SOLOPOS.COM - Susatyo Yuwono, Dosen Fak Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Susatyo Yuwono, Dosen Fak Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Beberapa hari terakhir masyarakat negeri ini terperangah dengan salah satu gebrakan lembaga hukum tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Sayangnya bukan gebrakan yang menggembirakan, terperangah juga bukan karena senang bukan kepalang. Namun gebrakan yang membuat dahi berkerut dan kekecewaan yang luar biasa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Gebrakan itu adalah putusan atas pembatalan vonis mati atas salah satu kasus pabrik narkoba yang sebelumnya sudah divonis mati pada tingkat kasasi. Alasan yang disampaikan adalah hukuman mati melanggar hak asasi manusia, sehingga hukuman diubah menjadi 15 tahun penjara.

Seperti diketahui, majelis hakim Peninjauan Kembali [PK] yang diketuai Imron Anwari membebaskan hukuman mati atas putusan kasasi MA. Pada perkara pertama, terpidana Hillary K Chimezie, Imron memutus pemilik 5,8 kilogram heroin itu bebas dari hukuman mati dan mengubah hukumannya menjadi penjara 12 tahun. Putusan terhadap warga negara Nigeria ini dibuat pada 6 Oktober 2010.

Adapun kasus kedua, majelis PK yang diketuai Imron Anwari juga membebaskan pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan dari hukuman mati menjadi hukuman 15 tahun penjara pada 16 Agustus 2011 lalu. Alasannya hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM. [detikcom, Jumat (5/10/2012)]

Reaksi yang muncul sangat banyak dan sebagian besar menyatakan ketidaksetujuan atas putusan tersebut. Tulisan berikut mencoba menelaah nuansa psikologis di dalam kasus putusan ini, sehingga diharapkan dapat memunculkan sisi lain yang mampu menjadi pertimbangan dalam mengambil sikap.

 

Hak Asasi Manusia

Asumsi pelanggaran hak asasi manusia apabila hukuman mati diterapkan adalah asumsi yang sangat dangkal. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan hak asasi manusia sebagai hak yang dilindungi secara internasional (yaitu deklarasi PBB Declaration of Human Rights), seperti hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak untuk memiliki dan hak untuk mengeluarkan pendapat. Sesuai definisi tersebut maka hak asasi manusia sebenarnya mencakup keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku untuk seluruh umat manusia.

Tidak ada manusia yang tidak memiliki hak asasi, sehingga hak yang melekat pada seseorang sebenarnya tidak berlaku mutlak karena orang lain juga memiliki hak yang sama. Dengan demikian, hak hidup yang dimiliki seseorang tidak berarti ia bisa hidup dengan bebas hingga menghilangkan hak hidup orang lain. Hak yang dimiliki sangat erat kaitannya dengan kewajiban yang harus dia emban.

Demikian pula apabila terkait dengan narkoba, maka hak untuk hidup yang dimiliki orang lain menjadi hilang karena ia menyalahgunakan narkoba. Sebagaimana sudah disepakati banyak ahli, bahwa narkoba memiliki efek yang sangat buruk bagi kondisi fisik maupun psikis penggunanya. Pengguna akan mengalami efek menyenangkan untuk sesaat, yang cenderung bersifat halusinatif dan makin menambah parah kondisi berikutnya setelah efek menyenangkan tersebut hilang. Pengguna akan berusaha mengulangi lagi efek menyenangkan tersebut, dan terus menerus dilakukan hingga akhirnya menjadi pecandu.

Hal ini secara langsung sudah menurunkan kondisi psikologis pengguna yang cenderung kehilangan kepercayaan diri, kehilangan daya nalar dan semangat hidup yang sehat. Secara fisik, pengguna menjadi tidak merasakan lapar sehingga merasa tidak perlu makan. Akibat kemudian adalah kondisi fisik menjadi kurang asupan gizi, lemah dan mudah terserang penyakit.

Kondisi di atas menunjukkan pengaruh yang sangat buruk akan penyalahgunaan narkoba. Apabila mencermati data yang ada maka narkoba sudah menjangkiti tidak kurang dari 3,8 juta orang hingga tahun 2011 lalu. Fenomena gunung es yang berlaku dalam kasus narkoba berarti data riil yang ada di masyarakat bisa jauh lebih besar dari data ini mengingat tidak semua korban narkoba terdata.

Secara sosial, narkoba menyebabkan masyarakat menjadi resah. Hal ini karena perilaku para korban yang menyandu tidak jarang melanggar norma yang ada, misalnya melakukan pencurian atau kejahatan lainnya hanya untuk mendapatkan uang dalam upaya memperoleh narkoba. Banyak kasus korban melacurkan diri untuk mendapatkan narkoba, disamping beberapa kasus penganiayaan hingga pembunuhan terkait narkoba juga. Perputaran uang transaksi narkoba berdasarkan data BNN mencapai 55 triliun rupiah dalam setahun, jumlah yang membuat dahi kita makin berkerut mengingat kondisi perekonomian bangsa yang sebenarnya masih banyak yang belum sejahtera.

 

Dinamika Psikologis Masyarakat

Pembatalan vonis mati bagi produsen narkoba menjadi kontraproduktif bagi upaya pemerintah dalam memberantas narkoba. Kampanye yang dilakukan, pembentukan BNN sebagai lembaga koordinatif, dan operasi yang dilakukan oleh kepolisian menjadi tidak ada artinya ketika para produsen tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal.

Hak asasi seperti apa yang dilanggar apabila kita menghukum mati produsen narkoba? Coba bandingkan dengan hilangnya hak asasi para pecandu narkoba maupun masyarakat luas. Bagaimana suramnya masa depan para pecandu tersebut, mengingat ketergantungan yang luar biasa sehingga tidak mampu melakukan upaya apapun untuk kehidupannya. Berapa banyak biaya yang dibutuhkan untuk penyembuhan mereka, yang tidak jarang membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya.

Masyarakat yang saat ini sangat cemas dengan bahaya narkoba akan mengalami kecemasan yang makin tinggi akibat hilangnya hukuman mati ini. Bisa dipahami makin tingginya kecemasan ini, mengingat para produsen maupun pengedar tentu akan sangat senang dengan hukuman yang ringan ini sehingga mereka tidak akan jera dan tetap menjadi produsen dan pengedar.

Hukuman yang diberikan sesungguhnya bisa menjadi pendidik bagi diri sendiri maupun orang lain. Terhukum bisa merasakan bahwa akibat perbuatannya menimbulkan ketidaknyamanan bagi diri sendiri sehingga merasa rugi dan tidak ingin mengulangi perbuatan tersebut. Terhukum juga bisa menyadari akibat perbuatannya tersebut merugikan orang lain sehingga makin kuat keinginan untuk tidak mengulangi lagi.

Orang lain yang merasakan ketidaknyamanan terhukum si narapidana akibat perbuatannya sendiri akan menimbulkan keinginan kuat untuk menghindari perbuatan yang sama. Ia tentu tidak ingin mengalami kesengsaraan yang sama. Dengan demikian, efek jera ini dapat membuat orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama sehingga tidak makin banyak pelaku kejahatan baru yang muncul.

Maraknya kejahatan narkoba dan lemahnya fungsi hukum akan membuat citra negara dan masyarakat kita makin jatuh di mata internasional. Berbagai macam stigma negatif dan rentetan imbasnya akan menerpa negara dan masyarakat ini. Sebagai contoh adalah adanya cap sebagai ladang narkoba maka suatu daerah cenderung dihindari dalam suatu perjalanan atau pun wisata, sehingga lambat laun akan menjadi terkucil. Tentu ini akan menimbullkan efek lanjutan yang luar biasa pada kelangsungan hidup bangsa ini, mengingat hingga saat ini masih sangat tergantung kepada negara lain dalam berbagai aspek kebutuhan hidup.

Mengingat dinamika yang sedemikian dahsyatnya akibat narkoba, maka bisa dipahami apabila agama pun mengharamkan penyalahgunaannya. Efek memabukkan menjadikan narkoba sebagai barang yang haram dikonsumsi manusia. Penghamburan uang untuk transaksi narkoba juga menjadi mubazir dan dilarang, mengingat sebenarnya masih banyak yang bisa dilakukan dengan uang belanja tersebut untuk kesejahteraan masyarakat.

Menyimak berbagai dampak langsung maupun tidak langsung dari narkoba maka rasanya tidak ada manusia yang setuju dengan adanya penyalahgunaan narkoba. Dengan demikian, rendahnya hukuman terhadap pelaku narkoba juga bukanlah keadilan bagi masyarakat. Mestinya masyarakat diberikan jaminan kenyamanan dan keamanan hidup, bukan malah diberikan ancaman dan kecemasan dalam hidupnya akibat bebasnya peredaran narkoba. Kenyamanan dan keamanan hidup masyarakat luas tentu lebih berharga daripada segelintir penjahat narkoba yang berupaya mencari kekayaan haram. Patut dipertanyakan nurani para hakim MA yang memutus batalnya vonis mati ini. Kepedulian terhadap nasib bangsa dan masyarakat luas mesti menjadi jiwa dari setiap hakim agung. Bukan kepedulian atas nasib segelintir penjahat, entah atas dasar apa kepedulian ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya