SOLOPOS.COM - Puitri Hati Ningsih

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Sabtu (8/7/2017), ditulis Puitri Hati Ningsih dari komunitas Pawon Sastra Solo.

Solopos.com, SOLO–Beberapa hari ini ramai pembicaraan ihwal konten blog video putra ragil Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang menggunakan term ”ndesa” untuk mengkritik perilaku tak terpuji yang mengancam persatuan dalam kebinekaan bangsa ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ndesa sering jadi ujaran dalam komunikasi masyarakat Jawa sebagai ejekan atau ungkapan merendahkan satu kelompok atau orang tertentu yang dianggap tidak berpikiran maju atau tak modern dalam pergaulan dan dianggap wagu atau aneh di tengah zaman modern.

Ndesa juga jadi kata untuk menggambarkan orang yang tak berpendidikan, tidak gaul, tidak pernah membaca, tidak kekinian, tidak tahu perkembangan masyarakat. Dalam video yang diunggah Kaesang, kata ”ndesa” diekspresikan dengan sedikit emosional dan geregetan tertuju pada orang yang memiliki gelar akademis tinggi dari luar negeri tapi masih berpikir ndesa karena perilakunya merusak persatuan bangsa dan mengancam kebinekaan.

Kata ”ndesa” dalam pergaulan orang-orang Jawa biasa diucapkan dan dilontarkan dengan bahasa lisan dalam berbagai situasi dan ekspresi. Ada yang mengucapkan dengan senyum, tertawa, sinis, menggerutu, atau marah. Kaesang melontarkan kata itu dengan nada jengkel.

Bila seseorang kebangetan ndesane biasanya kata ”ndesa” berubah jadi ”ndhesit”. Kata ”ndhesit” itu adalah kata yang mengandung ekspresi perubahan makna yang lebih jelek daripada ”ndesa”. Banyak yang menyebabkan seseorang disebut ndesa. Penyebabnya bisa karena perilaku yang tidak lazim atau tak sesuai aturan dan etika masyarakat umum.

Bisa juga karena cara berpakaian, cara makan, cara berbicara, bahkan pada pilihan arsitektur rumah dan dekorasi rumah. Ungkapan ndesa itu misalnya digunakan untuk menilai perilaku seseorang yang masuk ke toko modern dan sandalnya dicopot, naik lift sandalnya dicopot, makan piza pakai nasi, suara dering telepon yang keras.

Dering telepon yang keras itu disebut ndesa kala nada panggilnya, misalnya, lagu dangdut yang berbunyi keras di tengah pertemuan, meskipun lagu dangdut sekarang secara faktual tidak bisa dan tak layak dikatakan ndesa. Ingat, perkembangan musik dangdut sangat pesat  di industri musik negeri ini.

Di dalam gedung teater yang ada etika harus mematikan telepon genggam atau minimal menyetelnya dalam mode sunyi ternyata ada seseorang yang nada dering telepon genggamnya berbunyi keras saat dipanggil, itu disebut ndesa. Mengambil foto adegan drama atau pemtas teater di teater yang tertutup menggunakan lampu kilat juga disebut ndesa.

Orang lain yang tidak ndesa atau orang kota atau secara umum orang yang paham etika yang empan papan akan melontarkan kekesalan dengan berkata atau bahkan teriak,”Ndesa banget!” Dalam berpakaian, misalnya, orang memakai pakaian tidur untuk bepergian atau berpakaian dengan warna busana bertabrakan, terlalu gemerlap pada waktu siang, memakai warna merah saat melayat, dengan warna menyolok, dan terkesan murah juga disebut ndesa.

Dalam dekorasi atau penataan rumah, misalnya, menaruh kulkas di ruang tamu itu ndesa. Dalam arsitektur rumah yang dikatakan ndesa adalah kalau tembok luar rumah dihias keramik yang bagi orang kota jamak dipakai untuk ubin atau untuk kamar mandi.

Ndesa yang kebangetan memang acap kali disebut ndhesit. Masyarakat Jawa masih punya kata untuk menyebut ndhesit yang kebangetan, yaitu kampungan ndesa alias kamsa. Kalau disebut ”kamsa” biasanya levelnya memang sudah ”tidak manusiawi” lagi dan ucapan ini cenderung berupa makian yang menyakitkan. Tentu saja berbeda maknanya ketika ndesa, ndhesit, dan kamsa konteksnya adalah bercanda.

Di dalam lingkungan keraton bila seseorang memakai kain batik sablon dan terkesan murah maka ia berada di kelas tersendiri yang lebih rendah, kelas ndesa, berbeda dengan kelas priayi  yang memakai perhiasan emas dengan karat tinggi, berlian asli, dan memakai kain batik tulis.

Perbedaan kelas juga terlihat dari keris yang dipakai. Keris yang terbuat dari logam kuningan, tembaga, atau dari bahan yang murah termasuk keris ndesa hingga ada ungkapan ”kerise saka bleg”, artinya kerisnya dibikin dari kaleng, bahan murah warna kuning keemasan yang jamak dipakai untuk membuat kaleng kemasan roti.

Dalam masyarakat Jawa ada ungkapan ”luwih mriyayeni”, sekelas priayi  atau seperti priayi. ”Baju ini mriyayeni warna dan coraknya,” begitu kata ibu saya kala melihat batik yang saka kenakan. Ndesa kemudian juga muncul sebagai ungkapan menilai karya seni. Ada karya seni yang dianggap ndesa dan priayi.

Selanjutnya adalah: Dikotomi bisa terlihat dalam seni musik…

Seni Musik

Dikotomi bisa terlihat dalam seni musik. Musik klasik ditonton oleh kalangan ningrat dengan harga tiket tinggi adalah musik priayi. Musik dangdut yang dipentaskan di lapangan dan ditonton orang kebanyakan dengan tiket murah, malah sering gratis, adalah musik ndesa. Menyebut ndesa untuk musik dangdut, seperti saya sebut di atas, kini mulai kehilangan kontekstualitasnya. Dangdut kian mriyayeni.

Dalam sejarah Islam ribuan tahun silam ungkapan yang semakna dengan ndesa dan piayi telah ada. Dulu ada Arab badui, yaitu Arab ndesa, yang datang ke masjid dan langsung kencing di dalam masjid yang pada masa itu lantinya berupa pasir. Sahabat Nabi Muhammad SAW marah, tapi Nabi memaafkan dan memaklumi orang badui, Arab ndesa, yang tidak tahu adat itu.

Dalam ”Ndesa” Ada Priayi

Yang dimaksud Kaesang dengan ndesa bukanlah desa yang dalam imajinasi kita adalah desa yang subur dan makmur, air sungainya jernih dan mengalir sepanjang waktu, penduduknya ramah dan sopan, karena bila kita berjalan ke pelosok desa jamak kita bertemu dengan penduduk desa yang ramah.

Mereka menyapa kita meski kita belum kenal. Penduduk desa, terutama para perempuan tua yang berkebaya, akan menyapa kita lebih dulu dengan ungkapan dan senyum tulus meski kita orang asing di desa itu. Mereka mau mendahului menyapa, tidak seperti orang kota yang tidak mungkin menyapa lebih dulu, apalagi dengan orang asing yang baru dikenal.

Di desa penduduknya belajar bahasa dan adab yang awalnya juga dari orang di kota atau di keraton sebagai puasat budaya dan peradaban. Itu mereka kembangkan dan lestarikan di desa. Memang benar semua hasil bumi berupa sayur-sayuran, buah-buahan, susu, dan ikan berasal dari desa, tapi itu tidak sepenuhnya benar.



Industri pertanian dan perikanan telah menguasai dan menepikan peran desa. Desa tak lagi jadi sumber pangan satu-satunya karena indusri makanan begitu pesat mencari celah bahkan air minum kita pun telah dikemas di pabrik-pabrik. Pasar tradisional dan warung rumahan mungkin masih menjadi mitra setia peradaban desa.

Terlalu luhur dan tinggi slogan yang dulu pernah diusung salah seorang calon gubernur Jawa Tengah yaitu ”Bali Desa Mbangun Desa” karena desa ingin terus berkembang dan bahkan ada yang terus berambisi menjadi kota dan mengkhianati jati diri kedesaannya.

Bila orang desa yang asli dengan karakter ramah tamah telah punah dan berusaha menjadi orang kota dengan segala perilaku dan budayanya, bukan tidak mungkin malah jadi ndesa atau ndhesit yang sesungguhnya. Ndesa pada akhirnya harus kita sepakati bermakna perilaku tak tahu adab, tak tahu sopan santun, tidak jujur, pengecut, dan mau menang sendiri. Jadi, kita bisa memetakan sendiri siapa yang ndesa, ndhesit, atau malah kamsa di antara kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya