SOLOPOS.COM - Aris Setiawan

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (29/6/2017), karya Aris Setiawan, etnomusikolog dan pengajar ISI Surakarta.

Solopos.com, SOLO–Mulai bulan depan (Juli) lagu Indonesia Raya tiga stanza wajib dinyanyikan seluruh siswa sekolah saat hendak memulai pelajaran, sebelum pulang, dan saat upacara bendera.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Sebagaimana diungkapkan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza akan diterapkan pada tahun ajaran baru 2017/2018.

Ide tersebut muncul sejak peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2016 lalu. Pada acara itu kali pertama Indonesia Raya tiga stanza dinyanyikan. Menurut Hilmar, dinyanyikannya lagu Indonesia Raya pada stanza kedua dan ketiga sangat relevan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari di negeri ini, terutama belakangan ini.

Ekspedisi Mudik 2024

Lirik stanza dua dan tiga Indonesia Raya dapat ditemukan dengan mudah di Internet. Pemerintah merekam panduan menyanyikan lagu kebangsaan dalam tiga stanza itu di Studio Lokananta, Solo.

Tiga stanza Indonesia Raya dianggap penting karena selama ini lagu Indonesia Raya hanya dinyanyikan pada bagian prolog (stanza satu) saja sehingga pesan-pesan penting yang terkandung dalam keutuhan lagu itu tidak tersampaikan dengan lengkap dan tuntas.

Banyak yang berpandangan stanza dua adalah klimaks (inti) dari lagu dan stanza tiga adalah epilog atau penutup. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, menilai dengan dinyanyikannya Indonesia Raya dalam tiga stanza diharapkan dapat memupuk dan menumbuhkan semangat nasionalisme sejak dini.

Pertanyaannya adalah sejauh mana lirik tiga stanza tersebut dapat menjadi ruang agitasi bagi pelantun dan pendengarnya pada hari ini?

Selanjutnya adalah: Tak bisa dipisahkan dari Sumpah Pemuda…

Sumpah Pemuda

Jejak Indonesia Raya tak dapat dipisahkan dari peristiwa Sumpah Pemuda  pada 28 Oktober 1928. Selama ini kita mengenal hari Sumpah Pemuda sebatas dalam ikhtiar memupuk dan membangkitkan semangat kepemudaan.

Rumusan Sumpah Pemuda semat-mata dimaknai dengan kalkulasi upaya melepaskan diri dari jerat penjajahan atau kolonialisme. Penelisikan Sumpah Pemuda kemudian menandai rumusan-rumusan pembentukan Indonesia dengan menjunjung tiga pilar utama: bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu.

Momentum Sumpah Pemuda sebenarnya juga menjadi saksi dalam perintisan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kehadiran W.R. Supratman di kongres pemuda itu bukan semata-mata sebagai tokoh pergerakan nasional, namun juga menjadi satu-satunya perwakilan seniman musik (musisi-komponis) di negeri ini.

Pada saat peserta kongres membakar semangat dengan orasi dan pidato, W.R. Supratman menggerakkan imajinasi dengan dentingan nada-nada yang puitis. Di kongres itu, Indonesia Raya kali pertama dilagukan secara instrumentalis menggunakan biola.

Nada-nadanya bukan sekadar bunyi, namun juga ikhtiar berwujud doa, cita-cita, dan harapan untuk menjadi negeri yang merdeka atau tak tertindas. Lagu itu menjadi pelipur lara sekaligus menjelma sebagai pemompa semangat juang bagi kaum bumi putra.

Indonesia Raya tidak lahir secara tiba-tiba, tapi melalui pergulatan proses yang panjang dan berliku. Lagu ini dilantunkan untuk menemani perjuangan para pemuda di negeri ini jauh sebelum proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Selama itu Indonesia Raya menjadi lagu yang “haram” diperdengarkan. Penjajah tak menginginkan lagu dengan lirik-lirik agitatif itu didendangkan, apalagi dihafalkan secara masif oleh rakyat.

Indonesia Raya kemudian tidak dinyanyikan, tapi didaras dalam hati, dilantunkan secara sembunyi-sembunyi. Sumpah Pemuda adalah jembatan tempat musik memberi sumbangan berharga bagi negeri ini.

Mendengarkan Indonesia Raya pada zaman itu adalah pertaruhan nyawa. Menyanyikannya mengundang air mata, sekaligus puncak kerinduan atas nama “kemerdekaan” dan kebebasan.

Lahirnya Indonesia Raya dengan demikian memutus kontroversi yang berkembang tentang musik. Kala itu para tokoh nasional seperti Ki Hadjar Dewantara berusaha keras agar warna musik kebangsaan kita dilandasi dengan bunyi-bunyian tradisi (baca: puncak-puncak kebudayaan nasional).

Selanjutnya adalah: Mengusulkan gamelan sebagai warna utama…

Gamelan

Ia mengusulkan gamelan ditampilkan sebagai warna utama lagu nasionalisme kebangsaan. Usul itu ditolak keras karena dianggap terlalu Jawasentris, sementara Indonesia adalah gugusan pulau-pulau dengan ekspresi tradisi yang beragam.

Pada konteks inilah tarik menarik wacana tentang lagu kebangsaan didengungkan. Di satu sisi ada semangat untuk menolak apa pun yang berbau Barat, termasuk musik. Di sisi lain, kebutuhan untuk membuat lagu kebangsaan semakin mendesak dan memilih musik tradisi tertentu dinilai sebagai keberpihakan yang cenderung mencerminkan sikap etnosentrisme.



Resonansi

W.R. Supratman dengan berani menampilkan Indonesia Raya di hadapan para pemuda dan tokoh-tokoh penting negeri ini. Tak ada resistensi. Yang ada kemudian adalah resonansi yang saling bersahutan.

Lagu itu berdendang dari satu mulut ke mulut yang lain, menerobos batas-batas kewilayahan, menyatukan berbagai lapisan sosial dan golongan masyarakat. Momentum Sumpah Pemuda memberi jiwa sakaligus nyawa bagi lagu Indonesia Raya.

Di kongres itu Indonesia Raya dinobatkan sebagai episentrum penting dari momentum mengangkat kemerdekaan negeri ini lewat musik. Kita kemudian mengenang ikhtiar kemerdekaan negeri ini dengan nada-nada.

Pertanyaannya, masihkan Indonesia Raya dengan satu atau tiga stanza dinyanyikan dengan semangat dan ikhtiar yang sama pada hari ini?

Lagu itu menjadi seremoni wajib dalam setiap ritual kenegaraan. Menemani anak-anak kita di dalam kelas dan setiap Senin kala upacara pengibaran bendera dilangsungkan di sekolahan-sekolahan.

Indonesia Raya tiga stanza  mulai diajarkan dan ditularkan lewat bangku-bangku pendidikan dengan harapan semangat dan kisah perjuangan dapat tersalurkan, tapi menjadi ironis kemudian jika generasi muda (millennials?) pada hari kini abai dalam menelisik kisah perjalanan panjang Indonesia Raya, Sumpah Pemuda, dan narasi panjang perjuangan merebut kemerdekaan.

Indonesia Raya semata-mata dinyanyikan tapi tak dikenang, bahkan sering kali didendangkan dengan candaan dan gurauan. Setiap hari Indonesia Raya tiga stanza akan didengungkan, tapi semangat dan gejolak jiwa generasi telah berubah.

Mereka tak hidup pada zaman ketika Indonesia Raya menemukan titik kulminasinya. Oleh karena itu, jangan sampai Indonesia Raya tiga stanza hanya menjadi selebrasi sesaat, dinyanyikan, kemudian kembali dilupakan atau sekadar pelengkap dalam setiap prosesi dan peringatan hari kemerdekaan negeri ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya