SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tito S Budi
Penggiat Swawi Writers Club
Mengajar di STKIP PGRI Ngawi. (FOTO/Istimewa)

Ini sebenarnya hanyalah soal kisah setitik nila. Tapi apa boleh buat, sebab nila setitik rusak susu sebelanga. Begitulah bapak daniIbu Guru memberikan pelajaran peribahasa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sudah lama saya tak punya penyakit kagetan dan gumunan. Tapi terhenyak juga tatkala membaca pernyataan dari Rani Pribadi, Direktur Aksara, lembaga pembela hak-hak perempuan Daerah Istimewa Yogyakarta (Koran Tempo, 25 Januari 2013), bahwa penghasilan tambahan yang diterima guru dari sertifikasi mendorong perselingkuhan.

Begitu tegas dan lugas Rani mengatakan,”Dana sertifikasi guru lumayan tinggi, dari uang gaji yang diterima setiap bulan sebenarnya sudah mencukupi. Ditambah lagi dengan dana yang besar, guru sangat rentan perselingkuhan.”

Tentu, pernyataan itu bisa mengundang perdebatan panjang. Saya percaya masih banyak guru yang selama ini baik-baik saja. Artinya, tidak selingkuh, rukun-damai bersama pasangan resminya.

Tapi ini memang bukan persoalan statistika semata. Moral menyimpang yang menjelma menjadi nila dan kemudian mencemari susu sebelanga itulah soalnya. Jika yang melakukan bukan guru barangkali beban kesalahannya tak seberat itu, walaupun tetap tak bisa dimaklumi.

Bila benar apa yang diungkapkan Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam Meeting Standards Though Curriculum, yakni tugas mendidik tak hanya know-do-be, tapi juga virtue (kebajikan) maka persoalan moral-etika tak bisa ditawar-tawar lagi. Sementara kebajikan membutuhkan keteladanan.

Dalam khazanah pewayangan ada sebuah contoh kurang elok, yakni Begawan Wisrawa dari Pertapaan Dederpenyu. Dialah satu-satunya pandhita yang mampu menjabarkan dengan gamblang Sastra Jendra Ayuningrat Pangruwating Diyu, sebuah ngelmu yang sinengker, sangat dirahasiakan, oleh para dewa.

Dalam lakon Alap-alapan Sukesi, Wisrawa nekad medhar sabda, memberikan wejangan terlarang itu kepada Prabu Sumali, ayahanda Sukesi, yang akhirnya bisa mengubah wujud Sumali dari bentuk raksasa menjadi manusia biasa.

Tak sampai di situ, Wisrawa pun memberikan wedharan, penjabaran yang sama kepada Sukesi di tempat khusus yang disakralkan, tanpa busana (begitu versi pengisahan seorang dalang), yang tentu saja tak ada satu makhluk pun yang boleh mengetahui dan ikut mendengarkan. Dan itu tidak salah.

Demikianlah plot cerita yang telah ditabalkan. Wejangan kepada Sukesi merupakan ujian utama sayembara memperebutkan putri sekar kedhaton kerajaan Alengka itu, setelah bisa mengalahkan Jambumangli, sang paman.

Begawan Wisrawa sejatinya adalah guru yang baik. Walau tak lagi muda, tapi tampan, sakti dan mumpuni. Ia ikut sayembara untuk mewakili sang putra, Prabu Danaraja, Raja Negara Lokapala. Dan di sinilah sumber malapetaka itu.

Sebagai guru yang semestinya berusaha sedapat mungkin meper (menahan) hawa nafsu, tapi ternyata gagal. Kecantikan dan kemolekan tubuh Sukesi berhasil meruntuhkan benteng moral-etika Begawan Wisrawa.

Dan akhirnya, seperti kita tahu, pandhita gaek itulah–bukan Prabu Danaraja–yang menjadi suami Sukesi dan kelak melahirkan Dasamuka dan ketiga adiknya, Kumbakarna, Sarpakenaka (keduanya berwujud raksasa), dan kstaria tampan Gunawan Wibisana.

Sepintas dapatlah dianalogikan guru yang suka selingkuh itu seperti Begawan Wisrawa. Sementara, ada banyak guru yang mampu menjaga kehormatan dirinya (self-respect) dan citra dirinya (self-image) seperti Begawan Abiyasa.

 

Profesionalisme

Banyak yang berharap pemerintah senantiasa meningkatklan kesejahteraan guru. Alhamdulillah secara berangsur-angsur harapan itu terpenuhi. Terakhir, dalam bentuk tunjangan sertifikasi yang besarannya bisa mengalahkan tunjangan seorang Sekretaris Daerah yang memiliki eselon II-A.

Memang sulit berharap guru yang lapar, dengan ekonomi pontang-panting, bisa bekerja dengan tenang, kreatif, inovatif (bukankah selama ini soal kesejahteraan itu yang dijadikan kambing hitam merosotnya kualitas pendidikan?).

Semestinya meningkatnya kesejahteraan itu dibarengi dengan peningkatan profesionalisme. Tapi, kenyataannya? Hasil uji kompetensi guru (UKG) rata-rata hanya 44,5. Hanya 10 persen guru yang mendapatkan nilai di atas 70 dari 373.415 peserta UKG (Kompas, 4 Agustus 2012). Malahan ada yang nilainya nol atau salah semua ketika menjawab soal ujian.

Jika gurunya saja hanya sanggup mencapai nilai seperti itu bagaimana bisa ”memaksa” murid-murid mereka mencapai nilai lebih tinggi?

Pakar pendidikan, Prof Winarno Surakhmad, dalam Pendidikan Nasional, Strategi dan Tragedi, menyatakan bahwa sertifikasi bukanlah sebuah panasea atau obat-mujarab-serba-bisa terhadap ”penyakit” kurangnya mutu kinerja guru.

Sertifikasi, karenanya, perlu diletakkan sebagai bagian integral dari sebuah strategi pemberdayaan dengan peningkatan kualitas kinerja guru. Sekarang dan masa depan.

Dalam sebuah perbincangan dengan saya, Prof Dr Budiyono, pakar pendidikan dari Universitas Sebelas Maret (UNS0 Solo juga pernah melontarkan keprihatinannya. Seharusnya dana sertifikasi yang terhitung besar itu tidak dihabiskan untuk membeli mobil baru, mempercantik rumah tinggal, tapi juga untuk pengembangan diri.



Pengembangan diri itu dengan menambah jumlah koleksi buku di perpustakan pribadi, membeli laptop, mengikuti berbagai seminar ilmiah yang terkait dengan profesi dan membiayai penelitian tindakan kelas.

Lebih payah lagi kalau uang sertifikasi untuk membiayai selingkuhan atau istri/suami simpanan. Sebagaimana ilustrasi pada awal tulisan ini. Perilaku seperti itu bukan saja sebuah tindakan nista tapi sudah menyerimpung upaya luhur pemerintah.

Banyak yang menilai sertifikasi hanya sukses mengatrol para guru ”naik kelas” secara sosial-ekonomi, dan belum diimbangi dengan kompetensi dan profesionalisme mereka. Dan itu bisa tidak salah. Seandainya diadakan penelitian kuantitatif, misalnya, dengan rumus regresi linear berganda: Y (kualitas pendidikan) = a + X1 (gaji) + X2 (tunjangan fungsional) + X3 (tunjangan sertifikasi), bisa saja hasilnya dua X yang terakhir tak berpengaruh terhadap Y.

Namun demikian, saya kurang sependapat jika pemberian penghasilan tambahan, termasuk tunjangan sertifikasi, bagi guru dianggap mubazir sebagaimana dilontarkan oleh Darmaningtyas dalam bukunya Pendidikan Rusak-Rusakan.

Peningkatan kesejahteraan guru wajib diupayakan terus-menerus. Alhasil izinkanlah saya ”bermimpi”, suatu hari guru di Indonesia benar-benar profesional. Dalam artian: “well educated, well trained, well paid.” Ya berpendidikan baik, ya terlatih dengan baik, ya digaji dengan baik pula.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya