SOLOPOS.COM - Y. Bayu Widagdo bayu.widagdo@bisnis.co.id Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia

Ubed Abdilah Syarif abdeeki@gmail.com Pendiri Solo Research Network

Ubed Abdilah Syarif
abdeeki@gmail.com
Pendiri Solo
Research Network

 

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

 

 

Wong cilik menurut almarhum Prof. Soegijanto Padmo–semasa hidup adalah guru besar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada–adalah orang atau kelompok yang terasing (alienated) dan terpinggirkan (marginalized).

Pada masa lalu mereka ini bernasib sebagai pihak yang selalu diperintah (the ruled) dan teraniaya (the oppressed). Sementara sejarawan dan budayawan almarhum Prof. Kuntowijoyo, yang mengelaborasi struktur masyarakat di wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada masa 1900-1915, menyebutkan ada dua kategori wong cilik yakni wong cilik saudagar dan wong cilik biasa.

Wong cilik biasa, selanjutnya hanya disebut wong cilik, adalah strata paling bawah, sementara wong cilik saudagar satu tingkat di atasnya. Kelas di atasnya berturut-turut adalah kalangan priayi, bangsawan, dan raja di posisi paling tinggi.

Mantan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi) yang awalnya merupakan seorang pengusaha mebel bisa dikategorikan sebagai wong cilik saudagar. Wong cilik sudah lebih dulu populer dalam budaya politik wong Solo daripada kata blusukan yang sekarang seolah menjadi trade mark politik Jokowi.

Kedua term itu sama-sama menganalogikan pada budaya politik masyarakat kelas bawah dalam struktur masyarakat kita, yaitu kelas pekerja (buruh), buruh tani, warga desa, pedagang informal (pedagang kaki lima) dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Beberapa lembaga survei menempatkan Jokowi sebagai orang dengan tingkat keterpilihan (elektabilitas) tertinggi sebagai kandidat calon presiden. Jika pemilihan presiden digelar dalam waktu-waktu ini, hasil survei-survei itu memperkirakan Jokowi akan memenangi pemilihan dan menjadi presiden mengalahkan kandidat lain dengan selisih suara cukup tinggi.

Tidak tanggung-tanggung, sebuah lembaga survei menyebut Jokowi sebagai “capres setengah dewa”, yang akan mengalahkan siapa pun pesaingnya. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) membuat judul surveyi Mencari Pesaing Jokowi yang hasilnya para pesaing Jokowi meraih suara yang jauh lebih rendah.

Bahkan, para pesaing dengan nama-nama besar pun tak cukup mendekati perolehan suara Jokowi. Faktanya, aspirasi untuk mendukung Gubernur DKI Jakarta itu sebagai kandidat calon presiden pada pemilihan umum (pemilu) mendatang tampak menguat.

Sekretariat nasional dan pos koordinasi (posko) untuk mendukungnya sudah dideklarasikan di berbagai tempat. Partainya sendiri, PDI Perjuangan, sejauh ini belum meresmikan atau menjatuhkan pilihan kepadanya sebagai calon presiden dalam Pemilu 2014.

Sejak ambyur ke dalam dunia politik, kiprah Jokowi sebagai seorang pemimpin (Wali Kota Solo) diidentikkan dengan dukungan kelompok masyarakat bawah yang kerap disebut dengan wong cilik.

Partai politik yang mengusungnya dalam pencalonan Wali Kota Solo pada 2005 adalah partai yang mengidentifikasi diri sebagai partainya wong cilik, yakni PDI Perjuangan, yang memang memiliki basis kuat di Solo.

Dalam perspektif sejarah kebudayaan, Kuntowijoyo menyebut di masa lalu wong cilik hanya menjadi penggembira dan penonton di pinggir  dan teralienasi dari budaya perilaku raja, priayi, dan para bangsawan.

Demikian pula saat Solo bertransformasi ke peradaban kota. Wong cilik hanya menjadi saksi perubahan yang terjadi. Mereka tidak bisa menikmati trem, kereta api, kereta kuda dan hiburan-hiburan baru yang muncul semacam bioskop, pertunjukkan teater/opera atau bergabung ke societet harmoni karena “mahal”.

Ruang hiburan mereka hanya sekatenan yang merupakan pemberian raja dalam rangka ritual syukuran perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam politik semasa awal pergerakan kemerdekaan Indonesia, wong cilik Solo berbondong-bondong menyokong organisasi Syarikat Dagang Islam yang kemudian menjadi Syarikat Islam (SI) pimpinan seorang saudagar dari Kampung Batik Laweyan, K.H. Samanhudi.

 

Perlawanan

Samanhudi dan komunitas saudagar di Laweyan merupakan penggerak ekonomi politik yang merepresentasikan perlawanan bukan hanya terhadap kaum kolonial, tapi juga kepada elite kebudayaan dan ekonomi yang waktu itu dikuasai penjajah (Eropa) yang berkongsi dengan bangsawan/raja dan pengusaha Tionghoa.

Di masa-masa Orde Baru, wong cilik di Solo merapat ke partai yang waktu itu merupakan partai yang dianiaya/ditekan (the oppressed), Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Orde Baru di bawah Suharto yang kian menekan PDI saat klan Soekarno (Megawati Soekarnoputri) hendak menjadi pemimpin partai itu justru menguatkan dukungan wong cilik terhadap Megawati.

Hingga PDI bertransformasi menjadi PDI Perjuangan, sebutan sebagai partai wong cilik kian melekat. Solo merupakan basis kuat partai ini sejak lama dan saat ini berada di bawah kepemimpinan sang Wali Kota pengganti Jokowi, F.X. Hadi Rudyatmo.

Dalam konteks ini, kemunculan Jokowi menjadi Wali Kota Solo dengan pasangannya F.X. Hadi Rudyatmo, yang juga adalah sosok wong cilik, telah mementaskan transformasi wong cilik dari the ruled menjadi the ruler.



Rudy yang menggantikan posisi Jokowi sebagai Wali Kota Solo saat ini adalah sosok wong cilik biasa yang menapaki karier politik dari bawah sejak aktif di serikat buruh perusahaan tekstil, berasal dari keluarga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo dan beberapa kali rumahnya tergusur.

Jokowi-Rudi mendorong wong cilik sebagai pusat, memberikan lakon utama dalam pentas politik dan pembangunan peradaban kota. Jokowi-Rudi menciptakan ruang-ruang di mana wong cilik eksis, membuatkan area yang layak bagi pedagang kaki lima, memperbaiki pasar-pasar tradisional, merenovasi bangunan kelurahan, dan menciptakan panggung rakyat dan ruang terbuka.

Saat memenangi pemilihan Wali Kota Solo untuk periode kedua pada 2010, pasangan wong cilik Jokowi-Rudi meraih suara di atas 90%, mengalahkan ”bangsawan” dari Keraton Solo, Edy Wirabhumi yang berpasangan dengan Supradi Kertamenawi.

Saat akhirnya pada 2012 Jokowi mentas dari Solo ke Ibu Kota sebagai DKI 1 term blusukan dan wong cilik bertemu. Dalam skala yang lebih luas, Jokowi melakukan cara-cara pendekatan kepada wong cilik persis sama dengan yang telah ia lakukan di Solo.

Ia telah mencoba menggerakkan wong cilik kota yang selama ini selalu di pinggir ke arena pentas partisipasi. Ia menyentuh manusia-manusia di kawasan perdagangan kaki lima, pinggiran kota, bantaran sungai, dan di sudut-sudut kota.

Ia juga mencoba menyediakan ruang dan panggung hiburan dan menarik wong cilik kota sebagai aktornya, bukan semata penonton. Tampaknya, entakan wong cilik ini mulai menggoyahkan patron-patron politik yang selama ini menjadi figur kuat dalam wacana politik nasional, tokoh-tokoh nasional yang langganan digadang-gadang menjadi calon pemimpin atau presiden.

Dalam bursa nama-nama calon presiden, wong cilik ini telah menjadi “hantu” politik bagi siapa pun. Siapa saja yang menyatakan atau diajukan untuk maju sebagai calon peserta dalam Pemilu 2014 harus dihadapkan vis a vis Jokowi.

Media massa seolah punya pertanyaan seragam untuk mereka: apakah anda siap bertarung melawan Jokowi? Bagaimana peluang Anda menghadapi sang ”hantu” politik itu?

Namun, akankah wong cilik ini benar-benar bertransformasi menjadi pemerintah (ruler) sesungguhnya, menjadi Republik Indonesia (RI) 1? Mungkin, dalam beberapa bulan ke depan kita bisa temukan jawabannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya