SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Destry Damayanti, Chief Economist Bank Mandiri.

”Indonesia should pay more attention on how to improve the quality of life of its people to void the widening of economic disparity and inequality”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

(Sri Mulyani, World Bank Managing Director).

 

Pernyataan Managing Director World Bank, Sri Mulyani, itu menyiratkan bahwa pengurangan kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin dapat mengembangkan ekonomi domestik yang menjadi kunci pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut juga dapat menjaga kualitas pertumbuhan ekonomi yang dapat menjangkau masyarakat luas secara berkelanjutan.

Pernyataan tersebut sangat menarik untuk ditelusuri lebih dalam. Kita telah mengetahui bahwa awal bulan ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012. Data tersebut menunjukkan secara tahunan ekonomi Indonesia tumbuh 6,2% atau ketiga tertinggi di kawasan Asia, setelah China 7,8% dan Filipina 6,6%.

Dilihat dari sumber pertumbuhannya, ekonomi domestik yang didukung konsumsi masyarakat dan investasi merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kontribusinya mencapai 5,4% dari total pertumbuhan ekonomi 6,2%. Pertumbuhan ekonomi di 2012 memang mengalami perlambatan dibandingkan 2011 yang mencapai 6,5%.

Namun, yang perlu dicatat adalah Indonesia dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata pertumbuhan lima tahun terakhir sebesar 6%. Kenyataan tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang mempunyai daya tahan kuat dalam menghadapi gejolak ekonomi dan keuangan global.

Selanjutnya, stabilitas ekonomi juga makin terjaga, di mana tingkat inflasi di 2012 mencapai 4,3%, jauh lebih rendah dari rata-rata inflasi lima tahun terakhir yang mencapai 5,9%. Memang, siapa pun dapat beragumen bahwa inflasi yang rendah ini karena tidak ada penyesuaian harga komoditas yang diatur oleh pemerintah, misalnya harga bahan bakar minyak (BBM) domestik, listrik dan sebagainya.

Tetapi, rendahnya inflasi ini juga terjadi pada inflasi inti yang hanya mencapai 4,4%. Artinya, walaupun terjadi peningkatan akitivitas ekonomi, namun keseimbangan harga dapat terjaga karena pertumbuhan ekonomi terjadi di dua sisi, yaitu sisi konsumsi dan produksi (investasi).

Akibatnya suku bunga dapat terjaga di tingkat yang rendah dengan BI-rate berada di tingkat 5,75% dibandingkan rata-rata 7% di lima tahun terakhir. Sementara suku bunga kredit dasar turun menjadi 11,2% dari rata-rata 12,5%. Demikian pula nilai tukar rupiah stabil di tingkat Rp9.300–Rp9.400 sepanjang  2012.

Dari aspek sosial juga terlihat bahwa pencapaian kinerja ekonomi hingga 2012 cukup menggembirakan, yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat pengangguran menjadi 6,1% di 2012 dibandingkan dengan 9,1% di 2007. Selanjutnya tingkat kemiskinan pun menurun menjadi 11,4% dari 16,6% di periode yang sama.

Hal ini seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita Indonesia yang meningkat hampir dua kali lipat dalam lima tahun terakhir menjadi US$3.562 di 2012 dari US$1.916 di 2007. Sampai di sini nampaknya tidak ada yang salah dengan pertumbuhan kita, karena hampir semua indikator menunjukkan perbaikan yang signifikan.

Tetapi, jika ditelaah lebih jauh, ternyata terdapat permasalahan dengan kualitas pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kemampuan ekonomi Indonesia untuk menyerap tenaga kerja (TK) yang semakin berkurang. Di 2012, setiap 1% pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hanya mampu menyerap 180.000 TK, lebih rendah dibandingkan 2010 yang mampu menyerap 400.000 TK.

Koefisien Gini (yang menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan) juga meningkat menjadi 0,41 di 2012 dari 0,36 pada 2007. Hal ini menggambarkan seiring terjadinya pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan antara kaya dan miskin juga semakin lebar. Dengan kata lain, kualitas pertumbuhan ekonomi kita belum bersifat inklusif karena masih ada sebagian kelompok yang belum menikmati.

 

Suatu Solusi?

Pemerhati kemiskinan dunia, Prof Abhijit V Banerjee, menulis buku Poor Economics yang menyoroti masalah kemiskinan di dunia dan cara-cara yang radikal dalam mengatasi masalah tersebut. Menurut Abhijit, mengentaskan kemiskinan melalui pemberian bantuan dana atau barang kurang efektif karena hanya akan meningkatkan kehidupan mereka sesaat saja sampai bantuan tersebut berakhir.

Salah satu cara yang tepat adalah dengan menciptakan pasar bagi kelompok masyarakat tersebut. Kelompok ini bersifat unik sehingga tidak bisa diperlakukan sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Sebagai contoh, untuk membuka akes keuangan bagi kelompok ini akan mustahil apabila menggunakan aturan dan standar yang baku.

Kita tidak bisa membayangkan kelompok masyarakat ini mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau jaminan sebagai salah satu syarat pembukaan rekening. Bank Dunia dalam penelitiannya di 2009 menyatakan ada sekitar 2,7 miliar penduduk dewasa di negara berkembang tidak mempunyai akses terhadap sektor keuangan, baik dari sisi deposito, kredit, asuransi maupun dana pensiun.

Bahkan, dalam Global Financial Inclusion Index 2012 yang dikeluarkan World Bank, di Indonesia saat ini hanya sekitar 20% dari penduduk berusia di atas 15 tahun yang menikmati akses jasa keuangan, sementara di China dan India masing-masing telah mencapai 64% dan 35%.

Rendahnya layanan keuangan di Indonesia juga tecermin dari jumlah rekening bank per 1.000 penduduk usia dewasa yang baru mencapai 505, sementara di Malaysia dan Thailand telah mencapai 2.063 dan 1.449. Gambaran yang sama juga ditunjukkan untuk jumlah rekening kredit per 1.000 penduduk di usia dewasa yang di Indonesia baru mencapai 197 rekening, sementara di Malaysia dan Thailand mencapai 964 dan 272 rekening.

Hal ini menunjukkan masih banyak tantangan yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan akses layanan keuangan kepada masyarakat Indonesia. Perluasan jaringan distribusi dan penyederhanaan aturan know your customer (KYC) menjadi sangat penting apabila kita ingin meningkatkan akses layanan keuangan terhadap kelompok masyarakat ini.

Sinergi dengan industri telekomunikasi yang memiliki jaringan distribusi lebih luas daripada perbankan tampaknya merupakan solusi yang tepat untuk dapat meningkatkan inklusi keuangan secara nasional dan sekaligus memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi. Efisiensi secara umum pun dapat meningkat, bukan hanya untuk bank namun juga bagi nasabah, baik dari sisi waktu maupun biaya.



Agar sinergi bisnis ini dapat membuahkan hasil yang optimal, salah satu solusi bisnis yang dapat dikembangkan di masa mendatang adalah pengembangan model branchless banking. Model ini memang membutuhkan penyempurnaan kebijakan perbankan dan perubahan pola pikir masyarakat.

Layanan perbankan, seperti pembukaan rekening, menarik uang ataupun mengirim uang,  ke depannya dapat dilakukan tanpa kantor cabang fisik (termasuk ATM). Semua dapat dilakukan melalui telepon seluler (elektronik). Selain itu, kunci utama bagi kesuksesan model bisnis ini adalah adanya agent banking. Agen ini berfungsi sebagai unit terdepan dari brancheless banking.

Pengalaman di Kenya menunjukkan bahwa outlet agent banking jumlahnya lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan total kantor cabang bank, kantor pos dan ATM. Terbukanya akses keuangan terhadap masyarakat lapisan bawah merupakan suatu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kesenjangan sosial, sehingga dapat tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya