SOLOPOS.COM - Abdul Manap Pulungan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (16/10/2015), ditulis Abdul Manap Pulungan. Penulis adalah peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

Solopos.com, SOLO — Sepanjang Oktober 2015 rupiah menguat lebih dari Rp1.000 per US$ (dari rata-rata Rp14.700 menjadi Rp13.500 per US$). Ada yang menyebutkan itu merupakan dampak lanjutan (second round effects) dari paket kebijakan pemerintah tahap III.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Paket kebijakan kali ketiga ini beramunisi pemotongan harga bahan bakar minyak (BBM), yaitu solar. Pemerintah melengkapi pelurunya dengan relaksasi tarif listrik dan harga gas bagi industri. Kesekian aksi itu ”katanya” sedikit meredam kekhawatiran pelaku usaha.

Keputusan pemotong harga BBM sebetulnya telah lama dinantikan pelaku pasar. Dampaknya dapat menyentuh seluruh perekonomian. Bagi dunia usaha, meski dalam angka yang kecil, koreksi harga BBM akan menurunkan biaya produksi.

Mereka dapat meningkatkan kapasitas produksi. Sementara itu, bagi konsumen, penurunan harga BBM dapat memperbaiki daya beli (melalui inflasi). Koreksi inflasi berlanjut pada penurunan BI rate serta suku bunga perbankan.

Harapan lebih jauh adalah mendorong realisasi kredit, yang sejak awal tahun hanya tumbuh di bawah 15%. Pemerintah memperoleh reward dari koreksi inflasi berupa penurunan suku bunga obligasi negara. Dari sekian banyak dampak positif yang dimunculkan, sayangnya pemerintah masih terkesan ragu-ragu memotong harga BBM.

Harga minyak dunia rata-rata telah di bawah US$50 per barel sehingga pemerintah sebetulnya bisa memotong harga lebih besar. Perlu diketahui bahwa dalam waktu yang relatif bersamaan, biro ekonomi Amerika Serikat merilis data ekonomi.

Hampir dipastikan seluruh data tersebut menunjukkan pesimisme. Publikasi Bureau of Labor Statistics (2015) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada September masih pada angka 5,1%, sama dengan Agustus 2015.

Sayangnya, angka partisipasi kerja memburuk menjadi 62,4%, turun dari 62,6% pada Juli dan Agustus. Ini bermakna terjadi penurunan keterlibatan penduduk usia kerja di dalam perekonomian.

Indikator sektor ketenagakerjaan lainnya yang menunjukkan perkembangan mengecewakan adalah payroll employment. Jumlah orang yang dibayar sebagai karyawan oleh perusahaan nonpertanian dan kantor pemerintah (payroll employment) pada September hanya meningkat 142.000 orang.

Jika dibanding pada September 2014, payroll employment mencapai 250.000 orang (turun 108.000 orang selama setahun terakhir). Problem lainnya, lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor pertambangan dan penggalian yang telah mencapai 30.000 tenaga kerja sejak Juli-September.

Bukan hanya itu, rilis inflasi AS juga cukup mengecewakan. Secara bulanan, pada Agustus 2015, AS mengalami deflasi 0,1% (m-o-m). Sedangkan secara tahunan, inflasi AS pada Agustus 2015 hanya 0,2% (yoy).

Komponen inflasi energi secara tahunan telah turun hingga 15% (yoy). Sedangkan komponen inflasi makanan dan komponen di luar makanan dan energi masing-masing naik dalam angka terbatas, yakni 1,6% (yoy) dan 1,8% (yoy).

Hal tersebut menyebabkan inflasi cenderung menurun karena koreksi komponen inflasi energi yang tidak mampu diimbangi kenaikan pada inflasi makanan dan komponen di luar makanan dan energi. Realisasi inflasi saat ini masih jauh dari target the Fed sebesar 2%. [Baca: Sentimen Pelaku Pasar]

 

Sentimen Pelaku Pasar
Tidak seperti Indonesia yang hanya memiliki satu tujuan (single objective) berupa stabilitas nilai tukar, Bank Sentral AS (The Fed) memiliki beberapa tujuan (multiple objective) yaitu stabilitas harga (price stability) dan persoalan penyerapan tenaga kerja maksimal (maximum employment).

Dengan situasi stabilitas harga dan penyerapan tenaga kerja yang belum maksimal maka kuat dugaan bank The Fed batal menaikkan suku bunga kebijakannya. Hal tersebut memicu investor melepas mata uang pemilik produk domestik bruto (PDB) terbesar itu.

Hal ini dikuti lonjakan permintaan berbagai jenis investasi (terutama portofolio) hampir di seluruh negara. Dapat dikatakan bahwa apresiasi bukan hanya milik mata uang Indonesia, tetapi memang terjadi hampir di seluruh dunia.

Mengikuti pola pikir di atas, dapat dikatakan penguatan rupiah bukan merupakan perbaikan faktor fundamental, tetapi lebih pada faktor sentimen pelaku pasar. Penguatan rupiah yang didorong oleh faktor fundamental dapat dilihat dari faktor permintaan dan penawaran (supply and demand) valas.

Sisi permintaan dimaknai oleh kebutuhan perekonomian terhadap valuta asing (valas), sedangkan sisi penawaran menunjukkan sumber-sumber valas. Antara keduanya masih menunjukkan ketidakseimbangan (unbalanced).

Sampai saat ini permintaan valas tidak menunjukkan penurunan berarti. Itu dapat ditelusuri dari lonjakan utang pemerintah dan swasta. Permintaan valas oleh sektor industri tidak serta-merta terkoreksi, meski muncul tiga paket kebijakan pemerintah.

Stimulus pemerintah ke sektor industri tidak menyasar ketersediaan bahan baku dan bahan penolong yang menjadi sumber utama permintaan valas industri. Peningkatan permintaan terhadap valas juga mulai beriak menjelang akhir tahun, untuk pelesiran orang-orang kaya.

Dari sisi penawaran tidak ada perkembangan yang menggembirakan dari sektor ekspor dan aliran modal. Ekspor masih tertekan cukup dalam dari tahun lalu karena pelemahan permintaan dari negara-negara tujuan dan koreksi harga komoditas.

Pada Agustus, ekspor turun 12,3% (yoy). Upaya menarik devisa hasil ekspor (DHE) juga belum langsung terlihat saat ini. Investasi langsung (foreign direct investment/FDI) tidak bergerak secepat dua tahun lalu.



Untuk menjaga agar penguatan rupiah tidak temporer maka pemerintah perlu menyelesaikan persoalan fundamental perekonomian. Dengan demikian, kita tidak perlu bergantung terhadap dana asing. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya