaitu ideologi negara: Pancasila.

Lain halnya dengan lembaga pendidikan swasta yang dikelola suatu organisasi atau yayasan tertentu, ideologi pendidikannya tergantung pada ideologi organisasi atau yayasan tersebut. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan swasta tak jarang menjadi agen atau penyemai ideologi suatu organisasi atau yayasan induknya.

Sebuah lembaga pendidikan Islam dapat dikategorikan pengusung Islam moderat manakala organisasi atau lembaga induknya memiliki ideologi Islam berpaham moderat. Sebaliknya, suatu lembaga pendidikan Islam dapat dikategorikan pengusung Islam radikal manakala organisasi atau lembaga induknya memiliki ideologi Islam berpaham radikal.

Untuk konteks Indonesia, Islam moderat dicirikan oleh Masdar Hilmy (2013: 28) sebagai: (1) ideologi nonkekerasan dalam menyebarkan Islam; (2) mengadopsi cara hidup modern dengan semua turunannya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi, demokrasi, hak asasi manusia, dan sejenisnya.

Kemudian; (3) penggunaan cara berpikir rasional; (4) pendekatan kontekstual dalam memahami Islam; (5) penggunaan ijtihad untuk membuat pendapat hukum dalam kasus yang tidak ada pembenaran secara eksplisit dalam Alquran dan sunah; dan (6) memiliki sikap seperti toleran, harmoni dan kerja sama di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda.

Dengan beberapa karakteristik ini, Islam moderat sesungguhnya adalah Islam rahmah li al-‘alamin (QS Al-Anbiya: 107), yaitu Islam yang bukan ekstrem atau radikal, yang senantiasa tidak menekankan pada kekerasan atau tidak menempuh garis keras dalam mengimplementasikan keberislaman.

Kelompok Islam liberal atau kelompok islamis selama mereka menempuh jalur yang bukan rahmah bukan dikategorikan Islam moderat. Ideologi Islam moderat tersebut seyogianya disemaikan, dikuatkan, dan dilestarikan melalui berbagai media dan sarana. [Baca: Lembaga Pendidikan]

 

Lembaga Pendidikan
Salah satu media yang sangat strategis bagi penguatan dan penyemaian ideologi Islam moderat adalah jalur pendidikan. Menurut Syamsul Arifin (2014: 416), peran dunia pendidikan dapat diplot sebagai salah satu institusi yang dapat dioptimalisasi untuk melakukan apa yang disebut dengan deradikalisasi.

Peran pendidikan, terutama yang dikelola umat Islam, diharapkan dapat melakukan peran tersebut bersama institusi lainnya sehingga wajah Islam di Indonesia tetap terlihat ramah, toleran, moderat, namun tetap memiliki martabat di mata dunia.

Untuk melihat lembaga pendidikan Islam moderat di Indonesia, lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah dan NU dapat dijadikan model. Tanwir Muhammadiyah di Bandung pada 2012 telah memutuskan tentang ideologi Muhammadiyah, yaitu ”ideologi Islam yang berkemajuan yang memandang Islam sebagai din al-hadarah”.

Ideologi berkemajuan ini ditandai dengan beberapa karakter, salah satunya adalah Muhammadiyah bercorak reformis-modernis dengan sifat wasatiyah (tengah, moderat) untuk membedakannya dari ideologi-ideologi lain yang serbaekstrem. Muhammadiyah dengan karakter ideologi seperti ini, menurut Haedar Nashir (2015: 57), berbeda dengan gerakan Islam radikal-liberal yang serba liberal dalam melakukan dekonstruksi atas ajaran Islam sehingga serba relatif.

Pada saat yang sama Muhamamadiyah juga berbeda dengan gerakan radikal-fundamentalis semisal salafi, Wahabi, tarbiah/Ikhwanul Muslimin, Taliban, Jama’ah Tabligh, Islam Jama’ah, Jama’ah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Ansharut Tauhid, Islam tradisional, Majelis Tafsir Alquran, dan kelompok Syiah.

Ideologi Muhammadiyah dengan watak moderat itu dijewantahkan dalam kurikulum matapelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Menurut Mohamad Ali (2010: 34-35), mata pelajaran ini merupakan ciri khas pendidikan Muhammadiyah yang menjadi ”identitas objektif” yang diterima publik di luar Muhammadiyah dengan lima identitas.

Pertama, menumbuhkan cara berpikir tajdid/inovatif. Kedua,  memiliki kemampuan antisipatif. Ketiga, mengembangkan sikap pluralis. Keempat, memupuk watak mandiri. Kelima, mengambil langkah moderat.

Jika peserta pendidikan di Muhammadiyah memiliki lima identitas objektif ini, nuansa perbedaan lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan lembaga pendidikan pemerintah atau perguruan Islam lainnya akan kentara.



Dengan identitas objektif inilah pendidikan yang dikelola Muhammadiyah menjadi penyemai Islam moderat. Pendidikan Muhmmadiyah mengandung gagasan pendidikan Islam moderat yang disemaikan kepada peserta didik sehingga mereka memiliki karakter Islam moderat sebagaimana ideologi perjuangan Muhammdiyah itu sendiri.

Sementara di NU, menurut Zamzami, Bendahara Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan (LP) Maarif, NU telah merumuskan platform pendidikan melalui matapelajaran Aswaja dan Ke-NU-an yang secara secara kultural ditanamkan ke dalam seluruh aspek di lingkungan satuan pendidikan NU (www.maarif-nu.or.id).

Selain mata pelajaran ini, nilai-nilai ahlussunnah wal jama’ah yang merupakan ideologi NU juga disemaikan melalui kultur pendidikan yang dibangun. Menurut Masduki Baidlawi, Wakil Ketua Pengurus Pusat LP Maarif, yang diwawancarai Mahbib Khoiron dari  NU Online (dalam www.nu.or.id),  NU bermaksud mengembangkan apa yang dikonsepsikan sebagai ”SNP-Plus”, yaitu memiliki standar nasional pendidikan (SNP) ditambah (plus) standar kearifan lokal ke-NU-an.

Standar kearifan lokal itu mencakup mata pelajaran keaswajaan dan nilai-nilai ke-NU-an, seperti tasamuh (toleransi), tawasut (moderat), tawazun (seimbang), dan i’tidal (tegak). Inilah “SNP-Plus” yang menjadi kekhasan LP Maarif NU dan sekaligus menjadi standar mutu Maarif-nya.

Nilai-nilai kultural ini dimasukkan ke dalam LP Maarif NU, selain mata pelajaran Aswaja dan Ke-NU-an. Model pendidikan moderat yang diusung LP Maarif NU adalah ”SNP-Plus” yang merupakan integrasi antara matapelajaran Aswaja dan Ke-NU-an dengan nilai-nilai kultural ke-NU-an yang berbasis ideologi ahlussunnah wal jama’ah.

Pendidikan moderat ”SNP-Plus” inilah kiranya yang menjadi instrumen NU untuk menyemai karakter Islam moderat kepada ribuan lembaga pendidikannya sehingga outcome dari lembaga ini diharapkan memiliki paham Islam moderat yang menjadi karakter dan ideologi NU.

Dengan demikian, Muhammadiyah dan NU memiliki gagasan untuk mencanangkan pendidikan Islam moderat melalui perjuangan teologis-kultural masing-masing. Pertanyaan pentingnya, apakah kedua organisasi ini mampu untuk terus berjuang mengusung Islam moderat melalui gagasan pendidikan Islam moderat?

Islam Indonesia dewasa ini memiliki banyak varian ideologi radikal yang tentunya juga mempunyai lembaga pendidikan sebagai wahana untuk menyemai ideologi radikalnya. Oleh karena itu, Islam Indonesia saat ini sedang mengalami semacam pertarungan ideologis antara Islam moderat versus Islam radikal.

Tragisnya, pertarungan ideologis ini terjadi dalam kancah lembaga pendidikan Islam. Bagaimana pertarungan ini terjadi? Di sinilah letak perlunya menggagas pendidikan Islam moderat bagi Islam Nusantara.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya