SOLOPOS.COM - Setyo Budi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (10/11/2015), ditulis Setyo Budi. Penulis adalah dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Ada yang selalu terlupakan ketika menyaksikan film-film Hollywood, ketika kita lebih memilih terpesona pada atraksi yang tidak masuk akal dan visual effect yang memanjakan indra penglihatan daripada dialog-dialog pendek yang sering kali bermuatan nilai filosofis.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal demikian sebagaimana hanya sebagian kecil yang mengingat kalimat big power big responsibility, petuah Paman Ben dalam film Spiderman, atau kata-kata nasionalis Kolonel Trautman, ”Tuhan bisa memaafkan, tapi John Rambo tidak.” Itu dalam film Rambo III.

Film King Kong bukanlah film perang, tetapi ada dialog kecil yang justru sarat nilai kepahlawanan, yakni: berbahagialah bangsa yang memiliki pahlawan dan menagislah bangsa yang tidak memilikinya.

Sering kali kita tersesat memaknai kata ”pahlawan” sebagai sosok atau subjek orang. Dari berbagai kasus kepahlawanan di era damai, kata itu sebenarnya lebih tepat berarti ”sifat atau tindakan kepahlawanan” (heroic).

Mungkin saja dapat membuka pertentangan dengan frasa ”taman makam pahlawan” karena pahlawan itu tidak pernah mati. Sebagaimana dalam film XXX,  perang datang dan pergi, tetapi prajurit tetap abadi. Begitu juga kata ”prajurit” bukan berarti tentara atau pasukan, melainkan jiwa juang dan semangat membela tanah air tempat lahir dan tumbuh.

Kita adalah masyarakat yang telah menelan ratusan bahkan ribuan tayangan film, baik yang impor maupun dalam negeri.  Entah berapa kata yang sempat kita simpan sebagai spirit hidup. Begitulah generasi yang terbenam dalam era informasi, ketika informasi bukan lagi menjadi tanda-tanda bermakna, melainkan kelaparan untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin.

Bangga karena memiliki banyak informasi, tetapi tidak pernah terkristal menjadi etos untuk memanusiakan manusia lain, justru sebagai alat untuk memanfaatkan dan merendahkan orang lain. Jadi jangan bertanya di manakah sang pahlawan itu sekarang ini karena ciri utama pahlawan adalah demi kebaikan orang lain.

Kita adalah bangsa yang besar, memiliki ratusan nama yang tercatat sebagai pahlawan nasional. Masihkan itu sebagai ”menara api” yang menerangi jiwa generasi penerusnya? Gambar wajah yang tercetak di lembaran uang kertas ternyata hanya berdaya ”ilustratif penciri” nilai tukar di mata generasi muda sekarang.

Begitu juga pencantumannya sebagai nama jalan kota juga sebatas penanda dan mempermudah penelusuran. Bukan tanpa sebab generasi muda sekarang tidak terimbas jiwa kepahlawanan dari para putra terbaik bangsa masa lampau. Satu generasi perantaranya telah memutus pancaran menara api itu ke generasi muda sekarang.

Sebuah generasi tua yang seharusnya menjadi reflektor cahaya api kepahlawanan justru menjadi stand-up comedy berdurasi satu tahun. Pada saat tertentu seorang tokoh berpidato lantang demi rakyat, demi bangsa, demi lembaga, demi kebersamaan.

Setahun kemudian cengar-cengir memasang wajah polos pada saat terkena kasus memperkaya diri sendiri pada saat duduk sebagai raja kecil. Profesi ”guru” yang pernah mendapat sebutan sebagai ”pahlawan tanpa tanda jasa” pada era 1980-an hingga 1990an bukan tanpa sebab jika bukan lagi menjadi jargon mulia pada masa sekarang. Berbagai pemberitaan tentang bentuk-bentuk bias dari perilaku pendidik kepada murid cukup membuat sang murid menyungging senyum sinis; apalagi murid yang pernah menjadi korban secara fisik maupun psikis.

Selain itu, fenomena murid yang masih harus ikut ”les pelajaran tambahan” juga indikasi ”ketidakkenyangan”, lembaga pendidikan itu tak cukup memberi asupan pelajaran kepada anak didiknya. Terlebih lagi, jika yang memberi les adalah gurunya sendiri. Ini adalah bentuk dhagelan yang nyata.

Mungkin sedikit yang menyadari bahwa generasi muda telah merekam semua itu. Sampai akhirnya mereka membuat kesimpulan bahwa pahlawan tidak lagi ada di bangsa ini. Generasi muda sekarang bukanlah generasi kurang gizi, otak mereka cerdas, daya ingat mereka tajam, serta fantasi mereka tak berbatas.

Mereka mengetahui jenis dhagelan apa yang dihadapi dari tahun ke tahun seturut perkembangan kejiwaan mereka. Perilaku para guru yang sering lupa sebagai pendidik, para dosen yang sering berteatrikal untuk menutupi ketidakseriusan sebagai pentransfer ilmu pengetahuan, tokoh agamawan yang mendua menjadi pengiklan produk pabrikan, hingga wakil rakyat yang sibuk mengembalikan modal awal kampanyenya adalah contoh pembebalan diri dari api kepahlawanan. [Baca: Pemulung Pahlawan Impor]

 

Pemulung Pahlawan Impor
Generasi muda kita adalah generasi tanpa pelajaran peribahasa. Tidak lagi mengenal kata ”berakit-rakit ke hulu”, ”tong kosong berbunyi nyaring”, ”air di atas daun talas”, juga ”kacang lali lanjarane”.

Entah sudah dianggap usang atau para pendidik dan orang tua yang merasa tersindir dengan kalimat-kalimat itu sehingga tidak lagi menjadi pelajaran moral di masa sekarang. Peribahasa adalah kalimat filosofis untuk pendidikan dasar.

Jika tidak ditanamkan sejak dini, pantaslah dialog-dialog filosofis dalam film-film kelas dunia tidak mampu tercerna. Ujungnya, tidak heran jika ayat-ayat dari kitab suci pun sekadar menumpang lewat di telinga mereka karena yang ditunggu pada saat pengajian adalah dhagelana.

Sekian banyak kasus dan kejadian di hadapan generasi muda sekarang adalah sebagai pertimbangan dalam memilih jalan hidup. Para pejabat tinggi yang berusaha berbuat tulus demi kepentingan bangsa pada ujungnya justru dikeroyok dan dipojokkan beramai-ramai.

Orang-orang yang berusaha berbuat lurus di komunitasnya pada akhirnya justru terfitnah oleh persekongkolan. Jiwa pahlawan adalah ”jalan pedang” (penuh risiko); tiwas sengsara, kata dari para pemilih “jalan jenang”.

Dari sekian fakta di masyarakat itulah yang menjadikan generasi muda enggan berjiwa pahlawan. Lebih aman ikut menjadi dhagelan, tanpa risiko, wani mblirit cari selamat, kepencok ing baya mbalenjani, lempar batu sembunyi tangan, dan yang penting untung.

Barangkali kata ”untung” adalah satu-satunya kata yang lupa dipelajari oleh para pejuang bangsa masa lampau. Syukurlah, pejuang itu tidak hidup di masa sekarang. Pastinya, Pangeran Diponegoro akan dianggap bodoh di zaman sekarang, ngapain harus blusukan sampai Gua Selarong, enakan tidur di dalam istana. Peduli amat membela rakyat, salahe gelem dadi rakyat.

Pada dasarnya pahlawan atau jiwa kepahlawanan adalah salah satu naluri dasar manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Itu seperti nyala api yang dapat diredam dengan kebebalan atau diperbesar menjadi prinsip hidup.



Naluri itulah yang sebenarnya membangun konflik di alam bawah sadar generasi muda sekarang. Fakta tentang kepahlawanan di masyarakat berarti jalan pedang, berbanding terbalik dengan dhagelan yang hidup nyaman di jalan jenang.

Mengarahkan mereka untuk mencari jalan tengah; hidup dalam alam kepahlawanan fiktif. Pada akhirnya, Superman, Batman, Ironman, hingga tokoh-tokoh komik manga dari Negeri Sakura-lah yang menjadi asupan hasrat kepahlawanan mereka.

Bukan karena tidak menghargai budaya sendiri jika mereka menjadi pemulung tokoh-tokoh superhero dari bangsa lain. Fakta menunjukkan bukan karakter Pandawa yang muncul ketika menghadapi masalah, melainkan main keroyokan dan bala-balanan gaya Kurawa.

Akhirnya, jalan satu-satunya untuk menggenapi naluri kepahlawanan tanpa berisiko dipojokkan, terfitnah, dan bermasalah adalah nyaman dalam inspirasi pahlawan-pahlawan impor. Belajar kepada Drijarkara, seorang agamawan dan pemikir besar Indonesia di pertengahan abad XX, bahwa ada tiga hal dalam diri generasi muda yang dapat menyebabkan kehancuran sebuah bangsa.

Tiga hal itu adalah jiwa pemalas, bermental jalan pintas, dan tidak memiliki jiwa penantang. Jika sebuah generasi sudah tidak peduli dengan hati nurani, mencari enaknya sendiri, dan menghindari tanggung jawab, akan tiba saatnya bangsa itu menangis dalam kebangkrutan moral, mental, dan nurani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya