SOLOPOS.COM - Setyaningsih (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Senin (17/7/2017). Esai ini karya Setyaningsih, seorang esais, pembimbing anak-anak yang belajar menulis, dan peminat tema-tema pendidikan dan kehidupan anak-anak. Alamat e-mail penulis adalah langit_abjad@yahoo.com.

Solopos.com, Solo–Mafalda: Manolito, kamu nggak perlu sedih karena sekolah segera mulai. Belajar kan buat kebaikan kita juga!

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Manolito: Iya, tapi kan susah!

Mafalda: Memang sulit, tapi itulah tantangannya. Kita seperti berperang: berjuang melawan kebodohan. Dan kita akan menang!

Susanita: Tapi, Mafalda, dalam perang itu, posisi Manolito memang cukup istimewa. Kita harus paham kalau Manolito yang malang sudah membawa musuh di atas pundaknya!

Itulah salah satu percakapan dalam komik strip Mafalda (2009) garapan Joaquin Salvador Lavado alias Quino. Tema sekolah diobrolkan dengan penu keusilan oleh Mafalda bersama teman-temanya dengan cerdas dan penuh satire.

Quino memang memunculkan ketokohan anak-anak yang mengemas kekritisan dengan lugu untuk membaca situasi sosial, politik, dan ekonomi Argentina era 1960-70an. Situasi itu termasuk sektor pendidikan yang kacau.

Situasi tersebut tampaknya masih sangat pas untuk membaca Indonesia saat ini. Mafalda mewakili anak-anak di dunia yang tabah bersekolah. Sekolah setara dengan berperang, memuat beban psikologis yang sungguh keterlaluan membebani hidup.

Sekolah berlimpah jargon menyatakan sekolah dengan gembira, pendidikan yang menyenangkan, atau kembali bersekolah dengan perlengkapan atau semangat baru. Itu semua ternyata belum cukup mampu mengatasi horor bersekolah.

Setiap semester atau tahun ajaran baru pasti dimulai dan berakhir, tapi masih tetap akan ada anak-anak yang merasa tidak bahagia kembali atau menuju sekolah. Hari-hari pertama sekolah adalah masa-masa penting yang mempertaruhkan mental sebelum urusan intelektual.

Anak-anak kembali ke sekolah seusai jeda liburan panjang. Mereka kembali bertarung untuk masa depan yang sering digaungkan oleh orang tua. Kembali ke sekolah adalah soal berkompromi dengan harapan-harapan orang tua dan impian diri yang terlalu misterius untuk diungkapkan.

Begitu krusial masa kembali atau memulai sekolah. S. Bradjanagara mengingatkan peran orang tua dalam buku Dasar-dasar Pendidikan Baru (1952). Perpindahan anak dari rumah menuju sekolah tidak sekadar membutuhkan kelengkapan administratif dan lantas orang tua bisa menyerahkan anak begitu saja kepada (guru) sekolah dalam seragam dan peralatan komplet.

Bradjanagara menjelaskan menurut keterangan para dokter dan berdasar statistik harus diakui bahwa kehidupan di sekolah merugikan pertumbuhan jasmani anak-anak, terutama bagi anak-anak yang baru masuk sekolah.

Selanjutnya adalah: Mereka kehilangan kemerdekaan bergerak…

Kemerdekaan Bergerak

Sebabnya ialah mereka kehilangan kemerdekaan bergerak dan harus selalu duduk dan diam. Muka mereka suram, berat badan merosot. Ada juga yang lalu tidak dapat tidur. Pekerjaan jang harus diselesaikan di rumah merugikan kesehatan murid.

Tabiat mereka berubah: menjadi mudah marah dan tidak peduli. Ini semua berarti bahwa kesehatan anak-anak harus dipelihara baik-baik. Pertolongan dokter diperlukan. Buku itu dipersembahkan untuk orang tua, calon guru, dan guru agar sadar dampak bersekolah.

Kerugian-kerugian fisik dan psikologis adalah keniscayaan meski dapat diyakini bahwa setiap sekolahan dengan guru-guru yang tidak ingin dicap tidak kreatif sudah membekali diri dengan inovasi-inovasi pembelajaran.

Muhammad Rajab membagi cerita pertama bersekolah dalam buku Semasa Kecil di Kampung, Anak Danau Singkarak (2011) dengan apik. Ada nuansa kegugupan sekaligus antusias yang malu-malu. Seorang bocah harus berdamai dengan kesedihan ditinggalkan orang tua.

Rajab bercerita, “Ayah pun pulang. Dan saya tinggallah dengan berpuluh-puluh anak lain, yang belum saya kenal. Saya sangat sedih, tidak seorang juga kelihatan kawan-kawan bermain di surau atau di Kampung Muara, yang boleh diajak bercakap-cakap nanti, dan akan kawan pulang. Kawan sebangku yang bertiga itu belum saya kenal. Mereka juga diam, tidak hendak menegur dulu. Kami masih malu akan memulai percakapan.”

Hari pertama tidak menyebabkan Rajab kapok oleh keterasingan berpindah ke ruang yang sungguh baru. Seperti istilah orang tua kekinian, Rajab berhasil beradapasi. Pengakuan Rajab justru memunculkan kesan sekolah mengalami degradasi karena tujuan Rajab merasa senang ke sekolah bukan untuk belajar seharian bersama guru.

Kita baca saja ungkapan Rajab. ”Beberapa hari kemudian mulailah jadi kegemaran baru bagi saya pergi ke sekolah itu, dan bangun pagi-pagi menggirangkan, sebab di sana banyak teman bermain, berkejar-kejaran, sepak bola, main galah, bercatur, main gundu, gasing, dan kelereng.”

Rajab tidak ambisius ingin pintar atau menjadi juara. Bermain adalah rahmat agung pada masa kecil saat bersekolah. Bocah bernama Samin dalam Si Samin (2007) garapan Mohammad Kasim yang terbit kali pertama pada 1924 juga menampilkan hari pertama menjadi murid sekolah.

Selanjutnya adalah: Merasa malu saat ditanya guru…

Merasa Malu

Samin merasa malu saat ditanya oleh guru, tapi terkesan tidak ada hal yang menakutkan dengan sekolah. Samin justru berhasil memang kala berkelahi dengan teman sekelasnya. Saat ditanya oleh adiknya, Ramlah, apa yang dikerjakan di sekolah, Samin menjawab, ”Belajar.”

Meski Samin sudah biasa berhitung saat di rumah atau di kampung, sekolah melegitimasi sebagai tempat belajar, tentu dengan selingan konflik dan berkelahi. Hari pertama biasanya tidak akan menjadi hari yang biasa saja, namun tampaknya tidak ada sekolah yang mendokumentasikan secara tertulis cerita hari pertama bersekolah secara kolosal.

Cerita hari pertama bersekolah bukan hanya soal jumlah murid atau data adminitratif lainnya. Orang tua biasanya juga lebih sering pamer foto pertama anak berseragam dengan kece, padahal momentum bersekolah bukan hanya soal perlengkapan dan kelengkapan, tapi juga soal pengasahan rasa dan pengolahan diri atas keseharian.

Hari pertama bersekolah adalah peristiwa bersejarah nan biografis saat kegirangan, kegembiraan, ketakjuban, dan kegugupan bisa saling menoleransi. Inilah awal menemukan segala yang konon baru untuk dimaknai; teman, suasana, guru, tempat, benda-benda, tanggung jawab.

Hari pertama bersekolah menentukan seorang bocah bertahan sampai akhir dengan kepatuhan atau dengan mencipta pemberontakan-pemberontakan kecil yang tidak membahayakan sebagai usaha pertahanan diri dari kemonotonan akut.

Setiap anak yang tabah menjalani peristiwa bersekolah akhirnya bisa memutuskan dengan heroik bahwa momentum emosional hari pertama masuk sekolah memang pantas disimpan atau disingkirkan jauh-jauh.

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya