SOLOPOS.COM - Endi Haryono, Direktur Centre for Policy and Empowerment Studies (C-Pros) Jogja Penulis buku Dilema Mahathir: Kebijakan Ekonomi-Politik Malaysia dalamMenghadapi Krisis Ekonomi Asia. (FOTO/Istimewa)

Endi Haryono, Direktur Centre for Policy and Empowerment Studies (C-Pros) Jogja
Penulis buku Dilema Mahathir: Kebijakan Ekonomi-Politik Malaysia dalamMenghadapi Krisis Ekonomi Asia. (FOTO/Istimewa)

Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo berencana menganugerahkan doktor honoris causa (Dr HC) kepada Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia, Senin (3/9). Gelar itu diberikan atas prestasi dr M (demikian dia biasa disapa) dalam bidang pemberdayaan dunia Melayu (empowering Malay world).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ini anugerah Dr HC ketiga dari universitas negeri di Indonesia kepada dr M yang memimpin Malaysia kurun waktu 1981-2003. Dua penghargaan Dr HC sebelumnya masing-masing dari Universitas Syah Kuala (Unsyiah) Aceh pada 2004 di bidang ekonomi pembangunan (economic development) dan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 2007 di bidang kepemimpinan dan pembangunan ekonomi (leadership and economic development).

Penghargaan-penghargaan tersebut adalah pengakuan atas integritas, intelektualitas dan pencapaian Mahathir yang meskipun dilakukan di Malaysia namun dalam beberapa hal menjadi inspirasi dan pelajaran bagi Indonesia. Tulisan ini disusun sebagai preview dalam rangka penganugerahan Dr HC tersebut yang terfokus pada pencapaian dan pemikiran politik Mahathir tentang ekonomi berdikari, globalisasi dan kerja sama negara Selatan-Selatan.

Kecuali seorang politisi yang cakap dan berterus-terang dalam mengungkapkan kritik, Mahathir di kalangan kaum muda Malaysia (dan Indonesia) juga dikenal sebagai seorang intelektual. Para penulis biografi Mahathir menulis setidaknya beberapa hal yang sama tentangnya: seorang dokter (medical) yang sederhana, politisi Melayu yang tak segan mencabar lawan-lawannya secara intelektual, bisa menangis kalau berbicara tentang nasib bangsa Melayu dan pengkritik Barat yang terus terang. Mahathir adalah PM Malaysia yang tidak mendapatkan pendidikan di Barat dan berasal dari kalangan rakyat biasa, bukan dari keluarga aristokrasi.

 

Pencapaian Domestik

Dalam pembangunan domestik, Mahathir menekankan pentingnya Malaysia memiliki ekonomi yang kuat dan berdikari. Karena itu di tengah pendalaman globalisasi ekonomi-politik neoliberal Mahathir tetap menekankan pada hak dan prinsip Malaysia untuk membangun sendiri sistem ekonomi dan sistem politiknya.

Seperti ditekankan banyak pengamat Malaysia, Mahathir adalah seorang politisi pragmatis, pemimpin yang tidak memedulikan label-label ideologis tetapi mengambil yang menurutnya cocok diterapkan untuk mendukung pembangunan Malaysia, ekonomi, politik dan sosial. Pragmatisme Mahathir justru menuntunnya pada strategi pembangunan Malaysia berdikari, bahkan ketika Malaysia mendapatkan devisa besar dari penjualan minyak bumi dan transaksi dagang dengan negara-negara industri Barat.

Tak lama setelah dilantik menjadi PM pada 1981, Mahathir mencanangkan dua kebijakan strategis. Pertama, kebijakan industri berat (heavy industry) yang dimaksudkan untuk membuat Malaysia mampu membuat mesin-mesin industri dan otomotif yang sekaligus untuk menghentikan ketergantungan kepada negara-negara industri maju (Barat).

Kedua, kebijakan menengok ke Timur (look east policy) yang dimaksudkan untuk membawa Malaysia tidak tergantung pada Barat tetapi justru memiliki etos kerja baru yang tidak meniru Barat. Kebijakan menengok ke Timur, dengan Jepang dan Korea Selatan sebagai model, juga didasari keyakinan bahwa Jepang dan Korsel akan lebih bersedia ”mengalihkan” teknologi kepada Malaysia ketimbang negara-negara industri Barat.

Dari dua kebijakan strategis ini, Mahathir berhasil membangun industri mobil nasional (Proton), Bandara Kuala Lumpur International (Kuala Lumpur Iternastional Airport/KLIA), jalan bebas hambatan utara-selatan, jembatan Penang dan terowongan Perak.

Di bidang sosial dan politik, Mahathir mencanangkan kebijakan Islamisasi atau asimilasi nilai-nilai Islam dengan bangsa Melayu. Mahathir menekankan Islam yang moderat dan Islam yang mengakui sekaligus prinsip nasionalisme dan prinsip sekularisme dalam kehidupan publik. Mahathir menekankan pembentukan etos, kultur dan citra Melayu berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang moderat.

Menurut Mahathir, keunggulan bangsa Melayu harus dibangun bukan karena mengadopsi nilai Barat, tetapi nilai-nilai baru yang bersumber dari Islam dan etos utama Melayu. Mahathir juga menolak eksklusivisme. Tentang pemerintahan, Mahathir menekankan etos kerja keras dan etos pelayanan yang baik sebagai cerminan etos Melayu baru.

 

 

Menyoal Globalisasi

Mahathir menerapkan kebijakan luar negeri pragmatis yang mempertahankan independensi relatif perekonomian Malaysia terhadap sistem kapitalisme internasional. Malaysia di bawah Mahathir mengandalkan kemitraan terutama dengan Jepang, Korea Selatan dan negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Selain itu, Mahathir tak pernah berhenti menyoal ketimpangan ekonomi Utara-Selatan dan kecenderungan neoimperialisme negara-negara industri maju terhadap negara-negara berkembang di balik globalisasi.

Menghapuskan ketimpangan ekonomi Utara-Selatan dan melawan neoimperialisme menjadi sebagian dari obsesinya di tingkat internasional yang mendorongnya merumuskan sejumlah konsep kerja sama ekonomi yang lebih adil dan perlawanan kolektif negara berkembang terhadap neoimperialisme  Barat.

Mahathir melihat globalisasi neoliberal yang diadvokasikan negara-negara industri maju melalui IMF dan Bank Dunia sebagai kolonialisme baru atau neokolonialisme. Biang dan pintu masuk neokolonialisme dan kemunduran ekonomi negara-negara baru merdeka, menurut Mahathir, ada tiga hal: bantuan ekonomi,  utang luar negeri dan korupsi.

Ketiga hal ini sengaja didiamkan oleh lembaga keuangan internasional (IMF dan Bank Dunia) untuk melenakan negara berkembang dan menjadi alat untuk menguasi mereka. Utang luar negeri menegaskan ketergantungan dan menjadi sumber korupsi bagi pejabat pemerintah di negara-negara berkembang sehingga mereka sendiri akhirnya tidak bisa bicara terus terang tentang keburukannya.

Selain menjadi alat untuk dominasi, demikian Mahathir, utang yang diberikan  lembaga-lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia juga menjadi bisnis untuk maksimalisasi keuntungan. Tindakan Mahathir paling kontroversial adalah penentangan terbuka terhadap prinsip-prinsip neoliberalisasi dan konfrontasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia selama berlangsung krisis ekonomi Asia 1997-1999. Mahathir juga menawarkan  ”kemitraan cerdas” antara negara-negara berkembang untuk melawan neoimperialisme di balik globalisasi, semacam fron bersama ekonomi.

Interpretasi Mahathir tentang globalisasi sebagai bentuk baru kolonialisme dan tawaran strategi fron bersama mengingatkan kita pada Bung Karno yang telah memperingatkan bahaya neokolonialisme dan neoimperialisme sejak 1950-an. Bagi Bung Karno, juga Mahathir, imperialis Barat tidak akan pernah tinggal diam menyaksikan negara-nagara baru Dunia Ketiga tumbuh menjadi pesaing mereka dan selalu mencari cara baru untuk melanjutkan penjajahan dalam bentuk baru. Bung Karno, sebagaimana Mahathir, memperingatkan bahwa perlawanan terhadap neoimperialisme hanya akan berhasil jika dilakukan kolektif negara-negara berkembang dalam front bersama.

 



Aktivis Antiperang

Setelah pensiun dari PM, Mahathir mempunyai tiga aktivitas yang membuatnya tetap menonjol dan berada pada deretan mantan pemimpin dunia yang produktif sekaligus membuatnya menjadi guru bagi generasi muda. Ia masih menulis dan adalah seorang penulis buku yang produktif dengan lebih 20 buku yang telah diterbitkan.

Dia rutin menulis blog (www. chedet.co.cc) yang membuatnya dikenal sebagai seorang bloger produktif dan disegani. Dia juga memimpin yayasan yang bergerak di bidang kemanusiaan dan antiperang yang berkantor di Putrajaya.

Dalam hal tulis-menulis, tak ada pemimpin atau mantan pemimpin negara yang menerbitkan buku sebanyak Mahathir. Ia telah menerbitkan lebih dari 20 buku, sejak bukunya yang pertama, dan paling terkenal, berjudul Malay Dilemma (1970). Bukunya yang terakhir, yang paling laris, adalah memoirnya, Doctor in The House (2011).

Dalam hal menulis blog, Mahathir adalah seorang bloger yang produktif, tajam memotret realitas sosial dan konsisten. Mahathir oleh para bloger dikukuhkan sebagai patron atau bapak bloger Malaysia karena konsistensinya menulis.

Nasihat Mahathir kepada para bloger Malaysia saya kira cocok juga untuk para blogger Indonesia yaitu agar bloger mengambil jalan tengah (middle path) moderat dalam menanggapi isu-isu sehingga bisa memberikan kontribusi yang baik bagi masyarakat.

Mahathir saat ini masih aktif memimpin Yayasan Perdana yang bergerak terutama pada bantuan kemanusiaan dan perdamaian. Mahathir memang seorang yang antiperang. Mengobarkan perang, demikian Mahathir, adalah tindakan tak bermoral dan gila. Dalam konteks antiperang ini, Mahathir pada 2011 mendukung  Pengadilan Penjahat Perang Kuala Lumpur (The Kuala Lumpur War Crime Tribunal/KLWCC) yang mengadili (in absentia) mantan Presiden AS George Bush dan mantan PM Inggris Tony Blair atas peran mereka mendorong agresi dan invasi terhadap Irak pada 2003. Bush dan Blair diadili terbuka berdasarkan bukti-bukti dan pengakuan keduanya dalam memoar masing-masing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya