SOLOPOS.COM - Halim H.D. halimhade@gmail.com Networker kebudayaan Pengelola Studio Plesungan Solo

Halim H.D. halimhade@gmail.com Networker kebudayaan Pengelola Studio Plesungan Solo

Halim H.D.
halimhade@gmail.com
Networker kebudayaan
Pengelola Studio Plesungan
Solo

Saya senantiasa tertarik dengan apa yang selalu dinyatakan para pakar pertanian. Mereka mengungkapkan hubungan kuat antara jagat pertanian dengan lingkungannya telah menciptakan dasar-dasar kebudayaan.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Melalui pengolahan lingkungan pertanian yang menghasilkan bahan makanan maka kesinambungan kehidupan berjalan seperti yang diharapkan, dari satu generasi ke generasi, berkesinambungan dari zaman ke zaman.

Kesinambungan inilah yang mempertemukan dan menciptakan bentuk kebudayaan yang lebih mumpuni, suatu sistem nilai beserta perangkatnya yang dengan bersahaja menerima berbagai sistem kebudayaan lain yang datang ke dalam lingkungannya, dan mengolahnya menjadi bagian dari kehidupan warganya.

Satu sisi terpenting, melalui pengolahan dunia pertanian beserta sistem nilainya  itulah yang menciptakan sistem religi, suatu sistem kepercayaan di mana pengolah lingkungannya, warga dan masyarakat, menciptakan tatanan nilai yang bersifat adikodrati.

Dari hal itulah, seperti di dalam kehidupan keseharian kita, sampai kini kita menyaksikan dan merasakan misalnya berbagai ritual, upacara, yang berkaitan dengan berbagai kebutuhan untuk menyatakan rasa syukur, sesaji (offering) yang berhubungan dengan bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari.

Kita bisa secara sederhana memahami kata ”upacara”, di sini kita menemukan makna yang berhubungan dengan pertanian, padi, beras. Kata ”upa” yang mengartikan ”nasi”, bahan makanan yang utama, yang berasal dari beras, bermuasal dari padi.

Dalam konteks inilah posisi geografis dan dalam kaitannya dengan sejarah kebudayaan, Pulau Jawa yang disebut Jawadwipa mendapatkan legitimasinya. Konteks sejarah kebudayaan dan peradaban penamaan Jawadwipa ini mengartikan sebagai geografi pertanian.

Dalam perspektif sosiologis sebagai wilayah agraris maka posisi kebudayaan Jawa dalam konteks posisi geografis itu terasa dalam perkembangan kebudayaan dan pusat-pusat kekuasaan tradisi khususnya zaman Mataram.

Dan lebih khusus lagi sejak pada masa Mataram di bawah Sultan Agung yang secara simultan ditarik ke dalam perspektif sejarah modern di mana Jawa khususnya sebagai wilayah agraris yang ikut memengaruhi pola-pola kekuasaan, dan bahkan hingga masa rezim Orde Baru (Orba).

Singkat kata, bahan makanan inilah yang mempertemukan seluruh warga ke dalam mekanisme sistem nilai dalam bentuk pengolahan bahan makanan beserta seluruh tatanan tradisi sesaji.

Pada perkembangan kebudayaan ke dalam bentuk-bentuk peradaban keseharian kita menyaksikan  dan merasakan pengolahan bahan makanan dibentuk menjadi suatu karya yang secara populer kini orang menyebutnya sebagai dunia kuliner.

Tapi, sesaji lebih dari sekadar aktivitas kuliner atau gastronomi. Walaupun kita tak menolak bahwa sisi lain di dalam berbagai bentuk sesaji  berkembang ke dalam berbagai bentuk industri makanan, dunia kuliner yang kini populer dan menciptakan income per kapita secara lokal-nasional.

Pada perspektif sistem nilai, sesaji dan dunia kuliner di samping menciptakan berkah secara ekonomis, namun secara budayawi membentuk suatu kerangka kebersamaan.

Nasi liwet, jenang, wajik, timlo, nasi langgi, serabi, nasi uduk, nasi timbel untuk menyebut hanya beberapa jenis makanan, adalah identik dengan geografi Jawa. Dan ribuan lainnya untuk geografi Nusantara.

Kembali kepada topik utama kita, benih padi yang menjadi dasar kebudayaan dan peradaban Jawa, padi yang menghasilkan nasi, upa. Akar kata inilah yang juga membentuk nilai kehidupan sehari-hari.

Ada ungkapan ana dina ana upa, ada hari ada nasi. Suatu optimisme yang digenggam masyarakat Jawa, dan sekaligus kesadaran kepada waktu, hari, yang perlu dikelola, proses perawatan, pemeliharaan (upakara), dan sekaligus pula konsep moral tentang tingkah laku yang baik.

Pertumbuhan

Namun, proses sejarah dan interaksi kebudayaan tak sepenuhnya sejalan dengan cita-cita dan harapan. Prediksi teori Malthus tentang pertumbuhan penduduk menyatakan populasi membentuk arah lain. Dan pada sisi lainnya perkembangan teknologi rekayasa benih yang berusaha untuk memecahkan masalah kependudukan dan bahan makanan menciptakan revolusi hijau.

Ada benarnya pernyataan Buckminter Fuller, pemikir ekologis dan arsitektur, pada empat dekade yang lampau. Ia menyatakan jika teknologi rekayasa benih tak diketemukan, dalam tempo enam bulan ratusan juta warga dunia akan kelaparan dan berhadapan dengan maut.

Revolusi hijau melalui rekayasa benih menemukan berbagai jenis padi. Namun, kelaparan tetap merajalela di negeri-negeri berkembang dan miskin. Dan revolusi hijau telah menjadi industri dengan kekuatan kapital yang hanya dimiliki oleh negera-negara adikuasa dengan kekuasaan bank benih melebihi Bank Dunia (World Bank).

Singkat kata, perkembangan revolusi hijau yang semula dilandasi upaya kemanusiaan memasuki labirin kapital dan kekuasaan hegemonik negeri-negeri pemilik penemu benih. Pada periode 1970-an, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I rezim Orde Baru menjadi titik pangkal Indonesia mengaitkan dirinya dengan ketergantungan bantuan (baca: uutang) pangan.

Ini sebagaimana juga negara-negara berkembang dan miskin yang makin tergantung kepada benih hasil rekayasa industri. Ketergantungan ini juga menciptakan berbagai bentuk ketergantungan sosial-politik-ekonomi-teknologi dan tentu saja kebudayaan.

Wasana kata, menjadi renungan kita bersama sejauh mana benih lokal masih kita miliki, yang pernah sepanjang belasan abad menjadi benih kebudayaan dan peradaban Jawa dan Nusantara? Ataukah kita membiarkan benih itu dipaten dan dimiliki oleh bank benih di negeri industri?



Dan kita hanya memiliki sisa-sisa ritual, upacara, yang telah dijadikan sekadar kegiatan pariwisata atas nama devisa? Masihkah kita menepuk diri dengan keadiluhungan kebudayaan dan berbagai upacara, ketika padi, beras, nasi yang kita telan tak lagi kita yang memiliki dan mengolahnya?

       

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya