SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 

Rumongso agilrumongso@yahoo.com Guru SD Djama’atul Ichwan Solo

Rumongso
agilrumongso@yahoo.com
Guru SD Djama’atul Ichwan Solo

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berita di berbagai media massa tentang politik dagang sapi yang mulai muncul setelah pemungutan suara pemilihan umum (pemilu) anggota legislatif 9 April 2014 sesungguhnya tak perlu membuat kita kaget. Itulah wajah asli dunia politik kita.

Tentu bukan hendak menjadi pengamat atau analis politis yang marak saat pemilu jika saya menuliskan hal ini. Cukuplah saya menjadi seorang guru. Bisa jadi kini tinta ungu di jemari Anda sebagai bukti ikut memilih dalam pemilu 9 April lalu belum hilang.

Dan hasil penghitungan cepat sudah bersama-sama kita saksikan di televisi, Internet, atau koran. Ada yang semringah, biasa saja, atau kecewa dengan hasil yang diraih. Tapi, jangan sampai stres dan masuk ke rumah sakit jiwa karena gagal meraih kursi di parlemen.

Setelah pemilu anggota legislatif yang sukses, aman, dan lancar, yang sebelumnya ditingkahi suara bising knalpot sepeda motor peserta kampanye, sekarang hiruk pikuk–suara bising–pindah ke ruang hening kantor ketua umum partai politik. Atau, berada di antara denting gelas, piring, dan sendok di restoran-restoran mewah yang harga segelas teh setara dengan upah buruh gendong di Pasar Gede, Solo, selama sehari.

Mereka tersenyum, tertawa, sambil menyantap makanan mewah yang harga satu porsi setara dengan upah buruk pabrik selama sebulan. Bau harum parfum semerbak dari tubuh mereka. Parfum itu harganya bisa untuk membayar uang sekolah selama satu tahun.

Baju dan jas yang mereka pakai harganya bisa untuk membeli buku-buku satu unit perpustakaan. Dan, mereka datang dengan mobil mewah yang harganya bisa untuk membangun 15 unit rumah rakyat.  Apa yang hendak mereka lakukan itu?

Mereka melakukan sesuatu yang dalam bahasa mereka disebut komunikasi politik. Apa itu komunikasi politik? Ada yang mengatakan melakukan penjajagan, menyamakan persepsi. Sederhananya, mereka membual, berpolitik dagang sapi. Apa yang dibahas? Dari perkataan mereka pasti mengatasnamakan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.

Hebat, ta? Jangan kagum dulu, saudara-saudara. Mereka ini sedang menjelma menjadi pedagang. Apa komoditasnya? Suara yang Anda berikan dalam pemungutan suara 9 April lalu itulah yang mereka perdagangkan. Komoditasnya tertulis dalam selembar kertas yang isinya tentang jumlah suara yang dikonversikan dalam bentuk persentase.

Jadi, di kertas itu tidak ada nama saya atau nama Anda. Semua bersifat generik, umum, yakni jumlah pemilih. Kita hanya menjadi sebuah bilangan. Suara yang Anda berikan kepada salah satu partai politik itulah yang menjadi senjata andalan.

Seberapa banyak kompensasi yang ditawarkan, yang diterima, yang ditolak, semua merujuk kepada jumlah suara itu. Semakin banyak jumlah suara, semakin mahal nilainya, semakin besar kompensasi yang diterima. Semua dikonversi menjadi berapa jatah kursi menteri, pimpinan parlemen, ketua-ketua komisi di parlemen, atau kursi jabatan eselon satu kementerian.

Biasanya mereka mengincar posisi-posisi yang paling empuk dengan harapan kontribusi kepada partai lancar jaya. Kurang lebih seperti itulah tawaran dan kesepakatan yang mereka bicarakan dan yang mereka minta.

Kalau ternyata dalam komunikasi politik itu ada salah satu faksi di partai politik yang tidak terakomodasi, biasanya langsung meradang dan mementahkan kesepakatan yang telah dicapai. Harap maklum sebab diktum politik itu sangat sarat dengan pamrih, kepentingan, siapa mendapat apa dan seberapa banyak.

 

Elite Sok Tahu

Kita menjadi masygul, anyel, marah, sebab suara yang kita berikan diperdagangkan oleh para elite partai politik. Suara gaduh itu adalah bukti bahwa ada kesenjangan yang sangat lebar antara apa yang dimaui rakyat sebagai pemilih, konstituen partai, dengan apa yang dipikirkan para elite partai itu.

Bayangkan saja kita memilih Partai Kodok, Partai Belalang, Partai Jangkrik sebab tidak suka dengan Partai Ular, Partai Buaya, Partai Kadal. Namun, sehabis pemilu ternyata Partai Kodok, Partai Belalang, dan Partai Jangkrik yang kita coblos itu malah berkoalisi dengan Partai Ular, Partai Buaya, dan Partai Kadal yang kita benci.

Ideologi sudah dibuang ke keranjang sampah manakala kepentingan pragmatis menjadi panglima. Minyak dan air yang dari sananya susah bersatu, di tangan politikus bisa menjadi jus. Kita juga senewen dengan sikap semprul elite partai politik. Kita memilih Partai Ketimun karena ada Pak Dadap yang kita jagokan menjadi presiden sebab, menurut kita, ia bisa menjawab kebutuhan kita.

Tetapi, ternyata elite partai berkoalisi dengan Partai Durian yang mencalonkan Pak Waru menjadi presiden yang tindak tanduknya membuat kita senewen. Payah bukan? Elite partai itu tidak pernah bertanya kepada kita sebagai pemilik suara hendak bergabung dengan siapa?

Tidak pernah bertanya apakah program partai yang diajak berkoalisi sama dengan yang kita inginkan? Semua dikangkangi oleh elite partai itu dan seolah-olah apa yang mereka lakukan itu atas restu kita. Suara kita dibajak oleh mereka.

Maka, jangan heran jika saat hajatan pemilihan bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden, kita kaget sebab ternyata suara dalam kertas milik partai politik tidak sejalan dengan realitas suara yang diraih seorang calon pemimpin. Mereka yang mendapat dukungan dari partai ternyata kalah. Lalu, muncul kalimat bahwa mesin partai tidak bekerja. Atau, pelumasnya (baca: uang) tidak memadai.

 

Distorsi Demokrasi



Pemilihan Umum 9 April yang berlangsung sukses sebagai pertanda kematangan bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi mengalami distorsi besar. Suara rakyat pemilih terdistorsi menjadi suara elite partai. Kehendak pemilih mengalami distorsi sebab antara harapan dan kenyataan melenceng jauh. Elite partai seolah menjelma menjadi tuhan dengan huruf ”t” kecil yang merasa paling tahu, paling paham apa saja yang dibutuhkan konstituen.

Pemilu yang tenang menjelma menjadi wacana politikus yang gaduh. Ketika ribuan calon anggota legislatif (caleg) belum sembuh dari luka dalam peperangan 9 April, para elite partai itu tidak menunjukkan empati. Padahal, biaya besar sudah mereka keluarkan, tenaga sudah mereka curahkan.

Ucapan terima kasih pun tak kunjung mereka ucapkan kepada caleg yang kini menjelma menjadi pasukan korps caleg gagal. Kerja politik itu memang tidak hitam putih. Kerja politik berada di wilayah abu-abu. Tidak ada keniscayaan dalam kerja politik.

Yang paling pasti dalam kerja politik adalah ketidakpastian itu sendiri. Yang paling mungkin adalah ketidakmungkinan. Dalam kerja politik rumus 1+1 tidak sama dengan 2. Bisa 3, 4, atau 5, tergantung apa yang disepakati. Semua serba samar, rahasia dan hanya orang-orang tertentu yang tahu apa isi kesepakatan itu.

Dan, itulah yang kini dilakukan para pedagang suara. Mereka pasti sudah mengalkulasi untung rugi, plus minus, jika bertransaksi dengan kekuatan politik lain. Perjalanan menjadi bangsa yang demokratis ditelikung oleh para ”bandit” politik.

Mengapa kalau menjelang pemilu apa pun namanya terkesan suasana sangat genting, barisan polisi disiagakan, pasukan tentara siap sedia seolah hendak ada perang? Sebab, para politikus itu tahu mereka telah berlaku curang dan timbul rasa takut dan khawatir mereka akan diamuk massa yang kecewa.

Polisi diperalat partai, tentara dijadikan tameng. Kantor partai dibakar massa yang tidak puas. Rumah ketua partai dilempar bom molotov. Semua akibat rasa kecewa dan frustrasi massa yang ditelikung itu. Apa yang kita minta dari partai politik yang kita pilih? Jawabannya sangat simpel.

Jawaban simpel itu adalah wujudkan mimpi menjadi kenyataan, bayar janji ketika kampanye, tepati janji yang telah ditebarkan lewat pengeras suara. Keinginan rakyat kecil itu sangat layak untuk dipenuhi di negeri bernama Indonesia yang kaya raya.

Kita menginginkan layanan pendidikan bermutu, layanan kesehatan yang murah dan memadai, petani ingin saluran irigasi lancar, pedagang ingin jalan raya yang bagus agar distribusi ekonomi lancar sehingga harga sembilan bahan pokok (sembako) murah.

ika janji itu diingkari, jangan harap kelak rakyat akan percaya lagi pada pemilu lima tahun yang akan datang.  Pada 9 April klalu rakyat menghukum banyak partai. Partai yang gagal memenuhi janji telah ditinggalkan. Lalu, rakyat menggantungkan harapan dengan memilih partai baru.

Maka, ada partai yang melesat perolehan suaranya dan ada yang nyungsep. Di media sosial, massa rakyat yang selesai memilih melakukan selebrasi dengan foto jari kelingking untuk disebar di laman Facebook, Twitter, Instagram, dan media sosial lain dengan kalimat sederhana namun mengancam,”Aku sudah menunaikan hak dengan memilih. Maka, aku menunggu janjimu!”.

Mirip sejoli yang jatuh cinta. Kita berharap para politikus yang sedang memperdagangkan suara kita itu tidak menawarkan suara kita dengan tagline ”jual murah suara rakyat, beli satu Gratis 10”. Jika itu yang dilakukan, mari kita lawan mereka.

Masih ada arena untuk membalas jika amanah kita dalam pemilihan anggota legislatif ditelikung dan terdistorsi. Masih ada pemilihan presiden pada 9 Juli. Kita hajar mereka, para elite politik ”bandit” itu. Kitalah pemilik sah kedaulatan negeri ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya