SOLOPOS.COM - Mohamad Fauzi Sukri fauzi_sukri@yahoo.co.id Peminat filsafat pendidikan Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo

Mohamad Fauzi Sukri  fauzi_sukri@yahoo.co.id   Peminat filsafat pendidikan Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo

Mohamad Fauzi Sukri
fauzi_sukri@yahoo.co.id
Peminat filsafat pendidikan Bergiat di Bale Sastra Kecapi Solo

Harus dikatakan bahwa Islam di Indonesia saat ini adalah Islam yang beralfabet Latin, bukan Islam yang berhuruf Arab, atau Islam yang beraksara Jawi. Ketika menyusuri jalan-jalan di Kota Solo dan melihat papan nama masjid, dapat dipastikan sebagian besar nama masjid tidak ditulis dengan huruf Arab tapi sudah ditulis dengan alfabet Latin.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Belum banyak saya temukan penulisan nama masjid dengan aksara Jawi, yakni berbahasa Jawa tapi menggunakan huruf Arab seperti yang digunakan di berbagai pesantren salaf Nahdlatul Ulama, jadi bukan aksara Jawa atau Carakan.

Pada Ramadan dan bulan-bulan yang lainnya, di toko buku kita dapat memastikan buku-buku Islam ditulis dengan alfabet Latin. Ini tentu saja termasuk buku tafsir Alquran atau hadis, seperti karya Mahmud Yunus, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), atau Quraish Shihab, dan seterusnya.

Kita sudah jarang sekali menemukan buku-buku berhuruf Arab di sekitar kita (selain Alquran), meski tentu saja kalau mau kita bisa membeli buku berhuruf Arab atau berhuruf Jawi di toko buku sekitar Masjid Agung Solo atau di beberapa toko buku lainnya.

Perpustakaan daerah dan perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia tak bisa dimungkiri hampir dapat dipastikan didominasi buku-buku beralfabet Latin. Perguruan tinggi Islam di Indonesia tentu saja adalah pemeluk alfabet Latin, bukan huruf Arab.  Kita tidak bisa mengelak mengatakan alfabet Latin sudah mendominasi kehidupan beragama kita saat ini.

Ini bukan fenomena yang terjadi mendadak, radikal, dan menggoncangkan. Kita tak begitu menyadarinya dalam kehidupan sehari-hari. Ini tentu saja berbeda dengan yang pernah terjadi di Turki pada 1928. Pada tahun itu Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) melakukan revolusi pendidikan di Turki.

Mustafa Kemal menemukan dan membuat kesimpulan bahwa jumlah penduduk Turki buta huruf sebanyak 91% dan itu disebabkan oleh pemakaian huruf Arab yang terlalu sulit. Mustafa Kemal mengundang sarjana asing untuk menyesuaikan bahasa-aksara Turki dengan a-b-c alfabet Latin.

Dan secara resmi alfabet Latin digunakan pada pertengahan 1928, atau hanya sekitar tiga bulan dari rencana awal, meski para sarjana asing itu meminta waktu lima tahun untuk diterapkan. Proganda dan pengajaran alfabet Latin dilakukan di mana-mana. Rakyat di seluruh negeri harus belajar alfabet Latin.

Mustafa Kemal sendiri berkeliling mengajar dan menguji kemampuan alfabet Latin rakyat Turki. Surat kabar diganti dengan alfabet Latin (Suwirjadi, 1950). Dan tentu saja ini dengan sendirinya juga mengakibatkan pelarangan bahasa Arab dan Parsi yang sebelumnya menguasai Turki.

Dan tak mengherankan jika di sana-sani bahasa Turki yang miskin kemudian mengadopsi begitu banyak kosa kata Prancis sebagai kiblat kemajuan. Akibat kebijakan politik aksara ini, banyak penulis-seniman kaligrafi yang terpukul dan kehidupan mereka merosot. Mereka dilarang belajar dan menulis huruf Arab dan sekolah-sekolah mereka ditutup.

Dan mereka mengeluh secara emosional-intensif dalam hati mereka. Tuhan tidak tertarik pada abjad Latin. Nafas-Nya yang padat tidak dapat meluncur di atas huruf-huruf berbentuk pendek tambun yang terpisah-pisah itu. Atatürk telah mengusir Tuhan dari negeri ini. Demikiam kata para seniman kaligrafi berulang-ulang, sebagaimana ditulis Yasmine Ghata (2008) dalam novel Seniman Kaligrafi Terakhir.

Tuhan tidak pernah terusir dari Turki, tapi generasi mudanya perlahan terputus dan terusir dari bacaan (kebudayaan) berhuruf Arab yang masih tersimpan di perpustakaan. Di Indonesia, pada 1928, seperti kita tahu, terjadilah Sumpah Pemuda yang masyhur itu, dan tentu saja abjad yang dipakai adalah alfabet Latin yang pada waktu itu dikenal sebagai ”Hoeroef Wollanda/Olanda”, ”Letter Olanda”, atau ”Letter” saja.

Tapi, pada 1928, atau 392 tahun sejak diperkenalkan pada 1536 di Ambon oleh Antonio Galvao (Munsyi, 2005: 55), alfabet Latin sudah memiliki kedudukan kuat khususnya di kalangan terpelajar pribumi atau di kalangan Islam modernis (juga neomodernis). Surat kabar dan buku-buku kaum Islam modernis di Minangkabau (juga di Jawa) sudah ditulis dengan alfabet Latin (Hadler, 2010).

Sudah tidak ada lagi perlawanan atau bahkan pengafiran terhadap ”alfabetisasi” yang memang menjadi proyek Belanda untuk menggantikan huruf Arab-Melayu yang jadi dasar aksara kaum militan Islam. Di Aceh, sekolah bentukan Belanda yang mengajarkan alfabet Latin pernah dituduh membuat anak-anak Aceh menjadi kafir.

Bahkan muncul kabar angin bahwa anak yang menulis alfabet Latin akan kehilangan tangan kanannya di akhirat. Tapi, sekolah Islam modern yang muncul di awal abad XX, madrasah, di samping mengajarkan aritmatika, sejarah, geografi dan bahasa Melayu, juga memasukkan baca-tulis alfabet dalam kurikulumnya (Kwartanada, Basis, No. 05-06 tahun ke-60, 2011).

Sampai sekarang, tiap kali ada berita tentang buta aksara, dapat dipastikan bahwa yang dimasudkan adalah buta alfabet Latin. Seperti kesimpulan Mustafa Kemal Attaturk yang menyatakan 91% warga Turki buta huruf, ini sebenarnya adalah buta huruf Latin, dan sering terdengar merendahkan huruf Arab (atau aksara Jawa), bukan sebagai kenyataan, mengingat pengajaran huruf Arab diberikan pada anak-anak sejak dini hampir di setiap daerah Islam, termasuk di Indonesia.

Tak mengherankan jika pada November 1940 M. Natsir (1954: 107-8) masih mengatakan,”Baru kira-kira 4% dari penduduk Indonesia jang pandai tulis batja huruf Latin.”  Lebih lanjut Natsir mengatakan,”Sebelum bahasa Belanda mendjadi bahasa pembawa ketjerdasan itu, sudah terlebih dulu bahasa Arab menjadi satu-satunja pembuluh kebudajaan bagi kita anak Indonesia”.

Natsir juga mengatakan,” Melihatlah di sekeliling tuan, perhatikanlah ketjerdasan bangsa kita sekarang ini! Selidikilah, djangan di kota jang besar2 sadja akan tetapi masuklah ke kampung dan ke desa2, di situ tuan akan mendapatkan gambaran, bagaimana besar djasanya bahasa Arab ini bagi ketjerdasan bangsa kita. Belum ditilik lagi dari djurusan keagamaan, akan tetapi baru dari djurusan ketjerdasan umum.”

 

Kritik

Tapi, tampaknya Natsir belum membaca kritik pengajaran bahasa Arab yang pernah ditulis R.A. Kartini dalam suratnya. Pada 6 November 1899 Kartini menulis,”Dan, sebenarnya saya beragama Islam. Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak mengenalnya? Tidak boleh mengenalnya? Alquran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apa pun juga. Di sini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Alquran, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu suatu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna bacaannya.”

Memang secara umum, kecuali di pesantren salaf dan beberapa lembaga pendidikan, pengajaran Alquran lebih sebagai mengajarkan melafalkan, bukan dan belum sampai membaca sebagaimana kita membaca buku beralfabet Latin. Dan pada akhirnya, sebagian besar umat Islam Indonesia saat ini memahami Alquran dari huruf Latin atau terjemahannya.

Sebagian mencibir tentang hal ini, tapi tentu saja mereka sering tidak bisa lebih dari itu. Yang dibutuhkan adalah pemahaman dan pengertian, bukan sekadar membaca ala mantra. Pertanyaannya, apakah keislaman umat Islam alfabet Latin ini tidak ”tentik” atau ”murni”, seperti halnya dengan Islam yang berhuruf Arab atau Arab-Melayu sebelumnya atau Islam aksara-Jawi?



Dan apa yang akan terjadi jika semua khazanah Islam klasik yang berhuruf Arab dan yang kontemporer yang beralfabet Latin (termasuk yang berbahasa Inggris yang terus membesar secara menakjubkan) diterjemahkan semua ke dalam bahasa Indonesia, dengan alfabet Latin tentu saja?

Hal yang pasti adalah kita mendapati bahwa negara Indonesia menjadi Islam huruf Latin terbesar di dunia. Dan kalau pun ada seorang alim cendekiawan Islam yang pandai membaca-memahami yang berhuruf Arab, tetap saja akan dipaksa untuk menulis dalam alfabet Latin.

Dari huruf Arab keluar alfabet Latin, seperti buku-buku yang kita baca selama ini, meskipun kita sering disuguhi transliterasi Arab-Latin. Dan, kalau kita melihat perkembangan transliterasi Arab-Latin dalam bahasa Indonesia, kita bisa dengan pasti mengatakan bahwa ejaan yang berbau Arab perlahan dihilangkan sampai hampir tidak ada lagi yang mengakomodasi pengucapan-penulisan Arab (Ali, 2000).

Sebagian besar kita tidak tahu lagi arti secara etimologis dan terminologis kata yang sebenarnya berasal dari bahasa Arab, khususnya yang mengandung konsep Islam. Dalam masalah ini, salah satu tokoh pemikir pendidikan Islam, Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, adalah yang paling mencemaskan politik bahasa ini.

Al-Attas mengatakan bahwa hal pertama yang dilakukan Islam terhadap bahasa Arab adalah perusakan kemudian islamisasi bahasa Arab yang sesuai dengan ”medan semantik” dan ”pandangan dunia Islam”. Begitu juga yang terjadi dengan bahasa Melayu sehingga masuk dalam rumpun bahasa Islam.

Tapi, yang terjadi kemudian sampai sekarang adalah deislamisasi bahasa-bahasa Islam yang mengakibatkan kebingungan dan kesalahan dalam menafsirkan Islam itu sendiri dan pandangan dunianya (Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, 1984). Pandangan ini mungkin ada benarnya, tapi tidak secara total mutlak.

Islam alfabet Latin juga memberikan pemahaman yang jauh lebih mudah, mendalam, dan hampir merata di kalangan umat Islam Indonesia. Lagi pula, tiap bahasa mau tidak mau pasti akan tersentuh bahasa, termasuk bahasa Arab.

Akhirnya pertarungan bahasa ini, meski sudah dalam bentuk alfabet Latin, masih belum selesai terutama lewat terjemahan buku-buku Islam, dan terus melahirkan generasi Islam alfabet Latin.

Mungkin kita masih bertanya: apakah generasi Islam alfabet Latin tidak lebih alim-islami daripada mereka yang berhuruf Arab? Untuk jawaban ini, sebaiknya Anda melihat perilaku saja, jangan aksara atau bahasa. Perilaku lebih fasih daripada bahasa.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya