SOLOPOS.COM - Nur Fatah Abidin

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (19/8/2017). Esai ini karya Nur Fatah Abidin, mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah ikbenfatah@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Pada Rabu, 15 Agustus 2017, pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan Republik Indonesia kepada delapan tokoh masyarakat. Salah seorang dari delapan tokoh tersebut adalah Soedjatmoko yang menerima tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma atas akhlak, budi pekerti, dan jasanya di bidang budaya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tokoh lain yang pernah mendapat tanda kehormatan serupa adalah Amir Pasaribu (2002), A.T. Mahmud (2003), Sardono W. Kusumo (2003), Benyamin Suaeb (2010), dan Mangkunagoro VII (2016). Sebagai seorang cendekiawan dan diplomat, Soedjatmoko mungkin tidak begitu dikenal oleh masyarakat negeri ini.

Soedjatmoko lahir pada 10 Januari 1922 di Sawah Lunto, Sumatra Barat. Nama kecilnya adalah Soedjatmoko Mangoendiningrat. Nama Mangoendiningrat didapat dari ayahnya, Saleh Mangoendiningrat. Sebagai anak priayi, Soedjatmoko berkesempatan mengenyam pendidikan modern.

Soedjatmoko pernah bersekolah di Tweede Indlandsche School dan Hogere Burgerschool. Pada masa pendudukan Jepang, Soedjatmoko bersekolah di STOVIA Batavia. Sebagai seorang pemuda, Soedjatmoko ikut terbawa jiwa zaman.

Soedjatmoko bersama dengan Sudarpo, Andi Zainal Abidin, dan Amir Hamzah bergabung dengan jaringan bawah tanah Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Akibatnya, Soedjatmoko berurusan dengan kenpetai dan memutuskan keluar dari STOVIA.

Soedjatmoko kemudian pergi ke Solo, kota tempat ayahnya bertugas sebagai dokter pribadi Paku Buwono X dan Paku Buwono XI. Di kota jantung budaya Jawa ini intelektualisme Soedjatmoko berkembang. Soedjatmoko berkontemplasi dan mengembara mengenal para pemikir melalui dialog dan pembacaan buku.

Siswanto Masruri dalam Humanitarianisme Soedjatmoko: Visi Kemanusiaan Kontemporer(2005) menyatakan Soedjatmoko pernah berdialog dengan Ki Ageng Suryomentaram dan membaca karya-karya Martin Heideger, Max Scheler, dan Karl Jaspers ketika menyepi di Solo. Oleh karena itu Solo menjadi titik penting bagi kehidupan intelektual Soedjatmoko.

Selanjutnya adalah: Soedjatmoko  menjadi asisten editor di Siasat…

Asisten Editor

Pada 1946, Soedjatmoko kembali ke ibu kota atau Jakarta dan bekerja sebagai asisten editor di Siasat (1946-1947). Karier jurnalistik harus terhenti ketika Sutan Sjahrir menugasinya menjadi anggota delegasi dan pengamat Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB hingga 1950-an.

Pada 1951, Soedjatmoko pulang ke Indonesia dan memutuskan melanjutkan kiprah jurnalistiknya sebagai editor Harian Pedoman,  Siasat,  serta Penerbit Pembangunan. Karier politik Soedjatmoko juga meningkat. Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesi, Soedjatmoko terpilih sebagai anggota Badan Konstituante dalam pemilihan umum pada 1955.

Dalam periode selanjutnya Soedjamoko menjadi diplomat dan ditugaskan di kedutaan besar Indonesia di Amerika Serikat (1968-1971), penasihat Bidang Sosial Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (1968-1980), dan menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo (1980-1987). Pada 21 Desember 1989, Soedjatmoko wafat ketika menyampaikan kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Selepas akhir hayatnya citra Soedjatmoko tetap hidup dan terawat dalam ingatan melalui obituarium, memorial, serta berbagai kajian ilmiah. Pemikiran Soedjatmoko terus terdiseminasikan dalam berbagai publikasi buku.

Saudara-saudara Soedjatmoko juga menduduki peranan penting, seperti Poppy Sjahrir yang merupakan istri Sutan Sjahrir, Miriam Budiardjo yang dikenal sebagai cendekiawan politik, dan Nugroho Wisnumurti yang menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk PBB pada 1992-1997.

Menara Gading

Hal tersebut membentuk citra Soedjatmoko sebagai tokoh cendekiawan dan diplomat yang disegani pada zamannya. Meski memiliki karier cemerlang, Soedjatmoko tidak lepas dari kritik. Dia dianggap sebagai intelektual menara gading yang pemikirannya sulitdipahami.

Bagi sebagian orang, pemikiran Soedjatmoko dipandang sulit dipraktikkan dan lebih cocok untuk didiskusikan. Babak baru bagi Soedjatmoko dimulai pada 2003. Bekas rumah Saleh Mangoendiningrat yang telah berkali-kali berpindah tangah dan sempat menjadi kantor Harian Kompas di Solo akhirnya diresmikan menjadi Balai Soedjatmoko.

Selanjutnya adalah: Balai Soedjatmoko menjadikan citra Soedjatmoko…

Balai Soedjatmoko

Balai Soedjatmoko menjadikan  citra Soedjatmoko kemudian lebih identik sebagai gairah artikulasi kesenian dan aktualisasi kebudayaan. Bagi pelaku seni, budaya, sastra, sejarah, dan musik, Soedjatmoko bagaikan tarikan dan embusan napas. Entah berapa puluh jenis musik bergema, berapa ratus lukisan dipamerkan, dan berapa ribu ucapan dan kata memenuhi ruang diskusi di BalaiSoedjatmoko.

Soedjatmoko mengambil peranan penting pada era kontemporer. Dalam dunia yang semakin mengglobal, masyarakat membutuhkan figur ketokohan yang dapat merawat nilai-nilai kelokalan sekaligus menegosiasikannya dengan nilai-nilai yang muncul dari proses globalisasi.



Bayangan Soedjatmoko yang lebur dalam berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan yang bersifat tradisional hingga postmodern telah mengambil peran signifikan. Hasilnya adalah Soedjatmoko tidak lagi melulu hadir sebagai representasi intelektual menara gading. Melalui berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan di Balai Soedjatmoko, Soedjatmoko hadir sebagai representasi semangat kultural kerakyatan.

Soedjatmoko sendiri mungkin tidak pernah membayangkan dirinya akan lebih dikenal sebagai bagian dari perawat kesenian dan kebudayaan. Soedjatmoko juga tidak akan mengira namanyaakan terawatt oleh para pelaku seni dan budaya. Dan mungkin saja, tanpa kita sadari, pemikiran Soedjatmoko yang sifatnya teoretis itu justru sekarang telah dipraktikkan melalui berbagai laku seni dan budaya di Balai Soedjatmoko.

Tak berlebihan menyatakan Soedjatmoko saat ini bermakna ganda: perawat nilai kultural sekaligus dirawat oleh pelaku kultural. Dalam makna ganda tersebut, tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dapat dimaknai sebagai simbol terima kasih dan penghormatan untuk Soedjatmoko dan para perawat Soedjatmoko!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya