SOLOPOS.COM - Amin Wahyudi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (19/8/2015), ditulis Amin Wahyudi. Penulis adalah pengajar di Universitas Slamet Riyadi (Unisri Solo dan tinggal di Sragen.

Solopos.com, SOLO — Fenomena budaya politik yang berkembang di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya serta dalam hubungan antarkelompok dan golongan dalam masyarakat itu baik secara langsung maupun melalui berbagai media massa dan media sosial.

Seseorang yang memiliki budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan sikap individu tersebut terhadap sistem dan proses politik yang dilihat dan dialaminya serta yang diungkapkannya baik secara langsung maupun melalui media.

Budaya politik demokratis dan beretika adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi yang menopang terwujudnya partisipasi demokrasi yang etis (Siti Zuhro, 2010). Budaya politik yang beretika merupakan budaya politik yang partisipatif, yang menurut Almond dan Verba disebut sebagai civic culture.

Proses perubahan budaya dalam segala hal, termasuk dalam perubahan budaya politik, berhubungan dengan etika politik yang berkembang. Jika politik yang sedang berkembang tidak berlandaskan etika poltik yang baik, jelas berimplikasi terhadap lahirnya perubahan budaya yang  tidak ”beradab“ sehingga harapan perubahan budaya yang kondusif dan produktif  hanya akan menjadi harapan dan impian.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan berlangsung serentak pada 9 Desember 2015, hendaknya dijadikan sebagai wahana pendidikan politik bagi masyarakat, agar masyarakat lebih memiliki kedewasaan berpolitik serta tata krama politik yang lebih sesuai dengan karakter bangsa dan masyarakat kita yang santun.

Hal ini harus dilakukan oleh semua pihak, baik unsur organisasi kemasyarakatan, partai politik, pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah, tokoh intelektual, tokoh masyarakat, dan unsur birokrasi pemerintahan di semua tingkatan.

Dalam pendapatnya yang lain Siti Zuhro menyatakan ditemukan ada korelasi positif antara demokrasi lokal dengan level budaya politik. Ada atau tidaknya demokrasi lokal tergantung pada budaya politik yang mampu mendorong realisasinya.

Demokrasi nasional dalam masyarakat Indonesia yang majemuk salah satunya ditopang demokrasi lokal dan interaksi antarlokal. Dengan demikian upaya demokratisasi di Indonesia dimulai dari bawah karena demokrasi lokal merupakan penopang demokrasi nasional.

Untuk itu perlu dibangun demokrasi lokal yang etis serta mampu memberikan pendidikan politik yang cerdas bagi masyarakat lokal tersebut. Berdasar analisis tersebut saya bermaksud menanggapi esai Edi Maszudi di Harian Solopos edisi Selasa Wage 18 Agustus 2014.

Esai tersebut, dalam pembacaan saya, memunculkan kesan berpihak kepada salah satu calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang berlaga dalam pilkada di Sragen karena tidak menilai secara berimbang seluruh kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pilkada di Sragen.

Esai tersebut menilai kandidat kepala daerah Sragen yang berstatus  petahana, Agus Fatchur Rahman, hanya dari sisi kelemahan dan kekuarangannya tanpa menyebutkan keberhasilan yang juga sudah dicapainya. Penulis esai itu menyebutkan pasangan kandidat bupati dan wakil bupati Sragten Kusdinar Untung Yuni Sukowati-Dedy Endriyatno melambangkan bangkitnya kekuatan dinasti politik.

Penilaian bahwa pasangan Yunu-Dedy adalah buah dinasti politik yang ingin terus merebut kekuasaan adalah sesuatu yang cenderung mendiskreditkan hak politik seseorang yang dilindungi undang-undang serta apriori terhadap kelebihan Bupati Sragen Untung Wiyono (orang tua Kusdinar Untung Yuni Sukowati) yang juga memiliki prestasi.

Esai tersebut menjelaskan pasangan Agus Fatchur Rahman-Joko Suprato atau kubu petahana belum kenyang berkuasa. Ini adalah ungkapan yang cenderung menghakimi hak politik seseorang. Penyebutan pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Sugiyamto-Joko Saptono tidak mempunyai visi dan misi yang jelas dan terukur   adalah suatu penilaian yang terlalu prematur.

Visi misi tersebut belum disampaikan secara resmi dalam suatu forum yang kompeten untuk menilai hal tersebut. Ketika menilai pasangan kandidat bupati dan kandidat wakil bupati Jaka Sumanta-Surojogo tanpa diikuti penilaian negatif—sebagaimana dikemukakan pada pasangan lainnya–tentu menimbulkan suatu pertanyaan besar terhadap Edi Maszudi selaku penulis artikel tersebut: apa motivasinya?

Pertanyaan lainnya adalah ke mana arah pemikiran dalam tulisan tersebut? Opini apa yang hendak dibangun? Sebagai seorang intelektual tentu akan lebih baik jika ikut serta memberikan pendidikan politik kepada masyarakat lokal (Sragen) tanpa harus mendiskreditkan para kontestan pilkada serta mencederai hak-hak politik orang lain untuk menopang terbangunnya budaya politik dan demokrasi nasional yang sehat dan beretika. [Baca: Masyarakat Cukup Cerdas]

 

Masyarakat Cukup Cerdas
Masyarakat kita saat ini cukup cerdas untuk menilai berbagi keadaan,  lingkungan, termasuk untuk menilai para konstestan yang berkompetisi di pilkada.

Kecerdasan itulah yang harus kita dorong dan kita tingkatkan kualitasnya agar suasana demokrasi kita adalah demokrasi yang sehat dan teduh serta tidak akan menimbulkan friksi di masyarkat, tidak akan memunculkan kebencian di antara para kontestan pilkada.

Dahl dalam Nurwahid (2006) berpendapat konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi.

Ia melandaskan pentingnya etika politik dengan asumsi a semua sistem politik, termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut.

Implikasinya proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah.

Dengan kata lain, etika politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan (Soedijarto, 2013)



Etika politik mengandung misi kepada siapa saja untuk bersikap jujur, amanah, sportif, objektif dalam menilai dinamika dan proses demokrasi. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap, pemikiran, tulisan yang bertata krama dalam perilaku politik yang toteran, jauh dari sikap mendiskreditkan dan pembunuhan karekter orang lain.

Etika politik juga mengandung pesan tidak melakukan kebohongan di hadapan publik, tidak manipulatif, dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan manifestasi politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Semoga masyarakat Sragen semakin cerdas dalam melihat dan memerhatika fenomena dan dinamika politik menjelang pilkada serentak pada 9 Desember yang akan datang sehingga akan terwujud kondisi Sragen yang guyup, rukun, aman, jujur, dan demokratis untuk menuju Kabupaten Sragen yang lebih baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya