SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Mukhlis Mustofa, Konsultan Pendidikan Yayasan Djama’atul Ichwan Solo

 Wacana pelaporan guru tesertifikasi pada instansi terkait akibat melakukan politik praktis di Kabupaten Boyolali seperti dilansir Solopos, 19 Februari 2014, menarik untuk dicermati. Terlepas hiruk pikuk tahun politik, fenomena tersebut menjadi perhatian tersendiri mengingat selama ini di kabupaten bersangkutan disinyalir banyak PNS, terlebih guru, terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Terlibat atau dipaksa terlibat menjadi sedemikian absurd namun pada praktik di lapangan fenomena tersebut liar menyeruak menimbulkan onak tak berkesudahan. Permasalahannya, loyalitas guru bersangkutan dalam mendukung kebijakan politik berkorelasi erat dengan jenjang kariernya.

Mutasi bahkan penghilangan kewenangan pejabat bersangkutan kerap kali dikaitkan dengan rumor tersebut. Kondisi ini kian kompleks mengingat pengguliran wacana pelaporan guru tesertifikasi bersangkutan dilakukan oleh seorang anggota Dewan sebagai representasi lawan politik mayoritas.

Dalam tulisan ini saya tidak akan memaparkan siapa saja pihak yang memanfaatkan guru sebagai lumbung suara di kabupaten bersangkutan namun mencoba melihat adakah perampasan hak demokrasi pendidik sebagai warga negara pada umumnya.

Kesadaran Versus Keterpaksaan

Pelibatan guru dalam kegiatan politik praktis bukanlah hal baru di negeri ini. Sekadar flashback pada masa Orde Baru, guru menjadi lumbung suara menggiurkan. Patut diakui kredibilitas guru teramat mumpuni untuk penggalangan massa. Berpijak dari kegiatan sehari-hari, peran strategis guru secara tidak langsung menyihir peserta didik untuk mengikuti segenap perkataannya. Proses pembelajaran kita selama ini pun tanpa disadari memosisikan guru sebagai pribadi yang mampu melakukan pencucian otak peserta didik di dalamnya.

Memori kita sedemikian kuat mengakar apa pun materi  yang diajarkan terutama guru di pendidikan dasar. Terlepas relevan tidaknya materi bersangkutan namun hingga kini memori tersebut sulit hilang. Ilustrasinya, konsep lahar dingin saat ini ternyata terbantahkan dengan lahar hujan sedemikian kuat mengakar mengingat selama proses pembelajaran yang berlangsung ditekankan material gunung api adalah lahar panas dan dingin.

Kuatnya peran guru dalam menjangkau massa riil ini menjadikan banyak pihak terpesona dengan keberadaannya hingga berlomba-lomba untuk meminang profesi guru. Ditambah seksinya isu pendidikan menjadikan guru tidak bisa diremehkan dalam penggalangan massa. Parahnya, guru sendiri tidak menyadari peran strategis penggalangan massanya sehingga guru tidak ubahnya massa riil namun tanpa bargaining memadai dalam dunia perpolitikan negeri ini.

Lemahnya bargaining guru semakin terasa manakala musim pemilihan umum tiba. Mudahnya mobilisasi massa berbasis guru memunculkan adagium bahwa suara guru merupakan representasi suara mayoritas penguasa.

Lemahnya posisi guru menjadikan keberadaan guru dalam dunia politik lebih banyak pada peneguhan kekuasaan semata dan bukan sebuah ide cerdas untuk kemaslahatan negeri ini. Pergeseran dukungan semakin nyata terlihat. Pada generasi di era Orde Baru tentu merasakan mobilisasi guru ini berlangsung sporadis dari jenjang terendah hingga jenjang pusat. Saat saya menempuh pendidikan menengah medio 1990-an, saya pernah mendapati kerap kali kegiatan belajar mengajar terpengaruh kampanye partai mayoritas.

Konteks kekinian pun berubah. Dekade ini mobilisasi guru lebih bersifat sektoral dan berdampak sporadis. Pola ini bergeser seiring era demokrasi kekinian dengan penekanan kekuasaan pada wilayah lebih sempit. Mobilisasi politik guru pun bertujuan penyuksesan kedaerahan dengan dampak riil serba menakutkan.

Fenomena ini bukanlah isapan jempol semata, walaupun bersifat kasuistis. Meningkatnya beban Panwaslu Kabupaten Sukoharjo akibat adanya dugaan mobilisasi massa oleh PNS baik dalam bentuk pertemuan resmi maupun berformat jalan santai dengan salah satunya dilakukan orang di dinas pendidikan yang notabene sebagai induk organisasi guru. Pada beberapa kawasan lain pun penggalangan massa berbasis guru dilakukan dengan beragam format dan posisi guru tidak lebih dari pelengkap penderita.

Lemahnya bargaining guru ini menjadikan profesi ini sedemikian ambigu manakala musim demokrasi tiba. Guru tersudut dalam posisi serba absurd, layaknya buah simalakama. Ketika guru mengikuti penggalangan massa dianggap tidak netral sementara jika guru menolak berperan di dalamnya beragam sanksi pun siap menanti.

Di sisi lain, organisasi berdalih  profesi  guru pun sudah mulai terjebak dalam penggalangan massa. Alih-alih menekankan netralitas guru, organisasi massa tersebut justru ikut terjun dalam politik praktis. Lezatnya dunia politik semakin menjauhkan hakikat organisasi profesi bersangkutan dengan permasalahan riil keguruan. Beragam pola seminar berujung permohonan dukungan untuk menjadikan tokoh organisasi bersangkutan menjadi anggota DPD mengemuka dan parahnya hal tersebut berlangsung tanpa dibendung.

Selayaknya organisasi profesi guru mampu memberikan posisi tawar tersendiri bagi eksistensi profesi guru, namun kebalikannya mereka justru menambah rumit permasalahan keguruan. Isu yang diusung bagi organisasi guru pun teramat remeh yakni sebatas menjadi bagian organisasi parlemen.

Kondisi ini semakin parah mengingat keterwakilan pihak yang mengatasnamakan guru dalam parlemen selama ini belum menunjukkan hasil konstruktif. Manakala kurikulum tak jua menjelaskan identitas kebangsaan dan diskriminasi guru PNS dan non-PNS sedemikian menggurita, keterwakilan dalam parlemen justru melenakan. Logikanya pihak yang berangkat mengatasnamakan organisasi profesi guru mengetahui pencederaan profesi guru namun mereka justru ikut karut marut pengelolaan pendidikan negeri ini.

Pelibatan guru dalam kancah perpolitikan berbasis keterpaksaan ini secara tidak langsung melecehkan profesi guru. Guru dianggap tidak ubahnya balita yang reda tangisnya manakala diberi gula-gula berikut kenikmatan manis lainnya. Sertifikasi guru saat ini diposisikan sebagai salah satu gula, dianggap sebuah pencapaian tersendiri bagi guru di negeri ini walaupun kompetensi semakin tidak berisi menjadi bargaining baru untuk mengorbankan guru.

Pihak pengambil kebijakan merasa sudah memperjuangkan harkat dan martabat guru sehingga layaklah jika mereka mengambil rente dari perjuangan yang telah dilakukan dengan menuntut loyalitas semu sang guru. Tuntutan guru progresif pun kian luntur menyikapi fenomena politisasi guru saat ini. Pengabaian guru pada penzaliman profesi yang mereka alami secara tidak langsung meneguhkan ketidakberdayaan guru bersangkutan dan mempersilakan kekuatan besar politis lokal maupun nasional menginjak-injak martabat guru.

Progresifnya, guru selayaknya muncul untuk meng-counter politisasi yang mereka alami dan menunjukkan keberdayaan profesi guru. Realitas di lapangan menunjukkan serbaberkebalikan, ketidakberdayaan guru  kian menjadi manakala beberapa rekan guru yang memiliki keinginan progresif justru dimarginalkan dengan beragam pola.

Manakala seorang guru berupaya menunjukkan ketidakberesan pengelolaan pendidikan, hujatan dan cacian lebih banyak dikedepankan. Padahal langkah tersebut menunjukkan keberdayaan profesi. Jangankan ikut tertular progresif. Faktanya guru lebih suka bermain di “zona nyaman” dikarenakan materi berkelimpahan walaupun pencapaiannya harus melewati penzaliman bahkan pada rekan seprofesi namun berbeda status.

Legalisasi Politisasi Guru

Teramat elegan manakala guru bisa cerdas dalam politik dan benar-benar memperjuangkan hakikat pendidikan seutuhnya. Pelibatan guru secara langsung dalam dunia politik harus mendapatkan dukungan semua elemen masyarakat berkaitan dengan kesetaraan peran politik warga negara.

Aplikasi peran politik guru dapat tersalurkan melalui lembaga politik yang tersedia dengan niatan memberikan pembelajaran publik memadai. Niatan memperjuangkan pendidikan oleh guru ini patut diapresiasi seluruh komponen masyarakat bahwa guru bukanlah alat militer megara sehingga harus netral di semua golongan.



Peran politis guru manakala ingin diberlakukan selayaknya dilakukan dengan penuh kesadaran dan meminimalkan kepura-puraan. Kebebasan guru untuk berpolitik dengan beragam jalur patut diapresiasi semua pihak. Pilihan untuk menjadi guru progresif ataupun keinginan untuk menjadi anggota legislatif mutlak membutuhkan ruang tersendiri mengingat profesi ini memiliki kesamaan hak berpolitik layaknya warga negara lain.

Di sisi lain, manakala iklim politis bagi guru ini terbentuk menjadi sebuah ujian riil profesi guru. Keteladanan profesi patut dikedepankan sehingga manakala sang guru maju menjadi aktor politis harus memiliki ciri berbeda dengan profesi lain. Jika sang guru berminat menjadi calon anggota legislatif selayaknya segenap atribut kepartaian dilucuti pada saat menjalankan tugas profesinya demikian sebaliknya.

Dampak sistemiknya, keinginan guru berpolitik secara tidak langsung memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan nantinya. Keluhan tidak relevannya kebijakan pendidikan dengan kondisi riil pembelajaran secara tidak langsung akan terpecahkan dikarenakan sang anggota parlemen melek pembelajaran. Namun harapan indah ini akan terlihat palsu dan menyumbangkan apatisme jangka panjang jika sang legislator hanyalah memanfaatkan guru sebagai motor pendulang suara.

Guru berpolitik bukanlah tindakan istimewa mengingat peran sebagai warga negara diapresiasikan melalui konstitusi. Pelibatan guru dalam kegiatan politis akan memberikan warna tersendiri dengan memperhatikan beberapa aspek penting untuk keberhasilannya. Peran politik guru ini akan sia-sia jika niatan baik ini tidak diapresiasikan mendalam.

Selamat memilih dan dipilih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya