SOLOPOS.COM - Muh Kholid AS Santri Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo (1993-1999). (FOTO/Istimewa)

Muh Kholid AS
Santri Pondok Pesantren
Al-Mukmin, Ngruki,
Sukoharjo (1993-1999). (FOTO/Istimewa)

Orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, pernah menyatakan bahwa Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) sebagai Kementerian ”Santri”. Selain dikelola oleh para tokoh yang paham tentang agama, kementerian ini juga mengajarkan tentang ragam kebaikan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kementerian ini menjadi salah satu benteng terpenting bangsa Indonesia agar terhindar dari ragam borok peradaban. Kementerian ini menjadi salah satu senjata terpenting untuk turut berkiprah membangun masa depan Indonesia yang lebih agamis dan bermartabat.

Gambaran ideal tentang kementerian santri ini ternyata ibarat jauh panggang dari api. Alih-alih lembaga ini menjadi garda terdepan dalam melawan korupsi, kementerian ini justru menjadi salah satu tempat bersemainya borok peradaban tersebut. Seperti pada 2013 ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, Kemenag kembali dinilai sebagai salah satu institusi terkorup.

Bahkan, penilaian tentang korupsi di kementerian ini kini tidak hanya datang dari kalangan ”luar”, melainkan juga muncul dari “dalam”. Pengakuan jujur dari kalangan internal, meski sebenarnya tidak mengejutkan, diungkap Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenag, M Jasin.

Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menemukan potensi korupsi triliunan rupiah dalam penyelenggaraan pernikahan. Aturan hanya menetapkan biaya administrasi pernikahan Rp30.000, tetapi banyak penghulu atau pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) yang memungut hingga jutaan rupiah.

Jika setiap pernikahan dipungut biaya Rp500.000, dengan perkiraan ada 2,5 juta pernikahan per tahun maka total pungutan liar mencapai Rp1,2 triliun. Dalam kesempatan berbeda, Jasin juga mengungkap adanya sejumlah pejabat Kemenag yang memiliki rekening gendut atau di luar batas kewajaran.

Jumlah saldo dalam rekening mereka tidak sesuai dengan profil jabatan yang diemban. Rekening mencurigakan ini tak hanya dimiliki oleh pejabat Kemenag pusat, tetapi juga yang ada di daerah-daerah. Meski belum menyebut angka pasti jumlah pejabat yang memiliki rekening gendut tersebut, pihak Irjen mengakui bahwa angkanya lumayan banyak.

Penilaian telak yang berasal dari ”luar” berasal dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga tersebut juga mengindikasikan adanya pengeluaran yang tidak transparan terkait pengelolaan dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) senilai Rp80 triliun dengan bunganya yang mencapai sekitar Rp2,3 triliun.

Analisis PPATK ini jelas menambah buram wajah kementerian yang sekarang dipimpin Suryadharma Ali itu. Apalagi, lima tahun silam, Indonesia Corruption Watch (ICW) sudah menuding adanya permainan di balik pengelolaan BPIH yang mencapai triliunan rupiah.

Kejujuran Irjen Kemenag dan analisis PPATK ini tentu menjadi kabar yang membikin miris bangsa yang telah muak dengan korupsi ini. Sebagai kementerian yang menjadi payung dari agama-agama seharusnya memang tak boleh terkait dengan ragam praktik borok peradaban [korupsi].

Kementerian ini punya tanggung jawab utama yang terkait erat dengan misi moral dan ketuhanan yang seharusnya menjauhkannya dari ragam perilaku korupsi. Dengan alasan apa pun, tindakan korupsi merupakan salah satu bentuk penistaan terberat terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.

Pada 2011, survei KPK telah memosisikan Kemenag di peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pemerintah pusat. Sejarah juga menunjukkan bahwa institusi yang dulunya bernama Departemen Agama ini menjadi pemegang rekor koruptor (mantan) menteri: KH Wahib Wahab dan KH Prof Said Agil Husin Al Munawar.

Tentu akan semakin banyak lagi pejabat/pegawai Kemenag yang terseret ke penjara jika dirunut pada level jabatan yang lebih bawah. Melirik sejarah tersebut, tentu dibutuhkan sikap tegas dan responsif Kemenag untuk memperbaiki diri agar bersih dari korupsi.

Posisi sebagai lambang moral seharusnya membuat Kemenag punya filter ”lebih” ketat untuk menyaring dan mencegah terjadinya tindakan amoral. Terlebih lagi, dasar tujuan pembentukan lembaga ini terkait dengan tugas pembinaan, pelayanan dan perlindungan kehidupan umat beragama.

 

Penjaga Moral

Idealnya kementerian ini mampu berkontribusi pada peningkatan pemahaman dan pengamalan agama dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa. Tugas yang tak kalah beratnya adalah meningkatkan pendidikan agama dan wawasan keagamaan yang dinamis serta mengawal akhlak dan moral bangsa.

Dengan ragam fungsi yang secara tekstual cukup mulia tersebut, tak mengherankan jika masyarakat berharap Kemenag berada di garda terdepan dalam melawan korupsi. Harapan ini tidak lepas dari logika dan fakta bahwa Kemenag telah menjadi simbol moral bangsa Indonesia.

Tentu menjadi preseden yang ironis jika kalangan yang sehari-harinya mengurus agama, tapi justru tidak menjadi simbol pemberantasan korupsi. Sikap menyimpang ini bisa-bisa akan mengubah pola pikir masyarakat terhadap korupsi: masyarakat menjadi semakin permisif terhadap korupsi.

Masyarakat kian tidak mempersoalkan korupsi sebagai penyakit yang membahayakan moral bangsa. Masyarakat semakin memandang bahwa korupsi bukanlah persoalan penting yang  harus segera mereka sikapi, sebab teladan dari ”lembaga penjaga moral” justru terjerembab dalam kemelut penyakit ini (Zuhairi Misrawi: 2012).

Perilaku permisif terhadap segala bentuk penyimpangan terbukti sebagai salah satu pendorong terjadinya praktik korupsi yang semakin subur, seiring dengan hilangnya idealisme dalam menegakkan nilai-nilai kebajikan.

Tantangan sejarah Kemenag untuk menunjukkan sebagai kontributor peradaban memang sangat berat. Sebagai aparatur pemerintah yang menyandang nilai-nilai agama, akhlak dan moral, Kemenag harus berada di garda terdepan dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

Idealisme ini tak luput dari keluhuran nilai-nilai agama yang mengajarkan ragam kebajikan yang harusnya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai masyarakat mengolok-oloknya sebagai lembaga yang dihuni para pengkhotbah, tapi banyak pegawainya yang berprofesi sampingan sebagai pencuri. Allah a’lam bi al-shawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya