SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (13/10/2015), ditulis Ahmad Djauhar. Penulis adalah wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI).

Solopos.com, SOLO — Mekah, 53 tahun setelah Tahun Gajah, tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, menunjukkan suasana yang sangat tidak nyaman, tidak kondusif, bahkan cenderung berbahaya untuk sekadar hidup bagi mereka yang sudah mengenal ketauhidan.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Tekanan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslim ketika itu semakin menjadi-jadi, bahkan mereka sempat melakukan aksi blokade total terhadap Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya selama lebih dari tiga tahun.

Akibatnya kesengsaraan menelikung kaum muslim karena mereka terkucil di salah satu pinggiran kota Mekah, nyaris tanpa pasokan logistik yang memadai. Siapa pun yang berhubungan dagang dengan kelompok yang dianggap mengingkari para dewa sesembahan kaum kafir Quraisy, meski tidak mengimani risalah Islam, dianggap sebagai kelompok dissident sehingga dapat dikenai sanksi.

Penderitaan Muhammad SAW sendiri tidak kalah beratnya. Meskipun blokade sudah dibuka, kondisi para pengikut setianya dapat dibilang sangatlah sengsara. Orang-orang terdekatnya pergi untuk selama-lamanya.

Salah satu orang terdekat yang senantiasa begitu dibutuhkan kehadirannya oleh Muhammad itu adalah pamanda tercinta Abu Thalib bin Abdul Muththalib, seorang tokoh suku Quraisy terhormat yang membela sang kemenakan dalam mengembangkan dakwah Islam.

Tak berselang lama, sang istri terkasih, Khadijah binti Khuwailid, yang semula merupakan konglomerat dari suku Quraisy, yang dengan kesetiaan dan cintanya membela Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan wahyu kebenaran dari Allah, juga pergi untuk selama-lamanya.

Benar-benar sebuah masa yang penuh kesedihan, aamulhuzni, bagi Rasulullah SAW beserta pengikutnya, yang bagi para pemimpin Quraisy dianggap sebagai kondisi kemorosotan psikologis dan karenanya mereka meningkatkan tekanan agar Muhammad menyerah dan kembali kepada mereka untuk bersama-sama menyekutukan Allah dan menyembah dewa-dewa nenek moyang, terutama Latta dan Uzza.

Sebagaimana sejarah telah mencatat, di awal-awal perjuangan menegakkan kalimat tauhid, Muhammad SAW telah berikrar bahwa seandainya mentari diberikan di tangan kanan serta rembulan di tangan kirinya, agar dirinya tidak menyampaikan dakwah Islam, karena aktivitasnya itu dianggap mengancam sesembahan mereka selama ini, dia takkan mundur setapak pun.

Nabi SAW bersama para pengikut setianya tetap tegar hingga beliau memperoleh perintah dari Allah untuk melaksanakan misi besar berikutnya, yakni berhijrah, keluar dari kondisi yang sudah tidak dapat diperbaiki menuju ke tempat lain yang kiranya lebih prospektif.

Tentu saja instruksi Allah itu benar adanya. Dengan berhijrah dari Mekah ke Yastrib (Madinah) itulah, Nabi Muhammad justru menemukan kegemilangannya, sukses mengembangkan tatanan baru yang di kemudian hari terbukti menjad iperadaban baru yang tidak hanya memberikan manfaat bagi umat Islam semata, melainkan untuk seluruh umat manusia sebagai manifestasi dari rahmatan lil alamin. [Baca: Transmigrasi]

 

Transmigrasi
Dari peristiwa hijrah tersebut, kita memperoleh begitu banyak pembelajaran yang sangat berharga, antara lain tidak ada kata menyerah dalam mempertahankan keyakinan yang berlandaskan kebenaran. Selain itu, saat lingkungan di sekitar telah kehilangan daya dukung, sementara di tempat lain terdapat prospek yang lebih menjanjikan maka gapailah peluang itu.

Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa mengalah untuk menang itu ternyata dapat menjadi solusi ketika tidak ada lagi dukungan riil untuk bertahan. Dengan berpindah ke tempat lain, besar kemungkinan bagi kita untuk dapat menyusun strategi lebih jernih dan mengembangkan sistem yang lebih bagus ketimbang di tempat semula.

Strategi seperti itu juga pernah dikembangkan secara missal di negeri ini, yang diberi label sebagai program transmigrasi, meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Transmigrasi diberlakukan terhadap warga yang tinggal di sejumlah daerah minus, kering, dantandus, serta minim dukungan alam.

Bukan hanya itu. Program pemindahan ke wilayah lain juga dilakukan terhadap sejumlah warga yang tergusur proyek pemerintah. Ada juga, program transmigrasi yang dimaksudkan untuk memindahkan sejumlah keluarga yang terampil dalam kegiatan bercocok tanam untuk membantu saudarasebangsa dan setanah air di pulau lain yang belum memiliki budaya tersebut.

Ketika mereka ”berhijrah” ke wilayah lain, ternyata tidak sedikit di antara para muhajirin alias transmigran tadi yang berhasil meningkatkan taraf hidupmereka. Pada dasarnya program tersebut baik—terlebih apabila diniatkan untuk mencontoh keberhasilan Rasulullah—maka selain bernilai ibadah juganiscaya memperoleh keberkahan.

Lain lagi apabila niat melakukan perpindahan itu untuk tujuan yang tidak baik, tentunya hasil yang akan dicapai juga tidak akan bermanfaat optimal. Misalnya, berpindah ke daerah lain untuk menaklukkan suatu bangsa alias melakukan penjajahan, sudah barang tentu tidak akan menghasilkan kebaikan karena ada sejumlah manusia yang dibuat menderita karenanya.

Sudah terbukti bahwa apa yang dicontohkan Rasulullah ternyata memang baik dan benar adanya. Hasil dari program hijrah ke Madinah yang paling nyata adalah kesuksesan merebut kembali Mekah tanpa perlawanan.

Kaum kafir Quraisy yang tadinya menentang dan cenderung ofensif terhadap Nabi Muhammad beserta pengikutnya, mengakui keunggulan ajaran yang dibawanya dan (sebagian dari) mereka beriman karenanya.

Pengaruh yang kemudian muncul tidak hanya melingkupi jazirah Arab, tapi meluas ke berbagai penjuru dunia sehingga terbukti bahwa Nabi Muhammad SAW diutus sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Selamat merayakan tahun baru 1437 Hijriah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya