SOLOPOS.COM - Agus Tjahajana Wirakusumah (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (13/11/2015), ditulis Agus Tjahajana Wirakusumah. Penulis adalah Mantan Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian.

Solopos.com, SOLO — Perjanjian perdagangan bebas (free trade area atau FTA) akan menjadi sebuah keuntungan bagi negara anggota yang siap karena produknya bisa mendapatkan pasar baru tanpa sekat batas negara.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Selain menikmati pasar bersama, dengan dihilangkannya hambatan perdagangan FTA dapat menimbulkan trade creation maupun trade diversion. Bagi yang tidak siap, FTA bisa menjadi sebuah mimpi buruk.

Disebutkan bahwa Trans-Pacific Partnership (TPP) yang beranggotakan 12 negara adalah ”high quality, 21st century agreement”. Betapa tidak, berbagai isu baru ditambahkan terhadap perjanjian liberalisasi klasik, yang biasanya hanya berkisar perdagangan barang dan jasa.

Tambahannya tidaklah tanggung-tanggung yaitu isu telekomunikasi, e-commerce, business mobility, government procurement, intelectual property, labor, competition and state owned company (SOE), environment, dan lain-lain.

Isu-isu baru ini memang jauh melebihi kesepakatan di World Trade Organization (WTO) yang ditandatangani 162 negara. Dari 12 negara anggota, dengan merunut kemampuan ekonomi, perdagangan, industri dan teknologi, serta kepentingannya bergabung, dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok.

Kelompok 1 adalah Amerika Serikat (AS), Jepang, Kanada. Kelompok 2 adalah Singapura, Brunei Darussalam, Chile. Kelompok 3 adalah Australia, New Zealand. Kelompok 4 adalah Malaysia, Meksiko. Kelompok 5 adalah Vietnam dan Peru.

Kelompok 1 adalah negara yang sangat mapan baik ekonomi, teknologi, termasuk intellectual property right (IPR), serta memiliki banyak perusahaan multinasional (multinational corporation atau MNC) sebagai operator bisnis.

Kelompok 2 adalah negara yang mapan tata kelola hukum dan peraturannya dan sebenarnya sudah menjadi hub-bisnis dari Kelompok 1. Kelompok 3  adalah negara yang menggantungkan ekonominya pada peningkatan nilai tambah bidang tertentu, mapan di penguasaan teknologi maju dan dalam, tapi sangat perlu akses pasar, misal untuk dairy products.

Kelompok 4 adalah negara-negara yang sudah menjadi basis produksi MNC dari Kelompok 1 sehingga kalau bergabung akan memudahkan rantai nilai produksi MNC bekerja.

Kelompok 5 adalah negara yang mencari akses pasar dari produk padat tenaga kerja seperti tekstil dan juga harapan adanya bantuan dari kerja sama teknologi yang diiming-iming Kelompok 1.

Dalam dunia nyata memang tidak secara tegas ada batas pemisah dari kelompok-kelompok tersebut. Bila disederhanakan, Kelompok 1, 2, dan 3 sebenarnya tidak lain adalah basis rantai nilai tambah global dari operasi MNC yang ada di Kelompok 1.

Sementara itu, kelompok 4 dan 5 punya harapan mendapat  akses pasar yang lebih besar karena terbatasnya pasar domestik dari masing-masing negara tersebut.

Dari data statistik International Monetary Fund (IMF) dan WTO, 12 negara tersebut menguasai 40% gross domestic product (GDP), 27% ekspor barang, 30% impor barang, 28%  ekspor jasa, dan 27% impor jasa dari dunia  secara keseluruhan. Dari keseluruhan nilai-nilai tersebut, sepertiga GDP dan perdagangan barang dan jasa dimiliki oleh Amerika Serikat dan Jepang. [Baca: Posisi Indonesia]

 

Posisi Indonesia
Pertanyaannya di mana kepentingan Indonesia? Kita sudah jelas tidak termasuk dalam Kelompok 1, 2, 3 maupun 4. Dengan potensi domestik yang dimiliki Indonesia, memilih strategi Kelompok 5 adalah menyia-nyiakan anugerah Tuhan.

Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam sangat tergantung terhadap ekspor hingga di atas 80%. Keretgantungan Singapura malah 200%, sehingga liberalisasi demi kelanggengan ekspor adalah strategi yang harus diambil, yaitu memperbesar akses pasar.

Peran ekspor Indonesia hanya 25% saja terhadap GDP. Memang ada kepentingan Jepang di sektor otomotif tapi hingga saat ini Jepang tidak pernah serius menunjuk Indonesia sebagai basis produksi, selain pasar.

Indonesia pasar sepeda motor ketiga terbesar di dunia. Pada 2014 memproduksi 7,9 juta unit per tahun, tapi ekspornya hanya 41.000 unit,  padahal sudah beroperasi hampir 45 tahun di Indonesia.

Di Thailand, pasar domestik hanya 1,8 juta, ekspornya 933.000 unit. Fokus AS di Indonesia tak lebih pada bisnis eksplorasi minyak, gas, dan mineral.

Lebih dari lima tahun sudah kinerja sektor industri menurun. Banyak pekerjaan rumah belum selesai, seperti faktor labor market efficiency yang lima tahun lalu menduduki posisi ke-43 ternyata menjadi posisi ke-110 pada 2014, terbawah dibanding negara ASEAN lainnya.

Modal bersaing hanya mengandalkan 66% teknologi rendah dan menengah-rendah sehingga belum ada produk manufaktur yang bisa diunggulkan. Indonesia tergolong lumbung gas tapi harga gas jauh lebih mahal daripada ndi negara yang tidak punya gas.

Di sektor pertanian sementara ini ketahanan pangan belum teramankan. Usaha untuk menekan tingginya impor beras, gula, kedelai, sapi, dan sebagainya masih butuh waktu. Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) akan dipaksa berkatagori SOE dan selanjutnya tidak boleh diberi perlakuan berbeda dengan swasta.

Sejatinya kita sadar telekomunikasi, government procurement, SOE, IPR adalah alat untuk memperkuat kemampuan research and development (R&D) dan teknologi yang harus menjadi motor daya saing berkelanjutan bangsa ini dalam jangka panjang. Perjanjian TPP telah mengunci dengan berbagai dalil. [Baca: Usulan dan Strategi]



 

Usulan dan Strategi
Kesiapan untuk ikut TPP terasa masih compang-camping. Jangan mengharap strategi ikut dulu baru diperbaiki, pasti dilibas. Tidak ada dalil dalam perjanjian yang menyatakan berhenti sementara atau mengundurkan diri.

Pelajaran berharga dari ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang ditandatangani 4 November 2002 adalah kelonggaran waktu tujuh tahun mempersiapkan diri.

Kenyataannya hanya dalam waktu tiga tahun sejak diberlakukan penuh di awal 2010, neraca perdagangan sektor industri berubah dari positif menjadi  minus US$13 miliar. Untuk minta berhenti harus disetujui semua anggota plus memberikan kompensasi sehingga gagal.

Pelajaran mahal lainnya, akibat menandatangani perjanjian di bidang information technology (IT), sejak 1987 kita tidak bisa menaikkan tarif impor telepon genggam. Masih belum pupus dalam ingatan bahwa Blackberry memilih Malaysia untuk investasi daripada Indonesia.

Pemerintah dalam mengikatkan negara dalam perjanjian mana pun harus benar-benar mengerti apa yang mau dibangun dalam jangka panjang. Jangan mengorbankan kepentingan generasi mendatang dengan tergesa-gesa menandatangani bila hitungan manfaat saat ini atau kelak belum dipetakan secara multisektoral.

Seandainya ada jaminan dari Kelompok 1 bahwa kita akan menjadi hub dan sekaligus basis produksi dalam suatu janji program yang jelas, terukur, transparan, dilengkapi penaltinya, mungkin dalam waktu lima tahun yang akan datang dapat dipertimbangkan keikutsertaan negara kita dengan keterbukaan pasar maksimal 90%.

Tiongkok masuk WTO tidak pada awal pembentukannya, tapi dengan perhitungan yang akurat dan begitu menjadi anggota langsung mengecap manfaatnya karena seluruh pekerjaan rumah sudah dibereskan terlebih dahulu.

Oleh karenanya, menandatangani piagam TPP saat kita sudah siap adalah yang terbaik. Mengikuti TPP tanpa persiapan hanya akan menjadi musibah serta meninggalkan bom waktu bagi generasi penerus. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya