SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari, Wakil Ketua Bidang Pendidikan Politik dan Kebudayaan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah


Thontowi Jauhari, Wakil Ketua Bidang Pendidikan Politik dan Kebudayaan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah

Tren perilaku politik pindah partai menghiasi konfigurasi politik partai-partai politik menghadapi Pemilu 2014. Seluruh partai politik mengalami arus migrasi tersebut, baik yang masuk atau keluar. Bahkan, ada partai yang seolah-olah hanya barter kader atau saling tukar. Hary Tanoe, misalnya, dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) pindah ke Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), sedangkan Akbar Faisal dari Partai Hanura pindah ke Partai Nasdem.
Perilaku politisi pindah partai tersebut saya sebut sebagai sebuah fenomena karena tren pindah partai tersebut terjadi secara luar bisa dan menyangkut seluruh partai politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, fenomena adalah sesuatu yang dapat disaksikan atau dilihat dengan pancaindra; kenyataan yang ada, tanda-tanda, gejala; sesuatu yang luar biasa, keajaiban; fakta. Kejadian pindah partai itu adalah fenomena yang tidak bisa dibantah lagi.
Peristiwa ini tentu mengundang pro-kontra karena tidak sehat dalam konteks budaya politik dengan sistem demokrasi yang terkonsolidasi. Artinya, kondisi demokrasi yang terkonsolidasi tersebut memang belum tergapai, untuk tidak mengatakan semakin jauh dari yang diharapkan. Partai politik juga semakin mengalami degradasi trust (kepercayaan) dari masyarakat. Akhirnya, masyarakat saat ini sedikit yang merasa terikat dan mempunyai hubungan batin dengan partai politik. Masyarakat menjatuhkan pilihan politiknya lebih mempertimbangkan figur (calon anggota legislatif, calon presiden-calon wakil presiden, calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah).
Terfragmentasi
Pro-kontra pindah partai tersebut setidak-tidaknya terfragmentasi dalam dua  bentuk. Pertama, selama kepindahan partai tersebut karena dalam konteks mentoknya harapan ideologis kepada partai asalnya, maka pindah partai itu sah, atau bahkan harus. Partai itu sebenarnya merupakan kumpulan orang-orang yang mempunyai kesamaan cita-cita politik (baca: ideologi). Ketika suatu partai sudah tidak setia kepada ideologinya sendiri, mengapa seorang kader harus masih setia kepada partainya ?
Kedua, pindah partai itu selalu bermakna negatif. Dalam konteks berpolitik yang hanya dimaknai untuk memperoleh jabatan, kekuasaan dan segala fasilitasnya, pindah partai berarti hanya persolan membaca peluang bagaimana memperolehnya. Oleh karena itu, pindah partai disebut sebagai kutu loncat, oportunis dan sebagainya.
Sayangnya, pengertian umum tentang politik bagi masyarakat, atau bahkan bagi para politisi, lebih didominasi pemaknaan bahwa politik hanya sebatas seni atau prosedur memperoleh kekuasaan. Pindah partai bagi sebagian terbesar politisi juga lebih bermakna kekuasaan dengan segala atributnya, karena itu bermakna negatif. Mengapa pindah partai menjadi fenomena dan ada alasan pembenar bagi pelakunya?
Pertama, identitas partai politik nyaris tanpa bentuk, kecuali hanya sebatas slogan. Partai yang mendeklarasikan sebagai partai antikorupsi kenyataannya partai itu tidak pernah merealisasikan cita-cita antikorupsi itu dalam sebuah sistem yang berlaku secara internal bagi para kadernya agar terbangun budaya antikorupsi.
Partai yang menyatakan diri sebagai partai bersih ternyata presidennya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Partai yang didesain untuk melanjutkan perjuangan gerakan reformasi ternyata partai itu melindungi kadernya yang tersangkut kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) serta korupsi dan sebagainya.
Seluruh partai yang telah memiliki wakil di parlemen menyandang masalah-masalah tersebut, meski dengan kadar yang berbeda-beda. Perbedaan identitas antara partai-partai tersebut nyaris punah dan masyarakat semakin kesulitan menjatuhkan pilihan karena mempertimbangankan alasan ideologis. Kader partai yang setia kepada ideologi partainya justru dianggap aneh, tidak diberi tempat dan bahkan disingkirkan.
Kedua, realitas menunjukkan dunia politik Indonesia setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto (Orde Baru) lebih didominasi para money hunter. Boleh dikatakan demokrasi kita sebenarnya telah dibajak para pemburu uang dan kekuasaan dan politik diletakkan dalam bingkai bisnis. M Alfan Alfian membuat istilah yang menarik, yakni partai politik tanpa politisi. Bak kolam ikan tanpa ikan, karena ikan telah terdesak oleh kecebong, kodok, belut dan ular, yang beramai-ramai hendak “bancakan kekuasaan”.
Dengan kekuatan ”modal uang” yang dimiliki, politisi jenis ini hanya melihat peluang (oportunis). Pada saat yang sama, kesadaran politik pemilih juga masih rendah. Di tengah deraan persoalan kemiskinan masyarakat, memilih pemimpin dalam pemilu direduksi menjadi persoalan ”buruh nyoblos”. Dengan demikian, biaya politik menjadi tinggi dan uang sangat menentukan keterpilihan calon. Dalam konteks seperti ini, politisi pemburu uang dapat maju dari partai manapun, toh mereka mempunyai dalil ”pemilih mengikuti uang”.
Solusi
Hal mendesak apa yang harus dilakukan agar migrasi kader partai tidak menjadi kebiasaan? Setidak-tidaknya perlu dua solusi. Pertama, mendesak partai politik untuk kembali kepada ideologinya. Partai politik butuh tafsir ideologi yang dapat digunakan sebagai pedoman berperilaku dalam ranah praksis politik.  Seorang kader butuh panduan apa yang harus dilakukan, apa yang harus tidak dilakukan dan apa yang boleh dilakukan. Tentu, elite partai juga harus memberikan contoh atau teladan bagaimana berperilaku ideologis tersebut.
Partai juga perlu memelihara, mendorong, dan mendukung kader ideologis. Bahkan dibutuhkan para ideolog partai untuk dijadikan ikon propaganda guna menunjang fungsi partai sebagai sarana sosialisasi politik. Keterpilihan Joko Widodo (Jokowi) sebagai gubernur DKI Jakarta menunjukkan bahwa mengedepankan kader ideologis semakin menjadi aspek pertimbangan masyarakat untuk memilih.
Kedua, perlu regulasi agar ruang gerak pindah partai semakin terkurangi. Perlu diatur dalam undang-undang bahwa syarat calon anggota legislatif yang diusung partai dalam pemilu tidak hanya berupa ”menjadi anggota partai politik” yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota (KTA), namun calon haruslah seorang kader. Definisi kader tentu anggota partai yang sudah melalui proses tempaan waktu, saringan ideologis dan mengikuti berbagai pelatihan kader. Wallahu a’lam. (thontowi.jauhari@gmail.com)

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya