SOLOPOS.COM - Agus Tri Lastomo (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (19/5/2015), ditulis Agus Tri Lastomo. Penulis adalah Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kabupaten Sragen yang diperbantukan di UPTPK Sragen.

Solopos.com, SOLOSolopos edisi 11 Mei 2015 memberitakan prestasi Unit Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (UPTPK) Kabupaten Sragen pada forum United Nation Public Services Award (UNPSA) 2015.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

UPTPK Kabupaten Sragen menjadi juara II regional Asia Pasifik untuk kategori Promoting Whole of Government Approaches in the Information Age (Mendorong Pemerintahan Berbasis Pendekatan Kolaboratif dalam Era Informasi).

UNPSA adalah forum pemberian penghargaan di bidang pelayanan publik yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2003. UPTPK Kabupaten Sragen meraih peringkat II pada keikutsertaan kali pertama ini.

Ekspedisi Mudik 2024

Saya ingin menyumbang beberapa pokok pikiran bahwa di balik popularitas nama UPTPK Kabupaten Sragen ada kekhawatiran terhadap masa depan keberlanjutan inovasi pelayanan publik untuk kaum miskin di Sragen ini. Sesuai namanya, UPTPK hanyalah sebuah unit pelayanan yang kekuatan hukumnya hanya Peraturan Bupati (Perbup) Sragen Nomor 2 Tahun 2012.

UPTPK bukan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang bernaung di bawah peraturan daerah (sebagai sebuah produk bersama antara Bupati Sragen dan DPRD Sragen). Berikut persoalan yang dihadapi UPTPK  Kabupaten Sragen sebagai bukan SKPD.

Pertama, kewenangan. UPTPK hanya berwenang memverifikasi status kemiskinan warga Sragen dan merekomendasikannya pada SKPD teknis untuk diberi layanan kemiskinan, antara lain rehabilitasi rumah tidak layak huni, beasiswa mahasiswa miskin, kaminan kesehatan daerah, santunan kematian, dan lain-lain.

SKPD tidak selalu dapat merespons rekomendasi karena banyak hal dan terutama soal anggaran. Bagi UPTPK ini adalah  persoalan karena warga miskin  kemudian  menganggap UPTPK tak bertaji dan memberi harapan palsu yang tidak bisa direalisasikan oleh SKPD.

Kedua, anggaran. UPTPK harus berbagi waktu pencairan anggaran dengan SKPD induk (Bagian Umum dan Kesesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Sragen) yang lebih establish.

UPTPK sering mengalami ketiadaan dana sehingga tidak dapat memverifikasi keluarga miskin di 20 kecamatan, tak bisa mengoperasikan mobil ambulans gratis untuk warga miskin, tak bisa mencerak Kartu Saraswati, dan lain-lain.

Kewenangan yang hanya memverifikasi dan merekomendasi berkonsekuensi  pada terbatasnya alokasi anggaran tiap tahun. UPTPK secara objektif tidak mampu mengelola anggaran besar untuk penanggulangan kemiskinan yang bersifat eksekusi dan pemberdayaan (empowering).

Ketiga, ketidakfokusan pekerjaan. Semua pegawai negeri sipil di UPTPK berasal dari banyak SKPD yang diperbantukan. Selain masih mengerjakan beban kerja SKPD induk, mereka juga harus mengerjakan tugas pokok di UPTPK.

Ini adalah pekerjaan ganda yang menguras banyak energi. Mereka harus berbagi waktu dan tenaga antara SKPD induk dan UPTPK. Fakta memperlihatkan akhirnya terjadi infocus dan unperfect pada semua  pekerjaan di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang hampir berurutan.

Pekerjaan di dua tempat sering terlambat dan kalaupun selesai sering tidak berkualitas. Alhasil kinerja mereka hanya bisa dinilai pada input dan ouput, jangan bertanya tentang outcome, benefit, apalagi impact yang terlalu jauh. [Baca selanjutnya: Persoalan Lebih Besar]

 

Persoalan Lebih Besar
Ini hanya simplifikasi dari persoalan yang jauh lebih besar dan mengkhawatirkan, yakni prospek keberlanjutan eksistensi UPTPK, baik di Kabupaten Sragen maupun di Indonesia. UPTPK adalah inovasi original Kabupaten Sragen dan satu-satunya di Indonesia.

Inovasi ini terkait erat dengan Bupati Sragen yang gigih melahirkan, mendukung, dan mengawal UPTPK. UPTPK Kabupaten Sragen sudah direplikasi oleh Kementerisn Soaial di lima kabupaten/kota di Indonesia, tetapi tidak berjalan seideal UPTPK Sragen karena tidak disertai komitmen penuh kepala daerahnya.

Dasar lahirnya UPTPK adalah peraturan bupati. Bupati adalah jabatan politik. Pertanyaannya adalah apakah ada jaminan kelak pengganti bupati sekarang akan suka rela meneruskan apa yang sudah dirintis pendahulunya? Atau, sebaliknya, malah membubarkan sewaktu-waktu, juga hanya dengan sekadar peraturan bupati?

Budaya politik Indonesia memperlihatkan fakta buruk dari pejabat-pejabat politik. Mereka memaksa menorehkan ”prestasi individu” dengan mengorbankan ”prestasi negara/daerah” yang telah dibuat pendahulunya karena dendam politik dan unsur like and dislike.

Mereka ingin dipandang sebagai orang hebat yang mempunyai kebijakan dengan memaksakan diri membuat kebijakan baru sekadar untuk mengganti kebijakan lama, meskipun kebijakan itu tidak jelas tujuannya atau bahkan tidak berbeda dengan kebijakan sebelumnya.

Secara teoritis, ganti pejabat ganti kebijakan menimbulkan situasi policy uncertainty atau ketidakpastian kebijakan (Said Zainal Abidin: 2012). Kepastian kebijakan sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan agar setiap kebijakan yang dibuat pejabat terdahulu terjamin dilaksanakan oleh pejabat baru sampai tuntas.

Saya tidak sepenuhnya berprasangka negatif bahwa UPTPK akan berumur pendek seiring bergantinya pejabat politik. Yang jelas, eksistensi UPTPK belum aman untuk jangka panjang. Salah satu usaha untuk menjamin keberlanjutan dan eksistensi UPTPK adalah menjadikannya sebagai SKPD tersendiri di bawah naungan peraturan daerah.

UPTPK adalah inovasi baru maka keberadaannya tidak diatur dalam undang-undang maupun peraturan di bawahnya. Sebelum dibuat peraturan daerah harus dimintakan izin terlebih dahulu kepada Menteri Dalam Negeri yang baru akan membuat panel tersendiri tentang pemberian izin ini setelah ada rekomendasi dari Gubernur Jawa Tengah melalui Biro Organisasi dan Kepegawaian.

Pemerintah Kabupaten Sragen sejak 2012 berusaha meminta rekomendasi Gubernur Jawa Tengah dan izin Menteri Dalam Negeri untuk menjadikan UPTPK sebagai SKPD, tetapi selalu gagal. Alasannya adalah kemiskinan bukanlah urusan wajib atau pilihan yang dapat dikerjakan oleh pemerintah kabupaten.



Pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan sama sekali tidak diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Menurut saya, terdapat logical fallacy (kesalahan logika berpikir) pada alasan penolakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dna Kementerian Dalam Negeri. Bagaimana mungkin pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan akan diatur dalam dua regulasi tersebut jika inovasi ini baru muncul pada 2012?

Apakah mereka lupa ketika perizinan terpadu satu pintu yang baru digalakkan Presiden Joko Widodo pada 2014 adalah produk inovasi one stop services di Sragen 2001 yang kala itu juga tidak diatur sebelumnya oleh regulasi apa pun? Akhirnya saya berharap Kementerian Dalam Negeri lebih pedulu pada UPTPK ini.

Terlalu eman-eman apabila inovasi yang juga sudah direkomendasi oleh PBB melalui organisasi buruh, International Labour Organization (ILO), ini diacuhkan oleh Jakarta.  Ketika daerah didorong berinovasi, Jakarta (=pemerintah pusat) hendaknya merespons secara lebih konsekuen dan tidak memenjarakan ide-ide inovasi itu dalam kejumudan berpikir dan kekakuan legalitas formal regulasi.

Toh UU tentang Pemerintah Daerah sudah berganti dan PP baru pun harus dibuat. Mengapa Jakarta (=pemerintah pusat) enggan memasukkan inovasi ini dalam kerangka berpikir pemerintahan yang jelas berpihak kepada kepentingan rakyat?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya