SOLOPOS.COM - Riza Multazam Luthfy (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (14/7/2015), ditulis Riza Multazam Luthfy. Penulis adalah esais dan peneliti masalah sosial. Saat ini, penulis tinggal di Bojonegoro.

Solopos.com, SOLO — Ramadan membawa berkah bagi pengemis. Jumlah pengemis berlipat ganda dibanding hari-hari biasa. Pada bulan penuh rahmat ini orang-orang Islam berlomba-lomba menyantuni kaum duafa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Para pengemis mampu membaca peluang Ramadan sebagai momen mendulang keberuntungan. Seorang muslim membutuhkan kaum papa untuk menampung sedekah. Pengemis membutuhkan penderma sebagai penyuplai bantuan.

Terjadi interaksi timbal balik antara kaum pemburu surga dengan komunitas pengharap santunan. Ini menjadi latar belakang pada Ramadan jumlah pengemis membeludak. Mereka didatangkan dan dikoordinasi dari luar kota.

Mereka membanjiri kota-kota besar. Fenomena ini menjadi agenda tahunan yang sulit dihindari. Pengemis memangkal di traffic light, alun-alun, masjid, lokawisata, dan permakaman umum. Munculnya pengemis adalah persoalan sistematis yang ditopang berbagai faktor.

Masing-masing lokasi memiliki konteks, karakteristik, dan historisitas yang berbeda. Para pengemis memiliki strategi menarik rasa iba calon dermawan dengan berwajah kusut, berpenampilan compang-camping, serta memperlihatkan cacat fisik. Strategi yang dinilai sangat ”ampuh” yaitu membawa anak atau bayi.

Pengemis-pengemis disertai anak kecil lebih berpotensi mendapat uang daripada mereka yang bekerja sendirian. Sebenarnya, secara finansial, praktik ini lebih berpihak kepada ”juragan” yang mengelola bisnis mengemis.

Akhir-akhir ini muncul indikasi kuat di sejumlah kota terdapat sindikat penyewaan bayi pengemis. Sejumlah pakar sosial berpendapat dengan meminta-minta para pengemis telah melakukan kritik sosial dan melancarkan protes atas ketidakadilan, marginalisasi, serta korupsi.

Pengemis sebagai kelompok kelas bawah dalam struktur masyarakat berupaya mengeskpresikan keberadaan mereka. Mereka menekuni dunia informal sebagai bentuk resistensi terhadap pembangunan yang cenderung berpihak kepada sektor formal yang dikuasai pemilik modal dan kaum terdidik dengan skill memadai (Maghfur Ahmad, 2010).

Dalam konsep dramaturgi, penampilan yang sengaja diperlihatkan para pengemis mengindikasikan kamuflase. Menurut Erving Goffman, dramaturgi kental dengan pengaruh drama, teater, atau pertujukan fiksi di panggung ketika seorang aktor memainkan beragam karakter manusia sehingga penonton memperoleh gambaran kehidupan tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita yang disajikan.

Penampilan dan gaya yang merupakan unsur utama front stage (panggung depan) dimanfaatkan para pengemis untuk menunjukkan mereka pantas dikasihani. Beragam cara digunakan agar seseorang mau mengulurkan sejumlah uang.

Usaha ini rentan memancing stereotip negatif karena merendahkan diri sendiri. Seorang lelaki renta asal Mojokerto, Suwadi, yang ”beroperasi” di Sidoarjo berpenampilan mirip orang terkena stroke. Pengemis ”Winnie The Pooh” yang mengaku beristri tujuh orang tersebut dalam sehari rata-rata mengumpulkan uang Rp300.000-Rp 500.000.

Back stage merupakan panggung belakang dari pertunjukan. Pengemis sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) melepas topeng saat kembali ke kehidupan semula. Pada saat inilah pengemis menjalani kehidupan secara normal dan jauh dari kepura-puraan.

Perilaku dan tabiat disesuaikan identitas yang asli. Dalam lingkungan sepekerjaan, pengemis tidak mungkin lagi memelas, bermuka lusuh, dan mengiba-iba. [Baca selanjutnya: Mentalitas]

Mentalitas
Dalam analisis saya ada dua penyebab dramaturgi pengemis. Pertama, tingginya inkonsistensi dan hipokrisi orang-orang Indonesia. Kebohongan dan kepura-puraan mengakar kuat dalam diri masyarakat, antara lain, karena minimnya keteladanan para pejabat publik dalam mengemban amanat.

Pemberitaan media massa tidak pernah terlepas dari keculasan pejabat dan mendorong masyarakat serta-merta melakukan kecurangan serupa, meski dalam ”bungkus” berbeda. Muncullah figur manusia hipokrit yang gemar berdusta.

Menggunakan kedok untuk memperdaya manusia lain, agar dapat diterima dan dihargai. Sosok pengemis yang memanfaatkan kebaikan orang-orang Islam pada Ramadan bisa digolongkan sebagai penganut utilitarianisme yang berusaha memaksimalkan kebahagiaan seraya mengurangi penderitaan.

Kedua, mentalitas pengemis yang tumbuh subur dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Para pengemis enggan beranjak dari pekerjaan mereka. Pendapatan yang lebih menjanjikan. Hingga hari ini pengaderan pengemis berjalan mulus.

Dalam jagat pengemis muncul konsensus tak tertulis bahwa seseorang disebut pengemis ”profesional” jika berhasil melakukan transformasi nilai secara intensif dengan melibatkan setiap anggota keluarga dalam mengemis.

Inilah penyebab sejumlah kasus memperlihatkan para pengemis mengader anak atau saudara mereka untuk menempati wilayah operasi yang telah mereka kuasai. Regenerasi pengemis semakin sukses sebab selama ini para pejabat melakukan indoktrinasi kepada masyarakat bahwa mengemis bukanlah perbuatan hina.

Ulah pejabat yang menukar kebijakan dengan uang merupakan tindakan mengemis (dengan cara halus) kepada pemodal. Timbul pandangan mengemis lebih mulia daripada mencuri. Munculnya pengemis beratribut keagamaan (baju koko, proposal, kotak amal) membuktikan para pejabat berhasil mewariskan corak mengemis dengan lebih terhormat.

Proses transformasi sosial pada komunitas pengemis bukan hanya karena dimensi politik, sosial, dan ekonomi, melainkan juga aspek spiritualitas, keberagamaan, dan bangunan world view masyarakat (Irwan Abdullah, 2008). Aspek-aspek terakhir inilah yang seharusnya disentuh pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya