SOLOPOS.COM - Bagus Kurniawan

Gagasan Harian Solopos edisi Rabu (14/6/2017) ini karya Bagus Kurniawan, dosen Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya UNS.

Solopos.com, SOLO–Gejala yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan Ramadan mengalami anomali. Dalam paradigma spiritualitas Islam, Ramadan dianggap sebagai bulan bagi umat Islam utuk memperkuat keimanan dan ibadah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tujuan akhir dari penggemblengan spiritualitas itu bagi kaum muslim adalah mencapai derajat ketakwaan. Berdasarkan asumsi tersebut, Ramadan merupakan momen ibadah yang identik dengan aspek spiritualitas dan eskatologi bagi pemeluk Islam.

Artinya, Ramadan adalah bulan perenungan, kontemplasi, dan perenungan batiniah untuk meningkatkan derajat ketakwaan dan keimanan. Pada praktiknya ada kecenderungan spiritualitas Ramadan akhir-akhir ini makin terdeterminasi  oleh budaya massa dan kapitalisasi.

Ekspedisi Mudik 2024

Konstruksi budaya massa dan kapitalisasi pada kenyataannya telah mengikis  nilai-nilai spiritual sehingga aspek kontemplatif, katarsis, dan reflektif menjadi pudar. Hal ini perlu diperhatikan karena berbagai mode komodifikasi sebagai ciri khas kapitalisasi telah mengemas Ramadan dari sebuah momen spritualitas menjadi komoditas yang menarik bagi setiap orang.

Proses itu pada akhirnya mengonstruksi Ramadan dari sebuah konsep yang sarat nilai menjadi dangkal (fetis), bahkan tanpa makna. Ramadan hanya dipahami sebagai aktivitas untuk menahan lapar dan haus sehingga justru khidmat dan terjebak dalam euforia penuh aksi yang tidak linier dengan esensi spiritual Ramadan.

Sebagai contoh, masyarakat kita sangat khidmat dengan acara ngabuburit, buka puasa bareng, sahur bareng, yang justru menonjolkan aspek aksi, hiburan, dan kepopuleran dibandingkan aspek reflektif/spiritualnya. Ini berarti masyarakat terjebak dalam parade-parade aksi yang sebenarnya sama sekali tidak linier dengan spiritulitas dan keimanan.

Selanjutnya adalah: Gejala semacam ini disebut fenomena…

Fenomena

Gejala semacam itu dapat disebut sebagai sebuah fenomena fetisisme. Fetis dalam konteks ini berarti dangkal dan semata-mata menonjolkan aksi massa, tanpa nilai, dan makna. Dalam Ramadan ini yang paling menonjol sebenarnya adalah aksi massa tanpa makna.

Fenomena perubahan gaya busana secara mendadak para artis di beberapa program televisi, perubahan tema-tema tayangan dengan menggunakan selubung Ramadan, acara ngabuburit, acara sahur dan buka bareng  menunjukkan betapa dominannya aspek hiburan dibandingkan spiritualismenya.

Gejala itu menunjukkan Ramadan dalam tingkat tertentu dalam masyarakat industri sudah terdegradasi aspek spiritualitasnya dan terdeterminasi oleh aspek fetisismenya.         Gejala fetisisme Ramadan yang muncul akhir-akhir ini sebenarnya merupakan sebuah konstruksi dari budaya industri dan kapitalisasi.

Menurut Dominic Strinati dalam Popular Culture (2009), dalam masyarakat industri, komunitas dan kolektivitas masyarakat tercerai-berai, antarindividu semakin terisolasi, dan bahkan mungkin saling teraleniasi. Hubungan yang dominan dalam fase tersebut adalah cenderung bersifat finansial dan kontraktual.

Masyarakat yang semacam itu pada akhirnya dimanipulasi dan dikonstruksi oleh pengganti komunitas dan kolektivitas. Akibatnya, masyarakat akan selalu dikonstruksi untuk selalu larut dalam parade aksi yang fetis.

Ngabuburit, buka dan sahur bareng, dan acara-acara yang menunjukkan fenomena budaya populer yang menanggalkan esensi spiritulitas Ramadan merupakan contoh yang paling baik dari situasi yang dimaksud di atas.

 

Komodifikasi

Marx sebagaimana dikutip Chris Barker dalam Cultural Studies: Teori dan Praktik (2013) meramalkan kapitalisme dan industrialisasi akan memunculkan fenomena komodifikasi, yaitu proses suatu objek, kualitas, dan tanda diperlakukan sebagai sebuah komoditas.

Seluruh objek apa pun, entah material maupun nonmaterial, dapat dijadikan sebagai sebuah komoditas yang menghasilkan keuntungan bagi pemilik modal. Dengan kata lain, Ramadan saat ini dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk meraup keuntungan.

Selanjutnya adalah: Berbagai fenomena bisnis yang muncul…

Bisnis

Hal itu tampak dalam berbagai fenomena bisnis yang muncul akhir-akhir ini. Momen Ramadan digunakan untuk menjual berbagai produk yang sebenarnya tidak memiliki hubungan secara langsung. Ramadan digunakan sebagai selubung untuk membuat sebuah kesan bahwa produk tertentu perlu untuk dibeli dan dikonsumsi meskipun bukanlah kebutuhan yang mendesak.

Praktik-praktik seperti yang diungkapkan di atas dapat dilihat di mal, pusat perdagangan, maupun di media televisi. Mal melakukan program penjualan yang dipromosikan seolah-olah adalah bagian dari momen Ramadan dengan berbagai diskon.

Televisi membuat program yang seolah-olah menunjang ibadah umat Islam meskipun dari sisi filosofis sangat tidak berbobot dan lain sebagainya. Semua aktivitas itu pada akhirnya akan mendorong melonjaknya aktivitas konsumsi sehingga harga barang konsumsi tertentu melonjak signifikan.



Tidak perlu heran ketika pada akhirnya saat Ramadan masyarakat begitu identik dengan pola hidup konsumtif, baik itu untuk produk busana, sembilah bahan pokok, mapun barang lainnya. Suatu hal yang memang diinginkan oleh para pemilik modal yang berimbas meningkatnya keuntungan finansial.

Situasi ini tentu sangat kontradiktif karena aktivitas konsumsi seharusnya menurun pada Ramadan. Ketika begitu keadaannya, memang harus diakui bahwa kita memang tengah berjemaah dengan amat khidmat menuju masyarakat industri.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya