SOLOPOS.COM - Kukuh Tejomurti (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (9/6/2016), ditulis Kukuh Tejomurti. Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Apresiasi layak ditujukan kepada Universitas Sebelas Maret (UNS) yang punya inisiatif nyata mencegah tindak pidana korupsi, khususnya dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa di kampus UNS.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Upaya UNS tersebut melibatkan sedikitnya delapan jaksa yang tergabung dalam Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) yang selanjutnya bertugas mengawasi proyek pengadaan barang dan jasa di UNS.

Proyek yang diawasi para jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Solo tersebut senilai Rp30-an miliar yang tersebar di 26 kegiatan. Mereka dilibatkan dalam pengawasan sebagai upaya mencegah terjadinya penyimpangan anggaran atau kesalahan administrasi dalam proyek yang menggunakan anggaran negara (Solopos, 24 Mei 2016).

Ekspedisi Mudik 2024

Sebagaimana diketahui, TP4D dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Sejarah lahirnya tim tersebut antara lain karena dipicu minimnya penyerapan anggaran pembangunan daerah.

Selain itu juga oleh kekhawatiran aparatur pemerintah yang berkecimpung dalam kegiatan pengadaan barang/jasa terjerat kasus hukum karena menggunakan anggaran negara.

Dalam bekerja tim ini akan cenderung pada upaya pencegahan daripada penindakan atau penangkapan pelaku tindak pidana korupsi. Inisiatif UNS dan lembaga kejaksaan  (TP4D) dalam mencegah tindak pidana korupsi ini memiliki dampak positif dan bisa menjadi contoh instansi-instansi pemerintahan lainnya.

Seperti kita ketahui kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan uang negara pada instansi pemerintahan beberapa tahun terakhir ini memang menjadi “momok menakutkan” bagi aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

Akibatnya, serapan anggaran pemerintah menjadi tidak optimal dan oleh karenanya mengganggu program pembangunan dan memperlambat upaya memperbaiki kelesuan ekonomi negeri ini. [Baca selanjutnya: Ambiguitas Perkara]Ambiguitas Perkara

Kekhawatiran aparatur pemerintah terjerat kasus hukum karena kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah memiliki alasan sosiologis dan psikologis tersendiri. Mayoritas tipe kasus hukum yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan terkait korupsi adalah pada kegiatan pengadaan barang dan jasa.

Kasus tersebut mengemuka entah karena memang ada niat jahat pelaku atau karena kesalahan prosedur administrasi atau sebuah peristiwa wanprestasi keperdataan. Tidak hanya tipe kasus hukum terkait pengadaan barang/jasa yang sedang dalam proses peradilan yang memberikan efek kekhawatiran psikis bagi aparatur pemerintah.

Sejumlah vonis atau putusan hakim terkait kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah juga memicu kekhawatiran karena pada sejumlah vonis atau putusan hakim sering kali ditemukan kelemahan-kelemahan pada konstruksi hukum yang dibangun oleh hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memvonis perkara korupsi terkait pengadaan barang dan jasa.

Saya mengambil satu contoh vonis yaitu vonis No. 43/Pid.Sus.K/2014/PN.Mdn atas perkara Crish L. Manggala. Kasus yang menimpa Crish L. Manggala adalah pada tender turbin pembangkit listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Belawan, Sumatra Utara.

Crish L. Manggala adalah mantan General Manager PT PLN Sumatra Utara. Dalam struktur pengadaan barang ia berposisi sebagai pengguna barang dan jasa (dalam Perpres No. 4/2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah equivalen dengan Pejabat Pembuat Komitmen/PPK).

PPK adalah orang yang mewakili institusi dalam penandatanganan kontrak dengan penyedia barang atau jasa. Inti dakwaan primer kasus Crish L. Manggala adalah terdakwa dinilai “melawan hukum” karena memilih satu penyedia jasa yang menyediakan suku cadang nonoriginal.

Dakwaan ini gugur karena PLN memiliki kebijakan penggunaan suku cadang nonoriginal. Dakwaan menawarkan harga lebih mahal juga gugur karena memang ada kerusakan tambahan pada turbin pembangkit yang saat proses pengadaan berlangsung kerusakan belum terjadi sehingga ada addendum kontrak terkait perpanjangan kontrak.

Selanjutnya jaksa penuntut umum mendalilkan pada dakwaan sekunder,  yaitu terdakwa Crish L. Manggala dinilai memenuhi unsur “…dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Hakim menilai unsur ini terpenuhi karena terdakwa telah melakukan kesalahan dengan membayar kepada penyedia barang atau jasa, padahal perusahaan ini terlambat memenuhi kontrak.

Turbin pembangkit terlambat datang. Turbin seharusnya datang pada 12 September 2012. Faktanya turbin datang pada 14 Desember 2012. Terhadap keterlambatan tersebut, terdakwa dinilai bersalah karena tidak memberikan teguran.

Hakim juga menilai terdakwa memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Argumentasi hakim adalah terdakwa tidak membuat berita acara serah terima barang dan/atau serah terima pekerjaan.

Substansi materi vonis kasus Crish L. Manggala bermakna terjadi penerobosan  hukum pidana pada batas wilayah hukum administrasi dan perdata karena rendahnya standar pembuktian pada korupsi tipe merugikan keuangan negara.

Ada indikasi orang-orang dipidana padahal kesalahannya adalah masalah administrasi dan perdata (Richo Andi Wibowo, 2016). Mengapa hal ini terjadi? Dugaan awal adalah karena penegak hukum terlampau mudah menilai unsur “dapat merugikan keuangan negara” dan rendahnya kualitas pembuktian.

Akibatnya, kesalahan bersifat administrasi dan perdata (misalnya tidak membuat berita acara serah terima barang, keterlambatan penerimaan barang, tidak memberikan teguran, atau tak ada addendum perpanjangan kontrak) dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban pidana.

Selain itu, kata “dapat” pada unsur “dapat merugikan keuangan negara” (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) juga memberikan “ketidakpastian hukum” dalam penafsirannya karena seseorang bisa diputus “dapat merugikan keuangan negara”, baik karena kerugian negara tersebut telah terjadi maupun karena kerugian negara yang belum terjadi. [Baca selanjutnya: UNS dan TP4D]UNS dan TP4D

Upaya UNS dengan melibatkan TP4D dalam kegiatan pengadaan barang/jasa merupakan langkah positif dalam mencegah tindak pidana korupsi.



Penyamaan persepsi antara tim pengadaan barang/jasa UNS dengan TP4D terkait unsur “melawan hukum”, “menguntungkan diri sendiri atau korporasi…”, serta “dapat merugikan keuangan negara” harus dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan wilayah hukum administrasi atau wilayah hukum keperdataan seperti adanya wanprestasi kontrak antara penyedia dan pengguna barang/jasa berimplikasi pada pertanggungjawaban pidana.

Oleh karena ada pengawasan dan pendampingan TP4D kepada UNS serta penyamaan persepsi antara tim pengadaan barang/jasa UNS dan TP4D maka diharapkan akan meminimalisasi kekhawatiran yang tidak perlu di kalangan aparatur UNS khususnya di bidang pengadaan barang/jasa (mungkin juga aparatur pemerintah lainnya) dan peningkatan standar pembuktian bagi orang yang akan dihukum.

Akan menjadi tidak adil untuk memvonis seseorang bersalah telah melakukan korupsi, padahal pengadilan hanya mampu membuktikan kesalahan terdakwa adalah kesalahan administrasi seperti tidak membuat berita acara serah terima, kekuranglengkapan dokumen, keterlambatan barang datang, atau sekadar persoalan “wanprestasi” kontrak.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya