SOLOPOS.COM - Imam Sutardjo (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (18/11/2015), ditulis Imam Sutardjo. Penulis adalah dalang dan dosen di Program Studi Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.

Solopos.como, SOLO — Kalimat judul di atas—yang bagi saya mengejutkan–diilhami dan dikutip dari pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa Indonesia dalam kondisi darurat budi pekerti.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pernyataan MUI itu say abaca di running text Metro TV (11 November 2015). Pernyataan MUI tersebut ada kemiripan dengan isi buku Kalatidha, karya pujangga besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yaitu Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Dalam Kalatidha ada bait berbunyi: Amenangi jaman edan / ewuh aya ing pambudi / melu edan nora tahan / yen tan melu anglakoni / boya kaduman melik / kaliren wekasanipun / dilalah kersa Allah / begja begjane kang lali / luwih begja kang eling lawan waspada//.

Maksudnya akan datang zaman gila, semua usaha serbasulit, banyak orang serakah mengambil bukan hak dan miliknya sehingga banyak kemiskinan, kelaparan, dan kejahatan merajalela di mana-mana. Hanya orang yang waspada dan selalu ingat kepada Tuhan hidupnya akan mulia dan bahagia.

Setelah membaca tulisan dan mendengar pernyataan tersebut, sebagai warga Indonesia saya merasa sangat prihatin dan penasaran. Terlebih yang mengamati, mengevaluasi, dan menyatakan  hipotesis ini adalah lembaga masyarakat  nonpemerintah yang terdiri para tokoh agama (spiritual).

Benarkah pernyataan tersebut? Negara kita dari Sabang sampai Merauke yang majemuk, heterogen, dan Bhinneka Tunggal Ika terkenal sebagai negara yang santun, selalu mengutamakan kerukunan, kedamaian, kebersamaan, persatuan dan kesatuan seperti yang tertera dalam ideologI dan lima rumusan dasar negara kita, yaitu Pancasila.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada penjelasan ”budi” merupakan (a) alat batin yang merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; (b) tabiat; (c) perbuatan baik; (d) daya upaya atau ikhtiar; (e) akal dalam arti kecerdikan menipu atau tipu daya.

”Budi pekerti” berarti tingkah laku, akhlak, perangai, watak yang baik, utama atau terpuji; akhlak yang karimah atau terpuji (mulia). Aplikasi budi pekerti dalam hidup dan kehidupan terlihat dalam penerapan atau realisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Aplikasi itu bisa dalam kehidupan keluarga, masyarakat, organisasi, bangsa maupun negara, yaitu berwatak jujur, disiplin, tepat waktu, patuh terhadap aturan atau hukum (agama, negara, adat), menjaga kebersihan, tertib dalam segala hal, optimistis, bersuka cita, rajin, pemaaf, tidak mudah marah, empati atau peduli dan penolong atau senang membantu terhadap sesama, patuh kepada pemimpin dan menaati peraturan, dan lain sebagainya.

Berdasarkan definisi dan aplikasi budi pekerti di atas pernyataan bahwa Indonesia darurat budi pekerti perlu dilihat, diamati, dan dicermati secara holistik terhadap berbagai kejadian, kasus, dan peristiwa yang terjadi di berbagai tempat (keluarga, masyarakat, instansi, sekolah, kampus, pasar, hutan, laut, gunung) di Indonesia ini, baik yang transparan maupun terselubung.

Di era globalisasi dan perkembangan teknologi yang semakin canggih dan ngedab-edabi ini berbagai peristiwa atau kejadian sejak yang nilainya kecil hingga masalah yang besar dapat diunduh/diunggah, diketahui, dan dibaca melalui dunia maya serta berbagai media massa.

Ungkapan tradisional Jawa warisan para leluhur bangsa, pujangga, dan para raja merupakan salah satu alat kontrol budi pekerti atau kearifan lokal agar menjadi kenyataan, realitas, dan potret kehidupan masyarakat. Misalnya becik ketitik ala ketara, wong jujur luhur, salah seleh, goroh growa, Gusti Allah ora sare lan mahapirsa, Wwng bakal ngundhuh wohing panggawe. [Baca: Revolusi Mental]

 

Revolusi Mental
Apabila setiap individu dan masyarakat memahami, menghayati, dan mau menerapkan makna ungkapan tradisional tersebut pastilah selalu berbuat baik, berbudi pekerti luhur, dan jauh serta takut berbuat tidak baik, melanggar budi pekerti.

Semua perilaku manusia, baik atau pun buruk, selalu dilihat Tuhan dan akan kembali kepada yang melakukannya. Bebagai kasus dan peristiwa yang terjadi di negara kita memang beragam; ada yang baik, terpuji, dan menyenangkan hati hingga yang nista, memalukan, menyusahkan/ menyedihkan yang setiap detik menjadi santapan lewat dunia maya dan media massa.

Peristiwa dan kasus-kasus yang dijadikan gambaran serta dianggap MUI sebagai bukti Indonesia sebagai negara yang darurat budi pekerti, misalnya banyak mantan pejabat yang masuk penjara karena terkena kasus korupsi atau menyalahgunakan wewenang sewaktu menjabat.

Dalam ungkapan tradisional Jawa ini disebut melik nggendhong lali, gajah ngidak rapah, palang mangan tandur. Dalam kearifan lokal Jawa ada ungkapan wani ngalah luhur wekasane. Maksudnya apabila terdapat perbedaan pendapat harus ada yang mau mengalah demi kepentingan dan manfaat yang lebih besar, yaitu bangsa dan negara. Kepentingan kelompok, partai, golongan, pribadi ditanam sangat dalam.

Banyak konspirasi dan mafia di berbagai sendi sendi kehidupan yang amat merugikan bangsa dan negara. Kepedulian terhadap sesama kian memudar. Buktinya banyak orang yang kaya raya, berharta melimpah, tetapi tidak peduli terhadap  orang miskin, tak mau tahu jembatan-jembatan yang rusak, gedung sekolahan yang rusak bahkan sampai roboh.

Peristiwa penganiayaan dan pembunuhan terhadap pembantu rumah tangga atau buruh; tentara menembak tukang ojek; pembunuhan terhadap warga (rakyat kecil) Salim Kancil penolak penambangan liar yang merusak lingkungan;  dan masih banyak kisah lain yang menunjukkan budi pekerti kian hilang.

Raden Ngabehi Ranggawarsita  menggambarkan keadaan zaman gila atau edan, zaman yang tidak adil, dekadensi moral, hukum, dan keadaan tidak menentu serta sulit diprediksi. Ia juga melukiskan ketidakkompakkan para pemimpin dan para pejabat.

Berikut pernyataan Pujangga tersebut: Ratune ratu utama / patihe patih linuwih / pra nayaka tyas raharja / panekare becik-becik/ parandene tan dadi/ paliyasing kalabendu/ malah mangkin andadra/ rubeda kang ngreribedi/ beda-beda hardane wong sanagara//.

Benarkah prediksi Ranggawarsita tersebut relevan dengan bangsa Indonesia yang dewasa ini darurat budi pekerti? Pemerintah berjanji dan bertekad meralisasikan revolusi budi pekerti (mental). Ini salah siapa? Langkah-langkah konkret apa yang  harus segera dilakukan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya