SOLOPOS.COM - Muhammad Sholahuddin, Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta Kandidat PhD di IIUM Malaysia

Muhammad Sholahuddin, Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta Kandidat PhD di IIUM Malaysia

Pemerintah berencana menetapkan dan memberlakukan dua harga premium bersubsidi yang akan diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Mei mendatang. Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk mobil berpelat hitam diusulkan naik pada Mei menjadi Rp6.500-Rp7.000 per liter (, 16 April).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan rencana tersebut disosialisasikan oleh pemerintah pusat kepada gubernur-gubernur se-Indonesia dalam rapat kerja di Kementerian Dalam Negeri (, 16 April).  Bahkan, dalam forum itu ada beberapa gubernur yang mengusulkan langsung mencabut subsidi sehingga harga jual BBM sesuai harga keekonomiannya, sekitar Rp 10.000/liter.

Sementara menurut berita di media yang sama, Direktur Bahan Bakar Minyak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Djoko Siswanto menyatakan bahwa pemberlakuan dua harga BBM ini tidak hanya untuk premium bersubsidi saja tetapi juga untuk solar bersubsidi.

Ekspedisi Mudik 2024

Berbagai alasan dikemukakan oleh pemerintah dalam rencana menaikkan harga BBM. Alasan-alasan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM itu perlu disampaikan secara transparan, jujur dan masuk akal. Masyarakat kini kian cerdas. Saat ini masyarakat tidak mau dibodohi, apalagi sekarang mereka dengan mudah mengakses informasi dari berbagai media.

Ketika disampaikan bahwa kenaikan harga BBM ini hanya untuk mobil berpelat hitam, maka opini umum diharapkan akan memaklumi bahwa semua mobil berpelat hitam itu diasumsikan milik orang-orang kaya. Apakah benar asumsi itu? Mari kita lihat data berikut.

Jumlah mobil pribadi berpelat hitam sebanyak 53% dari total mobil di negeri ini. Angkutan umum sebanyak 7%.  Jika 50% dari mobil pribadi berpelat hitam digunakan untuk kegiatan usaha kecil menengah (UKM) berarti sekitar 74% premium bersubsidi dinikmati oleh rakyat menengah ke bawah. Kesimpulannya, asumsi bahwa semua pemilik mobil berpelat hitam itu adalah orang kaya jelas tidak tepat.

Jika alasan utama menaikkan harga BBM bersubsidi adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) rawan jebol akibat meningkatnya subsidi BBM, alasan tersebut sebenarnya kurang rasional. Bila kita telaah secara mendalam, menurut Triono (2012), defisit APBN lebih banyak disebabkan biaya birokrasi pemerintahan yang mencapai 55% sementara alokasi anggaran untuk subsidi hanya 8,7%.

Dalam tujuh tahun terakhir, belanja birokrasi naik lebih dari 400%, yaitu dari Rp187 triliun menjadi Rp733 triliun. Sementara pada rentang yang sama, kenaikan subsidi BBM hanya sekitar 29%.  Bila kita cermati, kenaikan belanja birokrasi banyak untuk pemborosan, seperti untuk renovasi gedung, biaya kunjungan kerja yang hakikatnya pelesiran, pembelian mobil mewah dan sebagainya yang bersifat tidak penting dan pemborosan. Jika pemerintah mau menghemat 10% saja, akan diperoleh dana segar sekitar Rp70 triliun.

Bila dikatakan bahwa pengurangan subsidi BBM untuk mengurangi beban utang, secara transparan akan terlihat berikut ini. Beban utang APBN itu untuk membayar cicilan pokok utang luar negeri senilai Rp43 triliun dan untuk membayar bunga sebesar Rp123 triliun. Setahu saya, tidak ada agama mana pun yang membolehkan bunga alias tambahan karena utang piutang.

Jika pemerintah masih mempunyai ”sedikit” iman dan mau memahami bahwa bunga itu sama dengan riba alias yang dibayar hanya pokoknya saja, masih dapat diperoleh dana Rp123 triliun. Angka itu masih jauh di atas beban untuk subsidi BBM. Apalagi jika ditambah dengan pemotongan/pemutihan pembayaran utang luar negeri, niscaya dana segar yang bisa diperoleh lebih besar lagi.

Sedangkan bila alasan menaikkan harga BBM bersubsidi adalah karena produksi BBM Indonesia rendah sehingga kita harus mengimpor minyak dengan mata uang dolar Amerika Serikat sementara menjualnya dengan mata uang rupiah, maka alasan ini pun kurang masuk akal. Produksi minyak di Indonesia saat ini banyak dikuasai oleh perusahaan asing, yaitu sekitar 85%.

Pendapatan minyak di bumi Indonesia lebih banyak dinikmati oleh perusahaan asing. Seharusnya pemerintah dapat melakukan renegoisasi  terhadap production sharing contract (PSC) sehingga menguntungkan Indonesia. PSC yang disepakati adalah 15% untuk pihak asing dan 85% untuk Indonesia, tetapi cost recovery (CR) dibebankan kepada Indonesia yang kemudian dikonversi dengan minyak. Jika CR mencapai 60%, berarti bagian Indonesia menjadi 15% dan bagian pihak asing menjadi 85%. Yang harus menjadi perhatian utama adalah penentuan CR sangat rawan dengan mark up.

 

Kesejahteraan Rakyat

 

Menurut perhitungan Kwik Kian Gie (2012), semestinya rakyat bisa menikmati harga premium sekitar Rp1.500 per liter. Jika untuk kebutuhan konsumsi rakyatnya masih ada sisa, negara dapat mengekspornya dengan harga dunia, kemudian keuntungannya dikembalikan kepada rakyat.

Atau, bila pemerintah harus menjual dengan harga sedikit di atas harga penjualan pemerintah (HPP), maka keuntungannya tetap harus dikembalikan kepada rakyat. Pengembalian dapat diberikan secara tidak langsung, seperti untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Melalui mekanisme ini Indonesia sangat mungkin mewujudkan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara gratis.

Ketika kebutuhan energi di dalam negeri tinggi, pengembangan energi alternatif wajib segera dilakukan, seperti konversi gas, batubara, nuklir, pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga ombak (PLTO) dan sumber-sumber energi alternatif lainnya.

Walhasil, dalam wacana pengurangan subsidi BBM tampaknya rakyat Indonesia masih membutuhkan alasan lain yang lebih transparan, jujur dan lebih masuk akal. Jangan sampai pengurangan subsidi BBM nantinya hanya karena pesanan pihak asing sebagaimana tersirat dalam undang-undang tentang minyak dan gas (migas). Para politisi dipilih oleh rakyat, tentunya untuk kesejahteraan rakyat. Jangan sampai membuat kebijakan hanya  untuk kepentingan diri atau kelompoknya dengan berharap recehan dari pihak asing. (didinsolo@yahoo.com)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya