SOLOPOS.COM - Zakiyuddin Baidhawy (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (9/7/2015), ditulis Zakiyuddin Baidhawy. Penulis adalah Direktur Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Solopos.com, SOLO — Sejak awal Muhammadiyah lahir dengan jati diri sebagai gerakan tajdid, gerakan dakwah amar makruf dan nahi mungkar. Elan vital gerakan ini adalah teologi Al-Maun.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Teologi Al-Maun termanifestasi dalam tiga ranah peradaban; schooling, healing, dan feeding. Yang pertama adalah ranah pendidikan yang terus mekar dan tumbuh.

Yang kedua mengembangkan layanan kesehatan bagi umat manusia tanpa mengenal batas agama, etnis, dan kultur. Yang terakhir menumbuhkan layanan sosial  yang merambah ke seluruh penjuru negeri.

Ketiganya terus menyinari negeri ini. Belum ada tanda-tanda redup. Sinarnya semakin cerah dan mencerahkan. Banyak organisasi dan gerakan keagamaan Islam dan non-Islam meneladani langkah-langkah Muhammadiyah dalam membangun peradaban di tiga ranah ini.

Muhammadiyah sendiri tak akan pernah puas dan berhenti berkarya untuk bangsa. Tajdid merupakan instrumen untuk menggerakkan pembaruan sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu.

Seabad telah berlalu. Abad kedua sudah tiba. Setiap zaman memiliki episteme sendiri. Kurun ini membuka ruang baru bagi peran publik dan peran peradaban Muhammadiyah.

Islam berkemajuan dan peradaban utama yang diusung Muhammadiyah bersinggungan dengan progresivitas dunia kontemporer. Gerakan-gerakan civil society global menggeliatkan peran dan fungsi sosial terbarukan.

Kecenderungan  ini adalah  ide dan praksis “filantropi baru”. Dalam satu dasawarsa terakhir, organisasi ini sedang giat merambah tiga ranah pembaruan melengkapi tiga ranah kovensional.

Tiga ranah itu adalah Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Muhamamdiyah (Lazismu), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM).

Tulisan ini hendak menyoroti kreativitas kepemimpinan Lazismu dalam mengawal agenda pencerahan peradaban bangsa. Mengawal dengan Islam berkemajuan, salah satunya di sektor filantropi.

Muhammadiyah cerdas membaca tanda-tanda zaman terkait publikasi tentang reformasi kesejahteraan dan kewirausahaan sosial sebagai filantropi baru. Beberapa karakteristik filantropi ini adalah sebagai berikut.

Pertama,  Giddens (2000) menunjukkan bahwa pilar gerakan ini adalah progresivitas baru yang berjuang demi kesempatan yang sama, tanggung jawab pribadi, dan aktivisme masyarakat.

Kedua, perspektif baru cenderung  melihat bahaya pasar yang mestinya dibatasi oleh pemerintah. Hale menyatakan para pemilih ”jalan ketiga” berupaya untuk memasyarakatkan ”nilai-nilai sosial” daripada nilai-nilai individualis.

Blair, mantan perdana menteri Inggris, menyatakan bahwa ”jalan ketiga” menata kembali sejarah kebijakan ekonomi dan sosial. Pasar yang efektif adalah prasyarat untuk ekonomi modern yang sukses.

Ketiga, Crutchfield (2008) menegaskan tentang kecenderungan organisasi nirlaba untuk menjadi agen katalisator perubahan. Keempat, Egger menekankan tentang pemanfaatan pendekatan  bisnis untuk menjalankan organisasi nirlaba.

Kelima, Frances (2008) mendefinisikannya sebagai penggunaan nilai pasar secara layak untuk mengidentifikasi masalah, memahami biaya dan manfaat dari solusi.

Keenam, Foster (et.al., 2009) berpendapat para pemimpin organisasi nirlaba bahkan jauh lebih canggih dalam membuat program daripada para pemberi dana organisasi mereka. [Baca: Menyambut Fajar Baru]

 

Menyambut Fajar Baru
Lazismu lahir pada 2002 sebagai tengara Muhammadiyah siap kembali sebagai mujadid di kurun kedua. Spirit Al-Maun baru dalam Lazismu didasarkan pada keadilan sosial, pembangunan manusia, dan pengentasan kemiskinan.

Lembaga amil ini meramu isu-isu kontemporer yang menjadi problem besar bangsa ini. Kemiskinan, marginalisasi sosial, kemerosotan sumber daya manusia, dan ketidakadilan sosial di tengah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi positif.

Lazismu mengemban misi mereformasi kesejahteraan. Kesejahteraan bukan semata-mata pertumbuhan material, bahkan menciptakan hidup lebih manusiawi, bermartabat, dan layak bagi setiap warga. Reformasi itu berpijak pada kedermawanan dalam masyarakat muslim.

Lembaga amil ini memanfaatkan potensi zakat, infak, sedekah, wakaf, dan donasi filantropi lainnya untuk didayagunakan secara produktif bagi redistribusi kesejahteraan yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab negara.

Ketika negara kurang hadir di dalam persoalan ini, Lazismu memberikan alternatif. Sesuai analisis Gidden, Lazismu membuka harapan baru  bagi pemerataan kesejahteraan yang berkeadilan.

Kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai tujuan ditopang oleh instrumen kewirausahaan sosial. Lazismu membuat terobosan. Pengelolaan  zakat, infak, dan sedekah bukan lagi untuk aktivitas-aktivitas karitatif an sich, bahkan memasuki wilayah produktif dan redistributif.

Program-program pemberdayaan dengan pendekatan kewirausahaan sosial bermaksud agar kedermawanan dapat melahirkan kesejahteraan sosial yang lebih besar dan luas.

Dengan cara ini, Muhammadiyah dapat terus mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga sipil bermuruah yang terlepas dari intervensi negara yang berisik, bahkan dapat menjadi alternatif bagi ketidakhadiran  peran dan fungsi negara dalam meningkatkan martabat dan kesejahteraan warganya.

Gidden menyebut peran semacam ini sebagai agent of transformation.  Karakteristik filantropi baru dari Lazismu terlihat pada pengabdiannya atas nilai-nilai sosial.

Lazismu adalah instrumen untuk mewujudkan  nilai-nilai Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (baldah thayyibah).

Mengemban  risalah Islam rahmatan lil `alamin, Lazismu mengelola sumber dana dan sumber daya berasaskan amanah. Di satu sisi, amanah adalah menerima tanggung jawab dari Allah SWT untuk mengelola   dan menyejahterakan penduduk bumi.

Di sisi lain, Lazismu menerima tanggung jawab atas titipan zakat, infak, dan sedekah para muzaki dan dermawan untuk didistribusikan secara benar dan adil. Harta, uang, kekayaan dan wakaf yang diterima oleh manajemen Lazismu bukan semata untuk didistribusikan kepada mustahik.

Manajemen dituntut menciptakan lembaga amil yang berdaya, sustainable, dan mampu memberdayakan “mustahik menjadi muzaki”, dan  mengembangkan kehidupan masyarakat luas. Lazismu menopang penubuhan nilai ”kepercayaan” (trust) dari dan kepada Allah dan ”kepercayaan” dari dan kepada sesama manusia.

Amanah juga terinternalisasi sebagai budaya kerja dan orientasi para pengelolanya. Mereka profesional dalam pengumpulan, produksi, konsumsi, dan distribusi harta/kekayaan zakat, infak, dan sedekah.



Profesionalisme ditunjukkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program filantropi secara terukur. Transparansi dalam pengelolaan dana filantopi juga bagian dari amanah.

Pelaporan secara berkala dilakukan. Untuk  mewujudkan profesionalisme dan transparansi itu, Lazismu dilengkapi dengan wali amanah, dewan syariat, dewan pengawas, dan badan pengurus.

Tidak cukup sampai di situ, tertib pelaporan  dipertanggungjawabkan dalam sidang tanwir dan muktamar Muhammadiyah. Nilai amanah dimanifestasikan dalam bentuk tanggung jawab profesional dan transparansi penggunaan dan pengelolaan dana filantropi.

Sebagai lembaga amil, Lazismu mempunyai hak untuk memanfaatkan dana filantropi sebanyak 20%. Sepanjang lembaga ini beroperasi dalam 13 tahun terakhir, Lazismu hanya memanfaatkan maksimal 12,5% dari total dana yang diterima dari para muzaki dan dermawan.

Persentase 12,5% itu dipergunakan untuk keperluan manajemen dalam mengelola aset hingga terdistribusi secara tepat, benar, dan adil kepada sasaran asnaf yang telah didefinisikan melalui survei dan observasi lapangan.

Wajah filantropi baru dari Lazismu dapat diperhatikan dari fakta-fakta kecanggihan lembaga ini dalam membuat program melampaui para muzaki, dermawan, dan bahkan corporate social responsibility penyumbang dana.

Apa yang dikemukakan Egger di atas memperoleh faktualitasnya dari program-program filantropi yang dikembangkan oleh Lazismu.

Secara garis besar program-program Lazismu mencakup pengembangan pendidikan (education development), pemberdayaan pertanian (agriculture empowerment), kewirausahaan pemuda, perempuan berdaya, pemberdayaan masyarakat berbasis masjid, dan pemberdayaan dai.

Pemberdayaan merupakan salah satu representasi dari teologi Al-Maun, suatu kesadaran dan praksis sosial untuk membuat yang lemah menjadi mandiri dan kokoh di atas kemampuannya sendiri.



Dengan kreasi dan inovasi berbagai program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, Lazismu telah memerankan diri sebagai agen katalisator perubahan sosial  melampaui umat Muhammadiyah dan Islam.

Sejalan dengan tengara Crutchfield, peran semacam ini memperlihatkan bahwa Muhammadiyah adalah agen proxy yang menjadi perantara bagi perubahan sosial yang lebih besar, bukan untuk dirinya sendiri namun bagi masyarakat luas di luar sana.

Meminjam Gramsci, Lazismu sedang memainkan fungsi sebagai kekuatan alternatif bagi negara yang pincang dalam pemberdayaan masyarakat. Muhammadiyah terus  mendorong dan mengarahkan perubahan sosial bagi pemerataan dan distribusi kesejahteraan.

Agenda-agenda dan program-program pemberdayaan yang ditopang oleh  filantropi Lazismu adalah ”kritik” atau resistensi atas ketidakhadiran negara dan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan umum.

Sebagai kekuatan sipil Islam moderat yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945, Muhammadiyah bersedia mengabdikan dirinya untuk melakukan kontestasi atas negara dalam kerangka fastabiqul khayrat untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya