SOLOPOS.COM - Hajriyanto Y. Thohari hajriyanto@yahoo.com Wakil Ketua MPR

 

Hajriyanto Y. Thohari hajriyanto@yahoo.com Wakil Ketua MPR

Hajriyanto Y. Thohari
hajriyanto@yahoo.com
Wakil Ketua MPR

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Selama ini empat pilar negara, khususnya dasar negara Pancasila, selalu dikutip dalam konsideran setiap undang-undang (UU) yang dibuat DPR bersama-sama dengan pemerintah/presiden.

Tetapi, pengutipan itu sifatnya hanya formalitas belaka. Nilai-nilai Pancasila tidak benar-benar menjiwai dan menjadi napas pasal-pasal dan ayat-ayat dalam undang-undang tersebut.

Walhasil, secara formal disebut dalam setiap UU, tetapi secara substansial tidak menjiwai. Tak mengherankan jika ada kesenjangan yang sangat lebar antara nilai-nilai Pancasila dan kenyataan, antara das solen dan das sein, atau dengan kata lain antara Pancasila dan praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lihat saja fakta ini: Pancasila mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan, kolektivisme, musyawarah, mufakat, dan gotong royong, tetapi kehidupan politik dan ekonomi kita sangat individualistik, liberal atau bahkan neoliberal, ekonomi pasar bebas, persaingan, dan antikekeluargaan atau gotong royong.

Ekspedisi Mudik 2024

Dalam politik ada fenomena liberalisme yang mementingkan voting atau suara terbanyak, juga fenomena politik plutokrasi dimana yang dihargai adalah tokoh-tokoh yang berkemampuan logistik tinggi [punya uang banyak].

Prinsip musyawarah mufakat cuma ada dalam pidato dan indah dipidatokan, tetapi kehidupan politik senyatanya sangat liberal, mengutamakan suara terbanyak, dan kompetisi yang terlalu terbuka bahkan vulgar.

Sementara dalam kehidupan ekonomi, sistem pasar bebas dan kompetisi saling mematikan yang terjadi dan berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Usaha ekonomi yang besar dan asing membunuh usaha kecil.

Ini sungguh jauh dari prinsip-prinsip ekonomi kekeluargaan/gotong royong yang dicita-citakan Pancasila. Pertumbuhan ekonomi dikejar, tapi pemerataan diabaikan. Tak mengherankan jika kesenjangan ekonomi makin lebar.

Rasio Gini Indonesia sudah mencapai 0,41%. Ini lampu merah bagi pemerataan dan keadilan! Angka pertumbuhan ekonomi memang tinggi, termasuk salah satu tertinggi di dunia, tetapi siapa pelaku pertumbuhan dan bagaimana distribusinya menjadi pertanyaan besar.

Walhasil ada masalah dalam hal kualitas pertumbuhan (the quality of growth) itu. Fenomena ini tentu mencederai Pancasila, mengabaikan empat pilar dalam kehdupan berbangsa dan bernegara.

Bagaimana mengatasi hal ini? Pertama, Indonesia harus meluruskan kiblat nasionalnya. Di bidang politik kita perlu melakukan pribumisasi demokrasi: kita perlu demokrasi yang sejalan dan kompatibel dengan watak bangsa.

Demokrasi memang suatu keharusan, bahkan suatu keniscayaan. Tetapi, bukan demokrasi liberal yang plutokratis serta melahirkan politik berbiaya tinggi seperti yang terjadi saat ini.

Kita perlu demokrasi yang paralel dengan budaya Nusantara yang menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, kekeluargaan, dan kearifan lokal lainnya.

Sistem pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden serta pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dan berdasarkan suara terbanyak sungguh sangat besar ekses negatifnya.

Para kandidat dalam ketiga jenis pemilu itu tidak jarang berubah bentuk menjadi pemburu kekuasaan yang sangat individualistis dan egoistis.

Semangat kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah hilang terbawa angin (gone wit the wind). Para kandidat cenderung mengerahkan segala daya upaya dan menghalalkan segala cara, bahkan kalau perlu mengorbankan semua harta milik keluarga demi ambisi terhadap kekuasaan itu.

Para kandidat tidak jarang melacurkan diri kepada para tauke penyandang dana atau bandar untuk memenuhi kebutuhan memenangkan pertarungan politik langsung yang berbiaya tinggi (high political cost) itu.

 

Terlalu Personal

Akibatnya, ketika akhirnya menang dalam pemilu dan berkuasa di bidangnya, mereka tidak independen lagi. Mereka harus membalas budi, membayar utang, dan korupsi.

Sementara, sebagian masyarakat juga bersikap setali tiga uang saja. Momentum pemilu digunakan untuk meminta sumbangan ini dan itu kepada para calon anggota legislatif atau kandidat pemimpin.

Para caleg dan kandidat bupati atau kandidat gubernur diminta menyumbang satu set kursi inventaris rukun tetangga (RT), 50  atau 100 sak semen untuk pengerasan jalan dusun, lampu merkuri untuk penerangan jalan desa, keramik untuk lantai masjid atau gereja, menyumbang uang pembangunan gapura dusun, balai desa, dan hal-hal lainnya.

Caleg dan kandidat pemimpin yang tidak mampu menyumbang dicemooh sebagai caleg bermodal dengkul atau bahkan tidak bermodal. ”Mau terpilih menjadi kepala desa saja memberikan amplop, masak mau menjadi bupati atau anggota legislatif tidak mau keluar apa-apa”, demikian kata mereka.

Walhasil, pemilu dan pilkada secara langsung dengan sistem mayoritas seperti yang kita terapkan sekarang ini tidak sesuai dan tidak sejalan dengan watak bangsa.

Sistem pemilu yang terlalu personal seperti ini niscaya tidak paralel dengan watak bangsa yang cenderung impersonal. Sistem pemilu harus dikembalikan seperti yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 22E ayat (3), bahwa peserta pemilu legislatif adalah partai politik, bukan caleg.

Partai politik pasti impersonal, sementara caleg adalah personal. Presiden dan wakil residen, gubernur, dan bupati/walikota jauh lebih sesuai dengan prinsip musyawarah manakala dipilih oleh MPR dan DPRD.

Di dalam sidang MPR dan DPRD prinsip-prinsip musyawarah lebih mudah diimplementasikan daripada di medan persaingan pemilu yang sifatnya sangat masif.

Kedua, dalam bidang ekonomi kita harus melakukan pribumisasi ekonomi pasar bebas yang liberal itu. Kita perlu meluruskan kiblat ekonomi nasional yang sangat liberalistis dan kapitalistis ini.

Perlu gerakan ekonomi Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong. Ekonomi yang lebih menjamin pemerataan dan keadilan.

Perlu pengarusutamaan ekonomi yang mempunyai basis kerakyatan yang menyantuni usaha kecil dan menengah. Ekonomi yang tidak melahirkan kesenjangan yang sangat lebar ini.

Indonesia yang berdasarkan Pancasila harus mempunyai kiat yang canggih menghadapi serbuan perusahaan dan bisnis multinasional (multinational corporation) ketika nyatanya mematikan usaha-usaha kecil pribumi.



Perbankan juga harus di-Pancasila-kan ketika faktanya orang-orang kecil dengan usaha kecil tidak juga kunjung bisa mengakses modal perbankan.

Usaha-usaha besar dan raksasa setiap hari ditawari kredit serta dijejali dana usaha atau permodalan, tetapi usaha kecil hanya bisa ternganga memandang penuh keheranan dari kejauhan.

Hanya lembaga-lembaga keuangan mikro yang volumenya sangat kecl dan terbatas kemampuannya yang selama ini menyantuni para pelaku usaha kecil.

Di luar itu adalah bank-bank thithil yang rentennya tidak ketulungan besarnya yang selama ini dijadikan sebagai sumber permodalan oleh rakyat kecil.

Gerakan sosialisasi Pancasila dalam gerakan sosialisasi empat pilar perlu diterjemahkan dan dielaborasi secara teknis operasional.

Gerakan empat pilar harus diletakkan dalam konteks bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila diamalkan atau diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kita perlu empat pilar dalam aksi dan implementasi. Bukan empat pilar dalam kata-kata verbal belaka.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya