SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (2/10/2017). Esai ini karya Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi Solo. Alamat e-mail penulis adalah bandungmawardi@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Pada masa 1950-an, orang-orang meragukan Bengawan Solo itu lagu gubahan Gesang. Tuduhan mengikutkan sengketa ideologi. Lagu terus saja mengalun dan ”mengalir” tapi tuduhan belum usai.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada masa 1980-an, Gesang mendapat serangan sambungan berkaitan lagu dan situasi politik masa lalu. Si penuduh memastikan Gesang bukan penggubah lagu Bengawan Solo. Nama Soejoko diajukan sebagai penggubah.

Di majalah Tempo, si penuduh bernama Sutowidjaja, 60, berdalih bahwa pembuktian atas tuduhan pada masa 1950-an agak sulit akibat politik Indonesia sedang bergolak. Sutowidjaja berkilah,”Siapa berani menghadapi Gesang? Ketika orang mau mempertanyakannya, waktu itu Gesang sudah masuk Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat], PKI. Partai komunis itu sangat berkuasa di Solo.”

Orang marah dan gemar menuduh memang lazim mencampur dan menumpuk serangan meski malah menimbulkan kerancuan atau pelemahan argumentasi. Pada masa 1980-an, tuduhan itu tak melulu ke lagu sebagai ungkapan estetika tapi kebablasan ke politik.

Tuduhan demi tuduhan ditanggapi Gesang dengan ngeses (mengisap  rokok kretek) dan memelihara burung. Kemerduan burung mengalahkan orang berisik tak keruan. Usia Gesang sudah 71 tahun, menikmati hari-hari di rumah sederhana beralamat di Palur.

Gesang enggan marah kepada si penuduh. Ia malah mengenang masa lalu saat menggubah lagu dan memberikan lembaran kertas kepada Orkes Keroncong Kembang Kacang. Lagu berjudul Bengawan Solo itu dimainkan dan memikat pada pendengar sampai puluhan tahun tahun berikutnya.

Lagu digubah pada 1940. Kertas berisi lagu itu hilang terbawa banjir di Solo pada 1966. Kertas itu mengalir sampai jauh. Gesang tetap hidup dan mengabdi di musik keroncong, tak menggubris politik (Tempo, 17 Desember 1988).

Selanjutnya adalah: Gesang memang nama dan tema…

Nama dan Tema

Gesang memang nama dan tema. Sejak puluhan tahun lalu nama itu tenar di Indonesia dan negara-negara di Asia. Lagu Bengawan Solo memungkinkan jutaan telinga mendengar dan tersentuh, memberi  imajinasi dan buaian cerita tentang si penggubah lagu atau sungai panjang di Jawa.

Gesang juga tema besar sehingga orang-orang memberi salut atas perkembangan musik keroncong. Bermula dari ketekunan menggubah lagu dan mengenalkan keroncong kepada pendengar, Gesang seperti tema untuk menjelaskan musik, identitas, estetika, kepribadian, dan kehormatan Indonesia.

Di mata negara, Gesang telah menjadi duta atau pengisah utama. Semula Bengawan Solo itu lagu. Pada masa berbeda, Bengawan Solo itu film. Willy Wilianto menggarap film berjudul Bengawan Solo (River of Love) dengan pemain utama Rima Melati dan W.D. Mochtar.

Musik dikerjakan oleh Idris Sardi. Penggubah lagu Bengawan Solo turut menjadi bintang tamu di film. Iklan film buatan 1972 itu sengaja membujuk orang bernostalgia tentang Solo dan memuji Gesang.

Tragedi sebuah keluarga dengan berbagai tingkah. Yang mengaitkan sebagian hidup mereka pada Bengawan Solo. Satu-satunya film nasional dengan cast yang unik. Artis-artis tiga zaman hingga artis debutan. Kesederhanaan dan kerendahan hati nan khas Indonesia.

Dan tidak kalah penting, Gesang dengan lagu-lagunja. Diaransemen dan diilustrasikan oleh Idris Sardi. Pasti mengundang rasa haru. Demikian kalimat-kalimat dalam iklan tersebut. Kita jarang mendengar pesona film itu sejajar atau melampaui lagu Bengawan Solo.

Gesang tetap saja tenar, melintasi tahun demi tahun. Negara perlahan berkepentingan dengan ketokohan Gesang. Ikhtiar menokohkan berpijak pada pembentukan cita-cita pembangunan yang diwujudkan melalui penerbitan buku.

Sutarti Wardoyo menulis buku berjudul Gesang, Pencipta Lagu Bengawan Solo, diterbitkan Tiga Serangkai, Solo, 1984. Buku itu untuk bacaan murid-murid sekolah dasar. Gesang sengaja diperkenalkan kepada bocah agar meneladani dan memiliki kebanggaan pada seniman besar.

Selanjutnya adalah: Pengerjaan buku ini dilandasi argumentasi…

Argumentasi

Pengerjaan buku itu dilandasai argumentasi Gesang dengan lagu Bengawan Solo telah memperkenalkan negara Indonesia tercinta ke dunia. Ada nuansa nasionalisme dan kesan pencapaian pembangunan nasional disokong oleh lagu-lagu keroncong. Penulis menginginkan buku itu memicu bocah-bocah berani untuk berbakti kepada Ibu Pertiwi.

Buku itu dipilih dengan landasan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1984. Buku dicetak ribuan eksemplar dan dibagikan ke perpustakaan-perpustakaan  seantero Indonesia. Bocah-bocah diharapkan memiliki idola atau pujaan bernama Gesang.

Si penggubah lagu bergirang dengan memberi pesan,”Harapan saya semoga angkatan muda juga mencintai seni keroncong sebagai budaya bangsa.” Gesang tak pernah menduga dan mendengar Bengawan Solo tetap dikenang kaum muda.

Mereka bangga melantunkan lagu gubahan Gesang meski tak wajib dengan keroncong. Pada abad XXI, Bengawan Solo itu lagu jazz. Kita bisa menikmati kelembutan dan kemerduan Danilla membawakan Bengawan Solo dalam aransemen musik jazz. Kaum tua mungkin terkejut atau menganggap itu merusak.

Di telinga, musik jazz itu melenakan tapi mengarahkan pendengar mengenang Gesang. Danilla ingin berbakti kepada Indonesia dan menuruti pesan Gesang meski membelok ke musik jazz, bukan selalu di jalan keroncong.

Pilihan itu memastikan Gesang tetap memiliki pengaruh besar dalam musik dan pengenalan Indonesia. Semula orang-orang mendengarkan lagu atau menonton pentas musik keroncong memainkan Bengawan Solo.

Tahun demi tahun berlalu, lagu dan Gesang berada di film. Pada masa berbeda, Gesang malah dikenalkan kepada kaum bocah melalui buku berbahasa sederhana: membagi biografi dan laku kesenian.

Pada abad XXI, Bengawan Solo terdengar sebagai musik jazz, tak melulu keroncong. Sekian hal tak mengurangi atau mengganggu kenangan orang-orang pada kaset. Ketenaran Gesang pada masa lalu ditentukan produksi dan peredaran kaset.

Selanjutnya adalah: Piringan hitam memang ada tapi kaset menjadi andalan…

Piringan Hitam



Piringan hitam memang ada tapi kaset menjadi andalan. Gesang itu kaset. Pertiwi selaku pembuat kaset berjudul Gesang beriklan di Tempo,  1 Januari 1983: Gesang, profil ternama ini tak mudah begitu saja dilupakan orang, apalagi yang akrab dengan musik keroncong yang mengasyikkan itu…

Kini kaset telah menjadi masa lalu, tapi Gesang tetap terus terdengar melalui pelbagai perangkat musik. Pada 1998, Gesang saat masih hidup memberi sejenis wasiat,”Sebelum kembali kepada-Nya, saya ingin menggeluti dunia keroncong dengan segala kemampuan. Saya rela meninggalkan bumi ini suatu saat kelak, namun pesan saya untuk generasi muda Indonesia, cintailah musik asli bumi pertiwi ini, keroncong.”

Kita mungkin masih harus berdebat untuk sebutan asli. Hal terpenting di pesan adalah pengabdian seumur hidup. ”Biarlah karya-karya saya menjadi bagian dari musi keroncong yang tetap abadi di negeri ini. Itulah warisan yang tetap abadi di negeri ini. Itulah warisan yang akan kutinggalkan, warisan abadi…,” demikian wasiat Gesang kepada kita (Moenzir, Gesang Mengalir Meluap Sampai Jauh, 2010).

Kini, 1 Oktober 2017, Gesang berusia 100 tahun kalau masih hidup. Beliau telah berpamit dari dunia pada 20 Mei 2010. Kita mending sejenak mengenang Gesang saat Indonesia sedang bersuara sumbang alias menampik nada-nada merdu.

Kasus korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan rebutan kekuasaan menimbulkan berisik, bukan senandung indah dan mengajak orang berbakti kepada Indonesia. Di Solo, kita malah belum membaca pengumuman atau gosip bakal ada peringatan 100 tahun Gesang.

Kita maklumi saja tanpa protes. Solo sedang sibuk dengan galian di jalan demi air mengalir, acara-acara seni bertaraf inrternasional, pelarangan tas masuk ke kantor wali kota, dan mengikuti rangkaian acara pernyataan kesaktian Pancasila.

Gesang tetap saja terkenang meski tanpa ramai dan renungan mengharukan di depan patung Gesang. Patung Gesang itu bertempat di kebun binatang di Jurug, sisi timur Kota Solo, di dekat aliran Bengawan Solo.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya