SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (15/9/2017). Esai ini karya Ayu Prawitasari, jurnalis Solopos. Alamat e-mail penulis adalah ayu.prawitasari@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO–Belum genap setahun saya ditugaskan mengelola Halaman Humaniora di Harian Solopos, tepatnya sejak Oktober 2016 lalu. Sebagai ”orang baru” saya harus belajar banyak isu-isu dunia pendidikan yang mendominasi halaman ini.

Promosi Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia

Sangkaan saya bahwa Halaman Humaniora ”lebih tenang” dibandingkan halaman lain yang membahas masalah ekonomi, politik, maupun olahraga, ternyata salah besar. Dunia pendidikan ternyata berwarna. Ada enam kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mengundang reaksi keras masyarakat sejak Oktober lalu, baik pro maupun kontra.

Enam kebijakan tersebut adalah moratorium ujian nasional; aturan membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai; perubahan struktur komite sekolah; program lima hari sekolah; wacana penghapusan pelajaran agama di kelas, dan dua versi rapor untuk pendidikan dasar hingga menengah.

Saya mencoba mencari benang merah dari semuanya. Mengapa pemerintah secara radikal membuat berbagai kebijakan yang pengaruhnya signifikan dalam waktu tak sampai setahun? Apa latar belakangnya? Bagaimana menjalankannya? Apa tujuannya?

Saya mengidentifikasi berbagai sebab yang dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—Anies Baswedan yang kemudian diganti Muhadjir Effendy–saat meluncurkan program-program itu. Latar belakang moratorium ujian nasional disebabkan tingginya kecurangan, mulai dari soal yang bocor hingga guru yang menjual kunci jawaban.

Aturan membaca 15 menit sesuai Permendikbud No. 23/2015 tentang Budi Pekerti digalakkan ketika Most Litered Nation in The World merilis hasil survei pada 2016 lalu. Berdasarkan hasil survei itu, tradisi membaca warga Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara yang diteliti.

Kebijakan perubahan struktur komite sekolah muncul karena anggapan masyarakat bahwa komite sekadar tukang stempel. Pungutan liar di sekolah serta jual beli buku maupun seragam yang memberatkan orang tua kerap terjadi.

Melalui Permendikbud No. 75/2016 tentang Komite Sekolah, pemerintah melarang guru, anggota DPRD, maupun orang tua yang anaknya tidak lagi bersekolah di sekolah itu menjadi pengurus.

Selanjutnya adalah: Program lima hari sekolah yang paling kontroversial…

Kontroversial

Program lima hari sekolah yang paling kontroversial. Kali pertama diluncurkan, belajar delapan jam sehari di sekolah bertujuan mengurangi dampak negatif lingkungan luar sekolah terhadap anak didik.

Seiring bermunculannya sikap kontra di tengah masyarakat, Menteri Muhadjir Effendy mengatakan siswa dan guru bisa belajar di luar sekolah, misalnya di tempat ibadah, sanggar kesenian, di antara waktu delapan jam tersebut.

Muhadjir kemudian menjelaskan tujuan utama program lima hari sekolah sebenarnya bukan untuk siswa, melainkan untuk guru-guru yang kesulitan memenuhi syarat mendapatkan tunjangan profesi. Ganjalan tersebut terutama berkaitan dengan jam mengajar guru yang kurang.

Sulit untuk tidak menilai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memang parsial. Muncul kesan kuat berdasarkan pembacaan saya atas berita-berita di media massa bahwa pola kebijakan pendidikan saat ini mirip dengan teori Piaget tentang stimulus dan respons. Begitu ada pemantik, pemerintah langsung bereaksi.

Untuk siapakah sebenarnya pendidikan diselenggarakan? Untuk guru atau untuk murid? Apa sejatinya substansi pendidikan itu? Indonesia lahir dari keberagaman yang tersimbol lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Karakter masyarakat kita yang guyub merupakan metafora upaya saling menghargai keselarasan dalam perbedaan, bukan justru menyeragamkannya.

Durkheim (dalam karya Nanang Martono berjudul Sekolah Publik Vs Sekolah Privat dalam Wacana Kekuasaan Demokrasi dan Liberalisasi Pendidikan, terbitan Yayasan Obor Indonesia, 2017) menjelaskan fungsi pendidikan adalah mempersiapkan individu untuk menduduki peran sosial tertentu di masyarakat.

Konteks masa kini adalah generasi muda yang mampu eksis di tengah masyarakat global dengan tetap mempertahankan tradisi, menjaga integritas, dan menguatkan solidaritas. Bagaimana mungkin bisa muncul konsep pendidikan yang mengacu kepentingan guru?

Gagasan tentang melahirkan manusia utama yang mampu menyokong kehidupan bernegara secara damai dan adil merupakan latar belakang lahirnya sistem pendidikan sejak era praindustri hingga posmodern. Menjadi sangat kontraproduktif apabila pendidikan untuk manusia ini kemudian diseragamkan sehingga mengabaikan karakter dan kebutuhan khas mereka sebagai individu istimewa.

Selanjutnya adalah: Lingkungan perdesaan yang masih menganut sistem…

Lingkungan perdesaan

Lingkungan perdesaan yang masih menganut sistem extended family sangat memercayai keluarga besar dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Kebutuhan warga di perdesaan jelas berbeda dengan warga di perkotaan yang terpusat pada keluarga inti dan lembaga-lembaga pendidikan sebagai dampak hilangnya peran keluarga besar dalam kehidupan industri.

Menyeragamkan penerapakan lima hari sekolah tentu sangat kontraproduktif karena tidak sesuai dengan kebutuhan warga di perdesaan atau wilayah tertentu. Dengan menjadikan manusia, khususnya generasi muda, sebagai subjek pendidikan, yang paling kita butuhkan saat ini sebenarnya pemerataan akses dan fasilitas pendidikan, bukan penyeragaman.

Meski nilai integritas ujian nasional naik di semua wilayah pada tahun ini (berdasarkan data di website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), namun pencapaian nilai ujian nasional yang turun, terutama di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan,  harus segera diperbaiki.



Cetak biru pendidikan sebagai dasar pembangunan wajib dipublikasikan kepada masyarakat agar semua tahu akan dibentuk seperti apa dan dibawa ke mana pendidikan Indonesia. Perombakan struktur komite sekolah, misalnya, apakah memang untuk memperbaiki manajemen sekolah yang seperti supermaket (menjual berbagai macam barang) atau demi tujuan lain?

Apabila ada persoalan besar dalam dunia pengajaran, khususnya guru, yang minim kreativitas lantaran begitu dimanja buku paket dan lembar kerja siswa serta sibuk berbisnis, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya tak melahirkan program lima hari sekolah.

Jalankan saja secara konsisten program sertifikasi berikut evaluasinya. Tak perlu ragu mencoret guru yang tak layak karena Indonesia butuh penafsir nilai yang kompeten pada era global ini.

Ihwal program pengiriman gratis buku setiap tanggal 17 setiap bulan di semua daerah hingga gerakan guru dan seniman mengajar di daerah terluar, apakah memang benar untuk pemerataan pengajaran atau yang lainnya? Saya hanya bisa menduga ada kaitan antara program yang satu dengan lainnya tanpa bisa mengambil kesimpulan secara tepat.

Selanjutnya adalah: Dengan program pendidikan yang matang…

Program yang matang

Dengan program pendidikan yang matang (tidak parsial), kita berharap lahir generasi muda yang cerdas secara kognitif serta berintegritas tinggi. Apabila tujuan itu tercapai, kita  bisa optimistis mampu eksis dalam program sustainable development goals/pembangunan berkelanjutan pada 2030 mendatang dengan tetap mempertahankan karakter keindonesiaan.

Tak perlu khawatir Indonesia akan hilang dari peradaban bila pemerintah konsisten memeratakan akses pendidikan, melaksanakan pendidikan karakter, serta mengawasi pelaksanaan regulasi tentang budi pekerti, khususnya tradisi literasi.

Verba volant, scripta manent, kata-kata akan hilang, yang tertulis akan tetap tertinggal. Masyarakat dengan tradisi lisan memang selalu dibayangi ancaman kepunahan. Apakah ini juga masuk dalam cetak biru pendidikan kita?

Saya berharap segera ada publikasi cetak biru pendidikan alih-alih peluncuran kebijakan kontroversial lainnya. Pemikiran solutif dan terpadu sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia yang oleh Political and Economic Risk Consultacy pada 2001 lalu disebut yang terburuk se-Asia dari 12 negara yang disurvei (Reformasi Pendidikan, Sebuah Rekomendasi; Paul Suparno, R. Rohandi, G. Sukadi, dan St. Kartono; Penerbit Kanisius).

Saya setuju perlunya revolusi pendidikan seperti halnya revolusi mental untuk mengobati “kanker” di dunia pendidikan yang telanjur menyebar ke mana-mana. Tentu dengan catatan ada basis riset yang kuat dalam cetak biru pendidikan sebagai papan penunjuk arah, bukan atas dasar kepanikan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya