SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Muhammadiyah Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Muhammadiyah Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Gelandangan adalah patologi sosial. Anggapan atas gelandangan cenderung mengarah ke pengertian muram, miskin, kotor, buruk, liar. Gelandangan mengesankan aib. Parsudi Suparlan (1984) menilai gelandangan adalah konsekuensi kota. Gelandangan ada karena tekanan ekonomi dan depresi sosial. Gelandangan itu konsekuensi perubahan kosmis kota, urbanisasi, rezim ekonomi, anomi dan kodrat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Fakta gelandangan itu adalah satire kota. Gelandangan selalu menjadi sasaran opini dan pemberlakuan konstitusi sosial. Pemetaan mengenaskan untuk gelandangan adalah pengusiran, pengucilan, pengasingan, kematian. Pertobatan gelandangan adalah mukjizat besar. Gelandangan di kota-kota Indonesia adalah noda dalam hasrat menjadi metropolitan atau megapolitan dengan utopia-utopia mencengangkan.

Gelandangan pun menjadi konsekuensi lakon Solo. Razia-razia untuk mencari, menemukan, mengurusi kaum gelandangan dilakukan oleh aparat mengacu peraturan birokrasi. Perlakuan terhadap gelandangan sekadar disesuaikan peraturan dan urusan kinerja pejabat atau instansi. Gelandangan memang jadi persoalan kota tapi diurusi menggunakan nalar birokrasi. Kebijakan tak mengarah ke pemartabatan atau perlakuan berdalil kemanusiaan. Razia adalah rumus birokrasi.

Razia oleh tim gabungan sejumlah instansi pemerintah ibarat pelaporan kerja. SOLOPOS (8/2) menginformasikan bahwa tim gabungan merazia 70 gelandangan di sekian lokasi di Kota Solo. Kita mendapati kerancuan makna dalam pengakuan Sutardjo (Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Solo),”Razia kali ini memang memuaskan dan mudah-mudahan persoalan PGOT (pengemis, gelandangan, orang telantar) di Solo tuntas. Hasil razia ini sekaligus kami jadikan kado Hari Jadi ke-268 Kota Solo.”

Aparat semula mengira ada sekitar 50 orang PGOT. Perkiraan jumlah itu membesar saat pelaksanaan razia: 70 orang. Angka ini bagi aparat dianggap sebagai ukuran keberhasilan razia. Penggunaan ungkapan ”memuaskan” oleh aparat eksplisit mengartikan indikasi prestasi kerja. Penggunaan kata ”tuntas” justru tak memiliki kaitan dengan model pemberlakuan kebijakan terhadap PGOT.

Agenda razia, memberi makan, memulangkan ke daerah asal, dianggap rumus paling mujarab untuk urusan hidup kaum gelandangan. Keterangan mengenai hasil (kuantitatif) razia untuk kado Hari Jadi ke-268 Kota Solo semakin mengaburkan empati dan kewajiban mengurusi kaum gelandangan. Kaum gelandangan di mata pemerintah adalah aib. Pemerintah tidak menghendaki pemartabatan tapi ”pembersihan” kota berdalih kerja dan prestasi. Ironis!

Kita dan aparat birokrasi perlu membaca ulang tentang biografi gelandangan di Indonesia merujuk ke masa lalu dan masa kini. Pelacakan kesejarahan bisa kita temukan di buku Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial (LP3ES, 1984). Buku ini memuat 11 artikel penting bertema gelandangan dari para intelektual di Indonesia.

Aswab Mahasin dalam kata pengantar menjelaskan kemunculan gelandangan akibat kota tak sanggup lagi ”menerima” semua pendatang baru dalam kepatutan peri kehidupan. Kota adalah sumber dan sebab kemunculan gelandangan. Konklusi ini ingin mengajak publik menilik ulang tata kehidupan kota. Gelandangan tak bisa dianggap aib tanpa ada perlakuan kemanusiaan.

 

 

Esksistensialisme

Ong Hok Ham dalam artikel berjudul Gelandangan Sepanjang Zaman membuka halaman-halaman sejarah agar kita mengerti nasib dan pengharapan kaum gelandangan. Istilah gelandangan mengandung arti pengembara, tak memiliki pekerjaan, makan di sembarang tempat. Fenomena gelandangan memang sering dianggap sebagai gejala abad XX. Gelandangan adalah akibat urbanisasi. Mereka adalah orang miskin alias termiskin di kota kita.

Ong Hok Ham juga menghendaki kita melacak ke alur sejarah. Kaum gelandangan di masa lalu biasa mendapat julukan satriya lelana atau bocah angon. Mereka merepotkan pihak penguasa pribumi dan kolonial. Kaum gelandangan di masa lalu memang kamu miskin dan tertindas. Kondisi ini memberi rangsang untuk terlibat dalam agenda-agenda pemberontakan dan konflik sosial-politik. Kesejarahan itu lekas berubah saat kota-kota di Indonesia sejak awal abad XX tidak memberi ruang hidup dan birokrasi ”mengharamkan” kaum gelandangan mengembara-berkeliaran di kota.

Kita juga bisa merenungi biografi gelandangan melalui novel Merahnya Merah (1968) garapan Iwan Simatupang. Penghadiran tokoh gelandangan menjadi simbolisme melawan arogansi kota dan kehidupan bernalar birokrasi. Iwan Simatupang mengisahkan bahwa gelandangan menemukan legitimasi getir dalam laku eksistensialisme. Gelandangan adalah biografi individu dan sosial dalam absurditas.

Pendefinisian gelandangan: bagaimana dia dapat berhenti jadi gelandangan? Syarat-syarat apakah yang dimilikinya, atau mungkin dimilikinya, dalam waktu yang dekat ini untuk berhenti jadi gelandangan? Lagi, belum tentu dia sendiri menyukai penghentian itu. Terlebih lagi belum tentu di sekelilingnya menyukai dia berhenti jadi gelandangan. Dilema gelandangan adalah kehendak bebas dalam fakta sosial. Iwan Simatupang sengaja menggeser makna gelandangan sebagai patologi sosial menjadi urusan ideologi-resistensi.

Pengetahuan tentang gelandangan dalam novel itu menghindari vonis birokratis. Iwan Simatupang mengajukan definisi: gelandangan bukan sekadar masalah ekonomi dan sosial. Terlebih, bukan sekadar soal keamanan dalam negeri. Dia lekat secara mutlak pada kesadaran manusia modern. Sama dengan iseng, mual, sunyi. Bahkan, apabila studi kita menelaahnya lebih dalam sedikit, apa yang disebut gelandangan itu adalah pada hakikatnya gabungan dari iseng, mual dan sunyi tadi sekaligus, ditambah sekian unsur lainnya. Apa unsur-unsur tambahan ini, sedang sibuknya dicoba rumuskan oleh psikiater, filosof dan pengarang novel. Definisi ini mengusung ide-ide kunci eksistensialisme tapi bisa menggelisahkan institusi-institusi negara dan elite politik.

Gelandangan sebagai fenomena peradaban kerap meninggalkan tanda seru untuk mengantarkan orang membaca dan menilai fakta hidup secara historis- empiris. Tanda seru itu belum selesai dalam pembacaan semrawut dan absurd. Gelandangan sudah menjadi kultur resistensi atas kemapanan dalam mobilitas fisik, materi, imajinasi, nilai, ideologi. Lakon modernitas memberi klaim kehadiran gelandangan sebagai kehendak bebas: menuruti hasrat hidup atau resistensi eksistensialisme. Gelandangan dalam pengertian realisasi kehendak bebas justru menjadi satire menggemaskan dan mencemaskan.

Kaum gelandangan adalah manusia dengan segala keterbatasan dan kehendak. Agenda razia gelandangan mesti melampaui urusan kerja dan prestasi berlatar birokrasi. Gelandangan adalah tema untuk diurusi berbagai pihak dengan rujukan agama, politik, sosial, ekonomi, pendidikan. Kita tak menginginkan kaum geladangan sekadar menjadi sasaran penghinaan dan arogansi birokrasi. Agenda memberi empati dan pemartabatan kaum gelandangan adalah ”keharusan” merujuk amalan-amalan agama dan semaian nilai-nilai kemanusiaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya