SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (6/12/2017). Esai ini karya Lukmono Suryo Nagoro, editor buku yang tinggal di Kota Solo. Alamat e-mail penulis adalah lukmono.sn@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Dari manakah asal elite politik Indonesia pascareformasi ini? Sejak awal masa reformasi elite politik tidak hanya kaum birokrat dan tentara sebagaimana pada masa Orde Baru. Pada masa reformasi muncul new class yang sebelumnya kurang diperhitungkan, yaitu pengusaha.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Membahas asal elite politik pada masa sekarang akan sampai pada pemahaman kelompok pengusaha lebih mendominasi jika dibandingkan kelompok birokrat dan tentara. Presiden dan wakil presiden sekarang dijabat pengusaha, ketua DPR berlatar pengusaha, ketua MPR berlatar pengusaha, dan ketua DPD juga pengusaha.

Berdasarkan kenyataan tersebut tidaklah salah ada pandangan kritis bahwa demokrasi Indonesia dikuasai oleh oligarki. Ciri utama oligarki adalah berkuasa melalui kekuatan uang. Hanya politikus yang berduit yang dapat memperoleh kekuasaan. Rakyat yang tanpa uang cukup ada di pinggiran saja.

Alat kekuatan utama dalam sistem yang oligarki adalah kekayaan. Salah satu oligark–sebutan bagi mereka yang mengendalikan dan mengakumulasi kekayaan paling banyak–di Indonesia adalah Setyo Novanto yang saat ini menjadi tersangka karena kasus korupsi dana pengadaan kartu tanda penduduk elektronik.

Para politikus yang menjabat sekarang tidak malu-malu lagi bicara soal mahar dalam kontestasi politik dengan nilai mencapai miliaran rupiah. Itu untuk menjadi kepala daerah maupun ketua partai politik dan jabatan politik lainnya. Semuanya membutuhkan uang.

Tidaklah mengherankan para kepala daerah dan ketua partai politik akan berusaha mendapatkan uang mereka kembali dengan mengeksploitasi semua potensi yang melekat pada jabatan tersebut.    Sistem demokrasi dan oligarki bisa berjalan seiring sepanjang oligark itu mampu membeli suara masyarakat.

Selanjutnya adalah: Terpilih lewat demokrasi elektoral

Elektoral

Sebagaimana para politikus lainnya, Setya Novanto terpilih lewat demokrasi elektoral. Artinya Setya Novanto itu mewakili sekian juta orang Indonesia di daerah pemilihan dia. Tidaklah salah ada pendapat yang menyatakan demokrasi elektoral itu bermasalah karena menghasilkan elite yang oligarkis, namun saya berpikir sebaliknya.

Sebagai sebuah sistem, demokrasi itu tidaklah bermasalah. Demokrasi merupakan sistem yang menekankan individu memiliki kedaulatan menentukan nasibnya sendiri.  Frasa ”menentukan nasibnya sendiri” inilah yang bermasalah. Tidak semua politikus berpikir keamanan masa depan mereka.

Politikus juga manusia biasa. Pandangan politik mereka diwarnai pandangan politik jangka pendek juga. Situasi seperti ini banyak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia yang tergiur diskon barang murah kemudian membeli dan tidak peduli situasi di rumah apakah beras dan susu untuk anak masih tersedia atau tidak.

Frasa dan situasi inilah yang dibaca secara cerdas oleh para politikus dengan mengubah sistem politik yang demokratis menjadi oligarki. Perubahan demokratis menjadi oligarki karena adanya problem ketimpangan di masyarakat. Ketimpangan itu bisa berupa kekayaan, pendapatan, bahkan kekuasaan.

Ketimpangan pendapatan dan kekayaan inilah yang menjadi pintu masuk bagi para oligark. Kaum oligark tidak hanya memiliki gurita bisnis, dengan uang mereka bisa membeli jaringan, kekuasaan, dan bahkan lembaga polling atau jajak pendapat. Kedudukan lembaga polling dalam oligarki adalah sarana mengakses informasi seluas-luasnya kepada siapa saja oligark menyalurkan uang secara efektif kepada politikus yang bisa membantu dia.

Selanjutnya adalah: Oligark menjadi penyokong para politikus

Oligark

Artinya, oligark menjadi penyokong para politikus yang terpilih dalam demokrasi elektoral. Bagaimana di masyarakat? Masyarakat mungkin sudah menyadari ”rezeki” (baca: kekayaan) individu sudah ada yang mengaturnya, namun dalam perebutan kekuasaan yang disadari masyarakat adalah individu dengan uang terbanyak yang akan dipilih di bilik suara. Situasi ini juga disadari para oligark.

Di bidang ekonomi, ketimpangan yang sangat besar akan merendahkan permintaan sehingga berpengaruh pada terbatasnya pertumbuhan ekonomi. Asumsi ini dipakai para oligark untuk menumbuhkan kehendak masyarakat agar mau datang mencoblos surat suara di bilik suara dengan menawarkan iming-iming, janji-janji, dan pada saat yang sama juga menggelontorkan uang sampai tingkat paling bawah.

Setya Novanto adalah adalah oligark sekaligus politikus. Daerah pemilihan dia adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Setya Novanto tahu persis bahwa masyarakat miskin bukanlah manusia yang dapat berpikir panjang.

Masyarakat miskin ketika diberi sejumlah bonus oleh para politikus sebagai hadiah mencoblos surat suara di bilik suara tidak akan berpikir bahwa yang mereka pilih akan semakin tambah kaya, sedangkan dirinya tetap miskin dan/atau bisa jadi tambah miskin.

Pada saat ini Setya Novanto sedang bermasalah dengan kasus korupsi dana proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik. Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan dia sebagai tersangka. Kedudukan dia sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya dan Ketua DPR rawan digantikan.

Selanjutnya adalah: Diganti atau bahkan masuk penjara



Penjara

Kalau Setya Novanto sudah diganti atau bahkan masuk penjara karena harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, apakah praktik oligarki akan berhenti? Sama sekali tidak. Kekuatan utama oligarki adalah uang.  Dengan uang, Setya Novanto tidak perlu lagi repot-repot menjadi wakil rakyat yang memikirkan urusan perut rakyat.

Cukuplah ia menjadi oligark dengan membeli para politikus yang akan meneruskan kepentingannya. Tentu saja ini sangat ironis karena para politikus tersebut mengabdi kepada oligark dan menggunakan kemiskinan sebagai slogan perjuangan mereka. Untuk mengurangi dampak negatif oligarki dalam demokrasi, masyarakat membutuhkan sedikit kecerdasan, tidak perlu kecerdasan yang ”tinggi-tinggi sekali”.

Cukuplah ada fakta yang menunjukkan bahwa uang yang mereka terima pada saat pemilihan, Rp100.000 misalmnya, merupakan awal kehilangan Rp100 juta dalam bentuk jalan yang mulus, pendidikan murah dan bermutu, serta pelayanan kesehatan gratis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya