SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo (FOTO/Istimewa)

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo (FOTO/Istimewa)

Impian tak pernah usai di Indonesia. Elite sering mengajak publik mengimpikan kejaiaban-keajaiban. Impian paling mutakhir berkaitan urusan pendidikan. Indonesia dengan ratusan juta penduduk memerlukan ribuan orang pintar. Impian itu mesti digapai meski tergesa dan menguak dilema. Kita bisa mengejar impian tapi jangan alpa pesan dari para penggerak sejarah di Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Soekarno (1951) di Universitas Gadjah Mada menjelaskan: “Sudahkah saja berdjasa besar? Apalagi berdjasa jang bermanfaat bagi hidupnja dan suburnja ilmu pengetahuan?” Soekarno (1963) juga mengajukan kritik saat pidato di Universitas Indonesia. Orator moncer itu mengucap agar gelar jangan sekadar sanjungan dan berpamrih mentereng. Gelar di universitas adalah legitimasi atas kontribusi sesuai kompetensi dan pengharapan publik. Etos kesarjanaan mesti direalisasikan sebagai amalan ilmu dan pemartabatan intelektualitas.

Kita menghadirkan nukilan pidato-pidato Soekarno itu untuk mengingat kesejarahan sarjana di Indonesia. Indonesia telah menjadi negeri sarjana meski miskin etos kesarjanaan. Mereka menggerakkan Indonesia di pelbagai lini dengan kompensasi harga diri dan gaji. Sarjana melakoni kerja mirip “massa patuh” oleh kuasa negara dan pasar. Mereka memang sarjana tapi jarang mengamalkan etos kesarjanaan merujuk ke basis intelektualitas. Kaum sarjana adalah lulusan universitas: institusi prestisius. Mekanisme “kelahiran” sarjana dan universitas pun turut mengubah Indonesia meski terbata.

Ekspedisi Mudik 2024

YB Mangunwijaya (1973) pernah mengajukan kritik dan peringatan atas makna sarjana tanpa etos kesarjanaan di masa Orde Baru. Universitas seolah tetap meneruskan peranan di zaman kolonial. Universitas menjadi lembaga-lembaga budak dari struktur-struktur dan sistem-sistem dengan efek “membantu” pemerasan kaum miskin agar menjadi semakin remuk. Satire atas pembangunanisme menempatkan elite dan para sarjana alias “kuli pintar” dalam perselingkuhan politik-modal. Indonesia berjalan di keremangan. Indonesia terlalu sesak “kuli pintar” tapi kekurangan “sarjana arifin” sebagai juru kemudi transformasi sosial, politik, ekonomi, pendidikan, seni, teknologi, kultural.

 

Doktor

Kritik ala Soekarno dan YB Mangunwijaya perlu diajukan kembali saat Indonesia ingin tampil parlente di abad XXI. Pimpinan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesumbar bahwa Indonesia di tahun 2015 mesti memenuhi target ambisius: memiliki seratus ribu pemegang gelar doktor. Impian muluk! Argumentasi dari pengharapan atas “produksi” kaum doktor adalah inovasi dan ilmu pengetahuan bakal maju pesat (Solopos, 26 Agustus 2012). Kita menganggap impian dan argumentasi itu ibarat lantunan lagu picisan saat hati lara.

Penentuan jumlah seratus ribu doktor mengesankan nalar kuantitas ketimbang gairah semaian intelektualitas. Agenda ini ingin mencipta keajaiban. Indonesia di tahun 2012 telah memiliki dua puluh lima ribu doktor. Jumlah mau dilipatgandakan menjadi seratus ribu doktor dalam jarak waktu tiga tahun. Kita mesti turut memberi doa agar segala impian terkabulkan. Amin. Urusan jumlah, waktu, motif, misi demi pencapaian target seratus ribu doktor seolah abai realisme pendidikan dan refleksi etos kesarjanaan. Indonesia sengaja ingin dijadikan “negeri doktor” agar tak malu di pergaulan dunia. Pamrih terlalu genit!

Kita mungkin alpa sejarah terkait peran sarjana, kolonialisme, nasionalisme, kapitalisme di masa lalu. Kita perlu menilik penggalan-penggalan sejarah di arus Indonesia sejak awal abad XX. Daniel Dhakidae (2000) menjelaskan bahwa intimitas modal, kekuasaan, kultural menentukan kiprah elite terpelajar. Mereka jadi lokomotif transformasi sosial-politik-kultural di Indonesia. Mereka bergerak dengan etos dan menjauhi pragmatisme. Peran itu lekas surut oleh penguatan afiliasi modal dan kekuasaan di masa Orde Baru. Makna sarjana lekas identik dengan pekerjaan, gaji, kelas sosial.

Pendidikan sebagai basis pembangunan justru “dipatuhkan” oleh nalar kekuasaan otoriter dan godaan modal. Intelektualitas dan etos kesarjanaan ada di “telapak kaki” negara dan pasar. Hasrat pembangunan melahirkan ilusi-ilusi melenakan. Jutaan sarjana ditempatkan di “mesin pembangunan” tanpa undangan untuk selebrasi intelektualitas demi martabat peradaban Indonesia. Universitas terus bertumbuh sebagai “pabrik sarjana”. Kaum sarjana terus mencari pekerjaan dan “terbisukan” oleh takdir pembangunanisme dan kapitalisme.

Kita bisa mencari penjelasan klise melalui suguhan artikel bertajuk “Pendidikan Kunci Pembangunan” garapan Boediono (Kompas, 27 Agustus 2012). Misi pendidikan adalah “menanamkan sikap yang pas dan memberikan bekal kompetensi yang diperlukan kepada manusia-manusia yang menjalankan fungsi institusi-institusi yang menentukan kemajuan bangsa.” Sarjana diharapkan ada di jalan pengabdian bertaburan godaan pamrih demi signifikansi institusi-institusi sebagai pilar demokrasi. Pendidikan menentukan makna demokrasi! Para sarjana mesti membekali diri dengan sekian anjuran para ahli dan imperatif negara agar bisa turut menikmati hidup di abad XXI. Indonesia dengan seratus ribu doktor juga mesti mengerti peran dan imbalan di “zaman seribu pamrih”. Doktor adalah gelar dan pengakuan untuk selebrasi ekonomi-politik alias demokrasi meski mengabsenkan gairah intelektualitas.

 

Pengharapan

Kita pantas mengingat renungan-seruan Mohammad Hatta (1957) saat berpidato di Universitas Indonesia tentang peran sarjana alias inteligensia: “Dalam Indonesia jang berdemokrasi, kaum inteligensia ikut serta bertanggung djawab tentang perbaikan nasib bangsa. Dan sebagai warga negara jang terpeladjar, jang tahu menimbang buruk dan baik, jang tahu mengudji benar dan salah dengan pendapat jang beralasan, tanggung djawabnja adalah intelektuil dan moril.” Kita mengerti pengharapan Hatta tapi jutaan sarjana dan impian seratus ribu doktor mungkin sulit mengamalkan ajakan atas tanggung djawab: “intelektuil dan moril”.

Abad XXI telah mengajarkan ambisi-ambisi memperoleh jatah dari puja globalisasi. Kehidupan kaum sarjana atau doktor memerlukan gaji untuk penghidupan dan pengakuan harga diri-popularitas. Agenda menempuh studi memuat perhitungan jumlah ongkos dan waktu. Penebusan dari ongkos dan waktu adalah menggunakan gelar di lakon mencari nafkah. Lakon ini mengandung tanggung jawab: pekerjaan berdalih nafkah-penghidupan. Urusan “intelektuil dan moril” bisa diamalkan di urutan belakang. Ironis!

Kita tak ingin pesimis atas agenda menjadikan Indonesia sebagai negeri doktor. Kita justru mesti rajin mengingatkan mereka tentang kompetensi dan kontribusi. Pengharapan agar kaum doktor memperhatikan nasib Indonesia mungkin tak usah dipaksakan secara formal. Kita harus memanjatkan doa sepanjang hari agar seratus ribu doktor sanggup memerankan diri sebagai “penggembala” dan “penggerak” Indonesia. Amin.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya