SOLOPOS.COM - Flo. Kus Sapto W (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (26/3/2016), ditulis praktisi pemasaran Flo. Kus Sapto W.

Solopos.com, SOLO — Pekan lalu saat mendampingi dewan direksi Pasar Induk Cipinang memetakan potensi pasokan beras dari gabungan kelompok tani (gapoktan) di Jawa Tengah, saya menemukan beberapa hal menarik. Salah satunya adalah sikap dan tanggapan para pejabat terkait.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Proses produksi dan jalur distribusi beras idealnya merupakan kerja sama multipihak. Saya tentu kula nuwun kepada pejabat pemerintah setempat. Beberapa aparatur negara itu menanggapi komunikasi saya via SMS dan telepon secara apresiatif.

Sebagian yang lain tetap menginginkan protokoler resmi melalui surat. Dalam kerangka kerja bisnis, sejumlah agenda potensial kurang bisa maksimal, padahal pemetaan itu dilakukan terutama untuk memenuhi target pasokan 5.000 ton–10.000 ton beras per bulan.

Bisa jadi permasalahannya adalah perbedaan persepsi antargenerasi. Di satu sisi, sebuah momentum sudah bisa disikapi sebagai peluang. Di sisi lain, masih terpenjara pada prosedur daripada esensinya. Hawkins, et al. dalam Consumer Behaviour (2007) menjelaskan segmentasi usia populasi memang dibagi ke dalam beberapa generasi.

Pertama adalah generasi pra-depresi yang lahir sebelum 1930-an. Kedua adalah generasi depresi yang lahir pada 1930–1945. Ketiga disebut generasi baby boom yang tumbuh pada 1950-an sampai 1960-an. Keempat adalah generasi X yang lahir pada 1965–1976.

Kelima adalah yang lahir pada 1977 – 1994, disebut generasi Y. Generasi selanjutnya yang lahir pada kurun waktu setelah 1994 disebut generasi milenial. Setiap generasi memiliki kecenderungan nilai (value) dan perilaku.

Generasi X yang saat ini berusia 40 tahun-51 tahun, tumbuh dalam kesulitan ekonomi, berada dalam situasi peralihan antara tradisionalitas dan modernitas. Generasi X yang sekarang bisa jadi sedang di puncak karier atau malah sudah mendekati pensiun masih memiliki sikap mendua terhadap pola dan media komunikasi.

Hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap strategi pendekatan kepada konsumen. Joe Girard (2015) berhasil menjual hampir 900 unit mobil dalam setahun dengan pendekatan melalui surat berperangko, bukan SMS, WA, BBM, atau email.

Salesman yang tercatat dalam Guinnes Book of World Records sebagai penjual eceran terbanyak dalam sejarah ini sebulan sekali mengirimkan surat dalam amplop menarik. Bagi generasi baby boom akhir maupun generasi X sebagai pelanggan Joe Girard, surat tertulis terbukti lebih menyentuh emosi.

Pendekatan konvensional semacam ini ada baiknya dipertimbangkan para pemasar generasi Y yang menyasar konsumen generasi X. Pemasar Generasi Y, saat ini berumur 22 tahun-39 tahun, harus menghindar dari pelabelan ”tidak sopan” dalam berkomunikasi.

Semua teknologi layar sentuh menawarkan efisiensi dan kepraktisan, namun emosi yang tumbuh dari tatap muka, jabat tangan, percakapan, dan atensi belum tentu bisa dibangun dari sekadar–meminjam istilah Ichwan Prasetyo, Soloposclick and share.

Generasi Y layak memahami ini setidaknya untuk dua alasan. Pertama, Generasi Y saat ini mendominasi jumlah penduduk (67 %). Kedua, secara normatif generasi Y sedang berada di posisi middle structure seperti supervisor, kepala cabang, kepala divisi, pengusaha rintisan, maupun penerus warisan usaha.

Generasi X masih berada di posisi di atasnya (manajer, direksi, komisaris, pemilik modal besar, atau pengambil keputusan tertinggi). Jangan sampai perbedaan karakter justru menimbulkan resistensi dari generasi X terhadap generasi Y atau sebaliknya.

Dalam Leadership Style; The X Generation and Baby Boomers Compared in Different Cultural Context (Yu & Miller, 2005) ada penjelasan generasi Y memang lebih menekankan dirinya sebagai bagian dari organisasi daripada sekadar sebagai bawahan.

Generasi Y memang spesifik. Generasi Y yang umumnya lahir dari orang tua karier, relatif berkecukupan dan berpendidikan. Mereka tidak terlalu mementingkan pendapatan, lebih membutuhkan suasana gembira, dan justru tunduk pada pengetahuan daripada hierarki/atasan.

Mereka lebih menyukai fleksibilitas jam kerja (terlambat masuk kantor), susah fokus, dan bermasalah dalam kepatuhan terhadap pemimpin. Tidak mengherankan banyak generasi Y memiliki persepsi berbeda terhadap ketekunan (ganti pekerjaan) atau loyalitas (pindah perusahaan). [Baca selanjutnya klik di sini]

Generasi Y yang menikmati kemudahan teknologi tidak tepat bila dimotivasi dengan pola generasi baby boomer menasehati generasi X. Generasi X masih bisa termotivasi mendengar laku prihatin generasi baby boomer berjalan kaki sekian kilometer demi bisa bersekolah.

Bagi Generasi Y, hal itu terdengar sebagai ketololan. Kini, hanya dengan beberapa lembar ribuan sudah bisa naik Batik Solo Trans (waktu tempuh lebih singkat dan menghemat tenaga). Bagi Generasi X, kebiasaan berhemat generasi baby boomer masih dinilai sebagai sebuah kebersahajaan.

Bagi generasi Y, perilaku itu tidak praktis. Lebih murah membeli barang pengganti daripada susah payah mereparasi. Bagi generasi X, prinsip totalitas dan hanya fokus pada satu hal pada saat yang bersamaan adalah prioritas.

Bagi generasi Y, melakukan 2–3 pekerjaan sekaligus (multitasking) diyakini lebih efisien. Implementasinya sering memb ahayakan diri sendiri dan lingkungan (mengendarai motor sambil ber-SMS, memakai head set sambil memasak dan browsing).

Generasi Y tidak nyaman dengan atmosfer prosedural bertele-tele maupun sekadar pelaksana perintah. Efeknya sering mengalami ketidakcocokan dengan atasan maupun rekan kerja. Daripada berlama-lama mencari cara-cara kooperatif, akan lebih memilih untuk beralih.

Perbedaan tanggapan para pejabat yang secara umum masuk generasi X terhadap media komunikasi SMS dan telepon sebaiknya disikapi dengan pemikiran jernih. Siapa yang sedang hendak diprioritaskan? Gapoktan atau dirinya sendiri?

Peningkatan hidup gapoktan adalah salah satu muara pemberdayaan pertanian yang bisa dicapai jika produksinya terserap pasar dengan baik. Jika untuk hal-hal yang urgent dan important saja tidak bisa membedakan, bisa jadi pejabat itu memang tidak tepat di posisinya saat ini. Dalam spirit generasi Y, ganjalan komunikasi itu segera disikapi dengan mencari ”saluran” lain. Sesederhana itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya