SOLOPOS.COM - Kholilurrohman, Dosen Fakultas Usuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Kholilurrohman, Dosen Fakultas Usuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Beribadah akhir-akhir ini terasa sulit banget di Indonesia, terutama bagi mereka yang tidak ikut arus utama. Anehnya, arus utama ini telah mengklaim dirinya sebagai “pembawa” kebenaran tunggal karena merasa paling memegang Alquran dan Al Hadis sebagai dua warisan Rasulullah. Di sisi lain, menganggap seseorang yang di luar kelompoknya sebagai seseorang yang salah. Aneh bukan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dulu para pendiri bangsa ini berpikir bahwa siapa pun yang menjadi elemen anak bangsa berhak untuk hidup dan menjalankan apa yang menjadi keyakinan dalam keagamaan dan bahkan aliran kepercayaan mereka. Sampai-sampai hal itu dilegalkan dalam pasal yang ada dalam UUD 45. Tujuannya, menjaga minoritas dalam kepercayaan yang terkadang “tersia-siakaan” dan terzalimi oleh mayoritas.

Ada yang menyinyalir bahwa kasus kekerasan yang terjadi di Sampang adalah masalah keluarga yang tidak terselesaikan dan berujung pada pelabelan Syiah. Masyarakat seolah telah diberi info bahwa Syiah adalah sesat, maka perlu diusir dari kampung halaman atau kalau perlu Indonesia. Sebenarnya siapa yang sesat? Mereka yang menegakkan agama Islam dengan kekerasan atau sekadar mewacanakan wacana lain?

Dalam Quran Surat Al Maa’uun Allah memberi sifat kepada mereka yang mendustakan agama, yakni: (1) mereka yang tidak peduli dengan nasib anak-anak yatim; (2) mereka yang tidak peduli dengan nasib kehidupan fakir dan miskin; dan (3) mereka yang salat, tetapi salatnya tidak berkorelasi secara positif terhadap kehidupan.

Andaikan definisi versi Alquran disepakati, apakah perlu seseorang membuat cemas kepada orang lain yang hal itu tidak ada kaitannya dengan keagamaan. Apakah seseorang karena merasa cara memahaminya yang paling benar terhadap agama, kemudian ia berhak memaksakan pemahamannya kepada seseorang supaya mengamini keyakinannya itu?

Kebenaran, dalam tradisi filsafat harus diuji oleh sang waktu, bukan kekuasaan apalagi kekerasan. Islam yang dibawa Rasulullah diyakini sebagai ajaran yang diterima langsung dari Allah. Bahkan Alquran menggaransinya, apa pun yang diucapkan Rasulullah adalah murni dari Allah (wahyu), bukan nafsu.

Menurut Indra Tranggono (Kompas, 28/08/12) kebenaran hanya patuh dan tunduk pada nilai, moral, logika dan unsur pendukung lainnya: realitas dan fakta yang objektif. Kebenaran selalu menjerit dan meronta setiap ditekan oleh kepentingan yang mengingkari dirinya, baik melalui hukum yang seolah adil tetapi sesat maupun rekayasa (manipulasi) atas perkara, data dan fakta. Kebenaran pun selalu menemukan jalannya sendiri untuk membuktikan eksistensinya yang sejati.

Ajaran Islam telah 14 abad diuji oleh ruang dan waktu dan ternyata ia berhasil menjadi pedoman mayoritas orang Indonesia. Ajaran Islam dijadikan sebagai cara seseorang hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Buktinya, tidak sedikit yang merasakan memang Islam adalah agama yang mampu menjawab persoalan itu. Misalnya, jangan mencuri. Itu merupakan nilai hikmah dari puasa, yakni: jangankan yang haram, yang halal saja, meskipun hak milik sendiri, tetapi karena puasa, seseorang tidak berani memakan atau meminumnya di waktu antara subuh dan magrib.

Contoh lain, Islam memberi hak kepada perempuan yang semula tidak mendapat warisan atau bahkan perempuan bisa diwariskan, sejak Islam datang, Islam menawarkan konsep perempuan mendapat bagian setengah dari laki-laki dan perempuan tidak boleh diwariskan. Bahkan, bila seseorang mengaku dirinya bertakwa, ia harus merealisasikan keadilan.

Kalau dulu Ahmadiyah yang dijadikan musuh bersama di beberapa tempat, saat ini Syiah. Pertanyaannya, besok siapa lagi? Kalau pemerintah tidak menghukum pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, maka suatu saat aliran-aliran kepercayaan yang terkadang “mencuplik” nilai-nilai kebaikan dari sebuah agama, maka agama asal akan “marah” dan mereka tidak segan menghabisi, meneror dan bahkan menghancurkan.

 

Fitrikan Hati

Sebenarnya prihatin juga melihat cara pemeluk agama akhir-akhir ini yang mudah marah-marah hanya karena persoalan siapa yang benar. Jangan-jangan suatu saat jamaah juga akan saling serang dan bunuh membunuh karena saling olok mengolok masalah siapa yang paling absah dan benar dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal.

Beberapa hari yang lalu, ada juga jamaah yang karena pengajian menggunakan sound system yang keras dan sampai malam belum selesai, dianggap “mengganggu” ketenteraman masyarakat. Akhirnya, karena kedua belah pihak merasa pada posisi benar, keduanya siap untuk bertempur. Untungnya, peristiwa itu tidak sampai meluas. Saya tidak bisa membayangkan kalau ada yang terbunuh, pasti desa itu tidak beda dengan daerah Sampang yang saat ini sedang ada masalah.

Hakikat Syawal adalah bulan peningkatan. Peningkatan kadar ketakwaan yang ada di hati. Maka seseorang yang telah berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadan kadar ketakwaannya meningkat. Ia harus mampu mengendalikan nafsu amarah yang bergelora di hati diganti dengan semangat berdialog dan menemukan saling memahami. Mereka yang masuk ke dalam kelompok Syiah tentu berbeda dengan yang masuk ke dalam kelompok Sunni. Begitu juga mereka yang masuk ke dalam kelompok Nahdlatul Ulama akan berbeda dengan mereka yang masuk ke dalam kelompok Muhammadiyah. Hanya dengan memahamilah, satu sama lain dapat berkomunikasi secara mesra.

Fitri harusnya menjadi media untuk saling memaafkan satu dengan yang lain. Bahkan kepada mereka yang pernah menzaliminya. Menzalimi tentu tidak sekadar secara fisik, tetapi ftnah itu lebih kejam dari pada membunuh. Seseorang yang terfitnah, ia akan menderita sepanjang hidupnya sampai ia mampu membuktikan bahwa ia tidak seperti yang dituduhkan.

Akhirnya, kefitrian hati harus terus dijaga agar fitnah tidak menyebar dan menjadi teror anak bangsa. Biarlah anak bangsa Indonesia menemukan hidup dalam agama dan keyakinan mereka. Biarkan mereka menjadikan agama dan keyakinan mereka untuk menata kehidupan yang lebih baik. Kekerasan meskipun atas nama agama, tidak akan pernah mengantarkan seseorang kepada kedamaian dan kesejahteraan. Bismillah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya