SOLOPOS.COM - Flo. Kus Sapto W.

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (22/9/2017). Esai ini karya Flo. Kus Sapto W., seorang praktisi pemasaran. Alamat e-mail penulis adalah floptmas@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Berita akan ditutupnya dua gerai Matahari di Pasaraya Manggarai dan Blok M, Jakarta, cukup menarik perhatian saya dalam beberapa hari ini. Rencana penutupan dua dari sekitar 151 gerai milik PT Matahari Department Store Tbk. itu akan dilaksanakan akhir September ini.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Jika kebijakan korporasi yang saham mayoritasnya milik publik (82.52%) dan PT. Multipolar Tbk. (17.48 %) ini dilakukan setidaknya akan ada sejumlah besar karyawan yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Di setiap gerai setidaknya ada 500 orang karyawan yang dipekerjakan (Kompas.com, 15/9).

Terkait isu PHK, manajemen sudah menepis hal tersebut. Salah satunya karena korporasi itu pada saat bersamaan justru sedang berencana membuka dua hingga tiga gerai baru di lain lokasi (cnnindonesia.com, 15/09). Keputusan penutupan lebih sebagai kebijakan strategis penjualan secara parsial daripada isu yang lebih substansial terkait corporate bankcruptcy.

Ekspedisi Mudik 2024

Di luar isu PHK, hal lain yang tidak kalah menarik adalah tentang lingkaran bisnis yang menyebabkan penutupan gerai itu sendiri. Keputusan bisnis yang diikuti dengan penjualan obral sampai dengan 75% itu sangat mencengangkan.

Sebelumnya, pada akhir Juni lalu jaringan ritel lain, yaitu manajemen Seven Eleven, juga sudah lebih dulu menutup gerai. Secara empiris manajemen Matahari telah menunjukkan eksistensinya sejak pembukaan gerai yang pertama pada 1958 di Pasar Baru (matahari.co.id).

Matahari telah membuktikan diri sebagai daya tarik di hampir semua mal kelas menengah. Sebuah mal di Solo bahkan pernah mati suri pada awal peluncuran tanpa kehadiran Matahari. Sejak manajemen berhasil menghadirkan gerai Matahari maka mal itu kembali hidup. Jadi apa yang salah dengan rencana penutupan dua gerai itu?

Salah satu teori klasik dalam pemasaran dikenal dengan istilah segmenting, targeting, dan positioning (STP). Teori pertama yaitu segmentasi. Secara sederhana, menurut Kotler (2003), adalah upaya pengelompokan konsumen heterogen menjadi homogen dalam kecenderungan karakteristik maupun kebutuhan tertentu (demografi, psikografi, dan perilaku).

Selanjutnya adalah: Demografi biasa dikenal sebagai pengelompokan konsumen…

Demografi

Demografi biasa dikenal sebagai pengelompokan konsumen berdasarkan umur dan jenis kelamin sedangkan psikografi lebih kepada pengelompokan berdasarkan kelas sosial, gaya hidup, dan kepribadian. Pengelompokan perilaku mengarah kepada perasaan, persepsi terhadap produk/perlakuan terhadap produk, dan keterikatan pada merek (loyalitas).

Teori kedua adalah penargetan (targeting), yaitu pengelompokan konsumen dengan kecenderungan homogen yang hendak disasar. Teori ketiga adalah  pemosisian (positioning), yaitu langkah-langkah penjualan yang ditujukan untuk memberikan penawaran produk dan pemosisian perusahaan/merek produk pada posisi tertentu bagi konsumen.

Strategi penjualan terakhir ini jamak dilakukan dengan diferensiasi yang membedakan produk tertentu dari suatu perusahaan dengan produk serupa dari perusahaan kompetitor. Berdasarkan teori STP di atas terdapat fakta-fakta menarik atas dua gerai Matahari yang hendak ditutup.

Di gerai Matahari Pasaraya Blok M segmentasi yang dilakukan oleh manajemen Matahari dengan memosisikan diri pada posisi tengah antara lapak-lapak pakaian low end yang banyak terdapat di kawasan itu dengan dua mal high end yang juga ada di kawasan tersebut, yaitu Gandaria City dan Pondok Indah Mal, agaknya kurang berhasil.

Jumlah pembeli yang mendatangi Matahari sangat sedikit mungkin disebabkan pemosisian yang kurang sesuai ini sebab kelompok besar konsumen low end masih akan memilih membeli di lapak-lapak. Kelompok besar konsumen high end tetap memilih pergi ke dua mal lainnya yang jelas menjual produk-produk bermerek.

Sangat mungkin juga jumlah kelompok pembeli middle end terlalu sedikit di kawasan itu. Fakta di atas masih ditambah lagi dengan kemungkinan perilaku konsumen yang cenderung lebih banyak memilih pembelian secara online daripada offline, walaupun Matahari sendiri sekarang juga sudah memiliki divisi penjualan online dengan login terlebih dahulu melalui MatahariMall.com.

Secara nasional, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2016), persentase penduduk yang lahir pada akhir 1980-an atau awal 1990-an terhadap jumlah angkatan kerja sebesar 75.81%. Jika diasumsikan kelompok penduduk ini adalah segmen konsumen yang berdaya beli (angkatan kerja) maka perilaku pembeliannya pun akan berbeda dengan sejumlah kelompok konsumen berdasarkan perbedaan usia.

Selanjutnya adalah: Kini kelompok konsumen generasi X dan Y…

Kelompok Konsumen

Kini kelompok konsumen generasi X akhir dan Y sudah lebih mementingkan fungsi daripada emosi. Sensasi belanja bersama keluarga yang dulu sempat menjadi ikon iklan-iklan Matahari menjadi tidak pas lagi bagi generasi ini. Sisi praktis fungsional akan lebih dijadikan pertimbangan daripada sekadar imaji-imaji wisata belanja.

Belum lagi termasuk kemudahan dan kesulitan akses ke lokasi-lokasi gerai (jarak, kemacetan, kesulitan mencari tempat parkir). Contoh paling gamblang dalam situasi ini adalah persaingan antara dua gerai makanan cepat saji ayam goreng. Pada awalnya, tidak ada gerai makanan cepat saji yang bisa menyaingi penguasaan pasar oleh sebuah gerai yang memiliki resep dari seorang kolonel tentara Amerika Serikat.

Sebuah gerai lain yang identik dengan nama seekor bebek dalam serial kartun dengan cerdas mengemas penjualan secara back to basic (kembali ke fungsi semula). Idealnya konsep gerai makanan cepat saji adalah menyajikan kecepatan, kepraktisan, dan kemudahan.



Selama ini gerai ayam goreng milik sang kolonel terlena oleh penguasaan pasar di mal-mal, padahal dengan pilihan lokasi itu pelanggan justru tidak bisa menikmati kepraktisan, kecepatan, dan kemudahan.

Kondisi mal yang kadang sulit dalam memfasilitasi tempat parkir, antrean panjang di depan kasir, dan keramaian pengunjung mal malah kontra produktif. Sebaliknya, secara cerdas, gerai kompetitor yang awalnya hanya dikenal dengan burger kemudian justru memilih lokasi di luar mal. Penjualannya juga disajikan dalam pilihan drive-thru.

Pada akhirnya gerai cepat saji ini pelan-pelan mulai menguasai pasar pelanggan cepat saji. Belakangan ketika gerai milik sang kolonel hendak ikut ”bermain” juga ke konsep penjualan drive-thru dengan lokasi di luar mal, masih terkendala oleh sumber daya manusia dan peranti pendukung yang gagap dalam melayani sistem penjualan drive-thru.

Contoh lainnya adalah konsep penjualan yang semakin menuju ke efisiensi (sesuai fungsi keterbutuhan) bagi pembeli ini terlihat cukup berhasil dilakukan oleh Alfamart dan Indomaret. Memang tidak apple to apple jika memperbandingkan Matahari dengan Alfamart dan Indomaret.

Berdasarkan jenis produknya kedua minimarket ini termasuk dalam kategori dailly need products sehingga akan lebih tepat memilih distribusi intensif (berada sedekat mungkin dan sebanyak mungkin dengan konsumen) daripada distribusi ekslusif (hanya berada di lokasi khusus) karena tingkat keterbutuhan fesyen (Matahari) tidaklah masuk produk sehari-hari.

Agaknya pekerjaan rumah terbesar Matahari adalah reposisi: akankah konsisten bermain di kelas menengah disertai risiko bersaing ketat dengan membanjirnya produk-produk alternatif berkualitas yang semakin banyak bertebaran di outlet-outlet mini serta penjualan online atau mencoba melebur dengan hanya dua jenis produk sekaligus: tersegmentasi khusus di low end dan high end saja? Selain masih mudah diduplikasi, produk middle end semakin tipis pembedanya,  baik dalam desain dan kualitas maupun lebih-lebih di harga.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya