SOLOPOS.COM - Agus Kristianto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (21/3/2016), ditulis Agus Kristiyanto. Penulis adalah guru besar, dosen, dan Kepala Program Studi Magister Ilmu Keolahragaan Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Tulisan Imam Subkhan berjudul Menggugat Dosen yang dimuat di Solopos edisi Kamis, 17 Maret 2016, di Halaman Gagasan, patut diapresiasi. Sudah selayaknya apresiasi datang dari berbagai pihak terkait pendidikan, terutama para mahasiswa (S1, S2, S3), para guru, para dosen, dan seluruh penentu kebijakan di ranah pendidikan pada berbagai jenjang dan jalur, bahkan masyarakat umum yang peduli masa depan pendidikan kita.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Sebagai penyeimbang, tulisan ini saya beri judul Dosen Merespons Gugatan,. Ini sebuah esai ringan perwujudan respons positif untuk menyuarakan suara hati nurani dan gagasan konstruktif bersama, betapa menata pendidikan di lini manapun, adalah sebuah pekerjaan rumah yang sangat besar.

Respons saya ini mengarah pada dua sisi pokok yang menjadi gugatan Imam, yakni, pertama, rendahnya persentase dosen yang tersertifikasi secara nasional; kedua, ”produksi” guru oleh perguruan tinggi yang kurang akuntabel. Data yang dipublikasikan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) perihal jumlah dosen di indonesia yang belum tersertifikasi, sebanyak 54% dari seluruh dosen, memang sangat memprihatinkan.

Data tersebut merupakan data yang sangat makro. Penghitungannnya mencampur aduk seluruh perguruan tinggi di Indonesia, baik yang perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta. Sama-sama kita ketahui bahwa perguruan tinggi di Indonesia, terutama perguruan tinggi swasta, faktanya memiliki kondisi yang sangat bervariasi.

Komposisi dosen yang belum tersertifikasi tersebut sebagian besar (85%-90%) adalah dosen di perguruan tinggi swasta. Angka tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, terutama jika kita hubungkan dengan banyaknya temuan Kemristekdikti mengenai perguruan tinggi abal-abal.

Kriteria abal-abal adalah predikat yang diberikan kepada perguruan tinggi yang tidak sehat, terutama masalah tidak adanya izin operasional, tak tercukupinua rasio dosen dan mahasiswa, dan kuantitas serta kualitas dosen yang tak memenuhi syarat penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Beberapa perguruan tinggi abal-abal itu dosennya adalah para guru yang pasti bukan sebagai dosen yang bersertifikat kompetensi. Mereka yang jumlahnya demikian banyak menjadi faktor pembagi jumlah dosen yang berpotensi pada hitungan persentase rendah secara nasional.

Beruntung bagi siapa pun mahasiswa yang kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS), apalagi di program pascasarjana. Tidak semua dosen di UNS dapat kesempatan mengajar di program pascasarjana. Dosen yang berhak mengajar di program pascasarjana hanyalah dosen yang berkualifikasi doktor dan tentu saja memiliki sertifikat dosen sebagai sebuah indikasi kelayakan wajib profesi yang diakui pemerintah.

Masih ada persyaratan yang lainnnya. Jangan berpikiran nakal tentang persoalan sertifikasi dosen-dosen di program pascasarjana UNS, termasuk di program studi tempat Imam menimba ilmu sekarang.

Pengadaan guru di Indonesia merupakan dinamika sangat unik. Ada dua pertimbangan yang saling berkaitan, yakni kebutuhan mendesak ihwal jumlah (kuantitas) dan kebutuhan peningkatan kualitas guru.

Kebutuhan kuantitas lebih didahulukan, sedangkan kualitasnya dirancang ”sambil jalan”. Itulah cara memahami secara historis mengapa penilaian sebagian guru kurang berkualitas itu terdampak hingga kini.

Lembaga penghasil profesi guru kala itu, seperti Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP), bahkan membuka jalur nonsarjana untuk guru, mulai D1, D2, dan D3.

Untuk memenuhi kebutuhan guru sekolah dasar pernah ada masa cukup direkrut dari lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Sekolah Guru Olahraga (SGO). Pemerintah pernah membuka ”jalur pintas” pengadaan guru dari lulusan SMA yang diberi kursus selama empat bulan melalui Kursus Pendidikan Guru (KPG) atau Kursus Guru Olahraga (KGO) karena kebutuhan guru yang sangat banyak dan minat menjadi guru kala itu relatif rendah.

Guru yang sekarang bekerja berkewajiban mengikuti syarat sertifikasi. Mereka ini pada umumnya sebagian besar pada awalnya direkrut dalam sistem pemenuhan kebutuhan guru yang sangat banyak serta di tengah-tengah minat masyarakat yang relatif rendah untuk menjadi guru. [Baca selanjutnya: Panggilan Jiwa]Panggilan Jiwa

Dalam kondisi dan sistem demikian ini ada satu hal yang bagus, yakni guru zaman dulu adalah orang yang ingin menjadi guru karena panggilan jiwa. Pekerjaan guru kala itu adalah pekerjaan yang menggunakan hati. Zaman bergeser seiring dengan tuntutan guru harus kompeten karena guru merupakan ujung tombak pendidikan generasi bangsa.

Pemerintah kemudian menggeser kebijakan pengadaan guru dengan menerapkan misi ”guru harus profesional dan guru harus sejahtera”. Tunjangan profesi guru mendongkrak minat banyak orang untuk kuliah di fakultas yang mendidik calon guru seiring dengan tuntutan pengembangan profesional yang harus dimiliki guru.

Konsekuensinya adalah rasio keketatan semakin tinggi dan perguruan tinggi dapat melakukan seleksi calon mahasiswa yang lebih baik lagi. Implementasi Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terutama Pasal 8 dan Pasal 9 menjadi kekuatan tersendiri untuk memperbaiki peran perguruan tinggi memfasilitasi calon guru yang andal di masa depan.

Dalam Pasal 8 ada penjelasan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam Pasal 9 ada penjelasan kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.

Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) memberi suatu kejelasan tentang tingkatan kualifikasi akademik. Kualifikasi itu ibarat tataran yang memiliki tingkatan dan setiap tingkat diatur penguasaan kompetensinya.

Untuk mendapatkan pengakuan setara dengan tingkatan tertentu dirumuskan berbagai learning outcome. Semua kualifikasi sarjana (S1) dalam KKNI diposisikan ke dalam tingkat enam atau grade 6. Sedangkan untuk mendapatkan kualifikasi profesi harus menempuh proses sampai grade 7.

Dengan kata lain, menjadi guru atau profesi lain itu terbuka untuk semua program studi di fakultas manapun, sejauh program studi itu relevan dan masih serumpun ilmunya. Hal yang demikian kemudian diatur secara teknis. Dari kacamata yang demikian, jelas bahwa kondisi guru saat ini tidak serta-merta merupakan hal yang tanggung jawabnya dibebankan pada peran dan kiprah dosen semata.

Ada banyak persoalan yang turut berkontribusi terhadap perwajahan profesi guru saat ini dan pada masa depan. Mutu kuliah memang harus diperbaiki dan dilengkapi dengan etos kerja yang tinggi dari seluruh dosen.

Pada gilirannya para mahasiswalah (S1, S2, S3) yang akan mengambil peran dalam proses pencerdasan bangsa pada masa mendatang. Guru itu memang sebuah profesi yang mutlak membutuhkan hati, tetapi dengan hati saja tentu tidak cukup karena guru pada masa depan harus profesional dan sejahtera.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya