SOLOPOS.COM - Michel A. Rako (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (19/2/2016), ditulis Michel A. Rako. Penulis adalah advokat di Michel Rako Law Office dan Co-Chairman Commercial Law Commission International Chamber of Commerce (ICC)Indonesia.

Solopos.com, SOLO — Di era Masyarat Ekonomi ASEAN (MEA) lalu lintas perdagangan barang dan jasa antarpelaku usaha dari negara ASEAN—terutama di Indonesia yang memiliki pasar terbesar di MEA—menjadi lebih berkembang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Arus transaksi perdagangan yang selama ini belum sepenuhnya terhubung antarnegara ASEAN menjadi lebih terbuka dan kompetitif sehingga potensi terjadinya sengketa bisnis (commercial disputes) semakin besar.

Penting bagi pelaku usaha untuk lebih memerhatikan dengan cermat pengaturan atau klausul penyelesaian sengketa (choice of forum) dalam perjanjian/kontrak bisnis yang dibuat.

Iklim usaha yang semakin kompetitif dan dinamis tentu mendorong pelaku usaha memilih forum penyelesaian sengketa yang memiliki aksesibilitas tinggi (baik dari waktu maupun kemudahan proses penyelesaian), kredibilitas tinggi, dan mampu menciptakan penyelesaian yang transparan.

Menghadapi tantangan akibat berlakunya MEA tersebut, Indonesia selama  ini sudah ”dipersenjatai” dengan dua institusi yang menyelesaikan sengketa bisnis, yaitu pengadilan dan arbitrase yang khusus mengadili sengketa perdagangan.

Apabila melihat perkembangan terkini dari urgensi penyelesaian sengketa bisnis yang cepat dan kredibel maka forum arbitrase memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pengadilan konvensional.

Forum arbitrase mampu menciptakan iklim penyelesaian sengketa yang lebih cepat karena putusan (arbitration award) bersifat final and binding sehingga tidak ada proses banding atau kasasi seperti di pengadilan; persidangan dilakukan dalam ruangan tertutup (closed door) yang hanya boleh dihadiri pihak yang bersengketa sehingga kerahasiaan (confidentiality) tetap terjaga; arbiter dapat ditunjuk oleh pihak sesuai dengan keahliannya dan kualifikasi dari arbiter tidak hanya tertutup pada profesi hukum semata.

Pelaku usaha dapat menentukan institusi arbitrase, di antaranya International Chamber of Commerce (ICC), Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Singapore International Arbitration Centre (SIAC), atau Kuala Lumpur Regional Center for Arbitration (KLRCA). Masing-masing memilki rules dengan kelebihan dan kekurangan tersendiri.

Fleksibilitas arbitrase juga terletak pada pemilihan venue of arbitration, menentukan tempat dilangsungkannya persidangan apakah di Jakarta, Singapura, atau Kuala Lumpur; dan juga language of arbitration yang akan dipakai.

Dalam menghadapi MEA tentunya kemampuan berbahasa Inggris adalah mutlak sehingga mencipatkan iklim survival of the fittest bagi advokat yang tidak menguasai bahasa Inggris.

Dengan beberapa keunggulan tersebut maka pelaku usaha cenderung memilih arbitrase dibanding pengadilan, apalagi melihat rekam jejak pengadilan yang rentan dengan praktik mafia peradilan (judicial mafia), pemerasan dan proses yang berlarut-larut sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Sering kali kita membaca kasus yang mencoreng citra pengadilan seperti baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Mahkamah Agung yang diduga menerima suap dari pengusaha terpidana kasus korupsi melalui pengacaranya.

Fakta itu membenarkan laporan Transparency International (TI) tentang Corruption Perception Index 2015 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-88 dengan skor 36 (0 menunjukkan sangat korup dan 100 sangat bersih).

Meskipun forum arbitrase memiliki keunggulan dan keunikan tersendiri dibanding dengan pengadilan konvensional, namum dalam pelaksanaanya yang sering menjadi keluhan adalah mahalnya costs of arbitration, apalagi jika dipilih international arbitration dengan venue of arbitration di luar negeri.

Pihak yang bersengketa dibebani biaya arbiter/tribunals fee, biaya administrasi (institusi, ruangan, dan lain-lain), biaya ahli, dan belum termasuk honorarium advokat yang terpisah dari costs of arbitration. [Baca selanjutnya: Eksekusi Putusan]Eksekusi Putusan

Dalam praktiknya tingkat kompleksitas dari bisnis yang dijalankan turut berpengaruh pada pemilihan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa, misalnya pembangunan geotermal, pembangkit listrik, eksplorasi minyak dan gas, dan bisnis lainnya yang rumit dengan skema pembiayaan yang besar cenderung memilih forum arbitrase. Jika bisnis yang dilakukan adalah keagenan, distribusi, atau waralaba lebih cenderung memilih pengadilan.

Kendala lainnya adalah pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase harus melalui pengadilan karena putusan arbitrase tersebut dianggap baru mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh perintah dari Pengadilan Negeri.

Masalah lain adalah pihak yang dikalahkan dapat mengajukan perlawanan atau upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase dengan alasan tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Arbitrase.

Hal ini dapat menjadi celah guna mengulur waktu untuk menunda eksekusi putusan arbitrase. Sehingga muncul istilah ”menang di kertas” karena begitu sulitnya melakukan eksekusi putusan arbitrase.

Untuk menghindari hal-hal tersebut, penting bagi pemerintah untuk lebih memerhatikan dan mempromosikan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang sesuai dengan tuntutan MEA dan menciptakan kepastian hukum (legal certainty) demi terciptanya iklim investasi yang kondusif.

Selain itu, upaya penyelesaian melalui musyawarah mufakat dalam menyikapi sengketa bisnis perlu lebih digalakkan dan peran advokat sangat penting dalam menghindari terjadinya sengketa dengan mengarahkan musyawarah mufakat untuk mencapai win win solution. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya