SOLOPOS.COM - A.J. Susmana (Istimewa)

Gagasan Solopos kali ini ditulis A.J. Susmana. Penulis adalah Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Saat ini penulis aktif sebagai anggota Divisi Sastra di Sanggar Satu Bumi dan Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik.

Solopos.com, SOLO — Soal pangan adalah juga soal kebudayaan. Apa yang dimakan bisa menjadi ukuran kebudayaan dan peradaban sehingga tidak sekadar ukuran kemiskinan hidup dan soal kekayaan semata.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di sana terkandung ilmu, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang dapat menyempurnakan kemanusiaan sebagaimana pilihan yang sering dihadapkan kepada kita: hidup untuk makan atau makan untuk hidup?

Manusia tak berkecukupan bila  hanya meramu dan mengumpulkan. Manusia kemudian mengolah segala materi yang bisa menjamin kehidupan dan kelangsungan hidup umat manusia.

Di atas semua cita-cita dan pandangan muluk soal pangan, yang jelas bagi kita, pangan adalah kebutuhan pokok, kebutuhan primer. Pangan yang pertama-tama adalah soal mempertahankan hidup.

Ini sebagaimana doa yang menuntut dari Doa Bapa Kami, ”Berilah kami makanan yang secukupnya pada hari ini”. Naluri kehidupan akan menuntun pada kebutuhan pangan dan bisa tidak peduli pada keberatan-keberatan etis.

Filsafat atau pandangan hiduplah yang kemudian menuntun kita ke laku tentang bagaimana memperlakukan soal pangan ini. Sebagai bangsa dengan cita-cita besar, Bung Karno pada pidato peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada 27 April 1952  menggariskan tentang hal ini.

Bung Karno menyatakan soal pangan adalah soal hidup atau mati. Bung Karno pada kesempatan itu mengatakan politik bebas, prijsstop, keamanan, masyarakat adil dan makmur, mens sana in corpore sano, semua itu menjadi omong kosong belaka selama kita kekurangan bahan makanan.

Bung Karno juga mengatakan semua itu menjadi omong kosong selama tekor kita ini makin lama makin meningkat, selama kita hanya main cynisme saja dan senang cemooh-mencemooh, selama kita tidak bekeja keras, memeras keringat mati-matian menurut plan yang tepat dan radikal.

Presiden pertama Republik Indonesia ini menandaskan revolusi pembangunan harus kita adakan. Revolusi besar di atas segala lapangan, revolusi besar dengan segera, tetapi paling segera di atas lapangan persediaan makanan rakyat.

Saat ini setelah hampir 70 tahun pendirian Republik Indonesia dan 63 tahun pidato Bung Karno soal pangan sebagai soal hidup mati negeri ini, kita tetap belum bisa berdiri di kaki sendiri (berdikari) dalam  persediaan makanan.

Tanah-tanah di negeri ini masih kurang dalam menumbuhkan bulir-bulir padi untuk rakyat sehingga ketersediaan pangan terutama beras harus didatangkan dari luar.

Sekarang pun situasinya seperti yang dikeluhkan Bung Karno 63 tahun yang lalu ketika berharap akan lahirnya putra-putri negeri yang bisa membebaskan rakyat Indonesia dari ancaman kelaparan. [Musuh Berbahaya]

 

Musuh Berbahaya
Bung Karno mengatakan buat apa kita bicara tentang ”politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong membeli beras dari bangsa-bangsa tetangga?

Kalau misalnya peperangan dunia III meledak, menurut Bung Karno, entah besok entah lusa, dan perhubungan antara Indonesia dan Siam dan Burma terputus karena tiada kapal pengangkutan, dari mana kita mendapat beras?

Haruskah kita mati kelaparan? Buat apa kita membuang deviezen bermiliar-miliar tiap-tiap tahun untuk membeli beras dari negara lain, kalau ada kemungkinan untuk memperlipatganda produksi makanan sendiri?

Menurut Bung Karno, segala ikhtiar kita menekan harga-harga barang di dalam negeri pun–sebagaimana yang telah kita alami–selalu akan kandas, selalu akan sia-sia, selama harga beras periodik membubung tinggi, karena harga beras memang menentukan harga barang yang lain-lain.

Karena itu, soal pangan bagi berlangsungnya sebuah bangsa yang merdeka bukanlah soal main-main. Soal pangan tak sekadar menyediakan pangan yang entah datangnya dari mana, tapi menyediakan makanan yang sehat bagi generasi bangsa penerus adalah juga tanggung jawab para pemangku negeri.

Dengan begitu masuknya beras sintetis (diduga kuat beras yang dibuat dengan salah satunya bahan pembuat plastik) dalam kebutuhan pangan rakyat di luar pengetahuan pemerintah tentu saja sangat mengganggu kemampuan kita menjaga negeri ini dan tentu saja menghina tingkat kebudayaan kita dalam soal pangan.

Apakah intelijen kita tidak bekerja? Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menduga operasi beras plastik ini bukan sekadar motif ekonomi tapi juga motif politik: makar terhadap negara dan sabotase kepada pemerintah.

Menurut Tjahjo, Menteri Perdagangan maupun Badan Urusan Logistik (Bulog) sudah berkali-kali membuat pernyataan bahwa sejak Januari lalu tidak ada impor beras.

Dalam soal membangun kemandirian pangan tentu harus kita dukung. Para penjahat yang laku politik dan pekerjaan mereka melemahkan kemampuan kita untuk semakin mampu memproduksi pangan secara mandiri harus kita anggap sebagai musuh yang paling berbahaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya