SOLOPOS.COM - Arif Wibowo rifwibowo@yahoo.com Bergiat di Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Pengajar di Padepokan Lir-Ilir Karangpandan, Karanganyar

Arif Wibowo  rifwibowo@yahoo.com  Bergiat di Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Pengajar di Padepokan Lir-Ilir Karangpandan, Karanganyar

Arif Wibowo
rifwibowo@yahoo.com
Bergiat di Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Pengajar di Padepokan Lir-Ilir Karangpandan, Karanganyar

Di tengah hiruk pikuk Islam politik di negeri ini, tulisan Mohammad Fauzi Sukri dalam rubrik Gagasan Solopos edisi 13 September 2013 yang berjudul Islam Huruf Latin dan Perilaku menjadi bacaan yang menyegarkan. Selama ini umat Islam dibawa dalam debat berkepanjangan mengenai relasi agama dan negara. Padahal islamisasi dalam bentuknya yang paling awal adalah islamisasi bahasa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bahasa pertama yang mengalami islamisasi adalah bahasa Arab itu sendiri. Bahasa Arab setelah turunnya Alquran menjadi bahasa arab ”baru” dan tersempurnakan, yang memuat konsep-konsep dasar Islam, yang tidak berubah dan dipengaruhi perubahan sosial (Al Attas 2011: 56). Sayangnya wacana mengenai relasi agama dan bahasa, di mana keduanya merupakan variabel utama kebudayaan dan peradaban, justru terasing dan akhirnya menghilang dari kepustakaan kaum muslim di Indonesia.

Hanya saja, kemudian menjadi kurang relevan ketika kemudian mengambil kasus Turki sebagai pengantar untuk menjelaskan masyarakat ”Islam huruf Latin di Indonesia.” Meskipun pada akhirnya Indonesia dan Turki menggunakan huruf Latin sebagai huruf resmi, akan tetapi faktor penyebabnya sangat berbeda.

Perubahan dari huruf Arab menjadi huruf Latin sebagai medium penulisan bahasa Turki pada masa pemerintahan Kemal Attaturk lebih merupakan sikap terhadap bangsa-bangsa Eropa. Hal ini tercermin dalam pendapat Sabahuddin Bey, salah seorang pimpinan Young Turk Movement.

Bey menyatakan,”Sejak kita membangun hubungan dengan peradaban Barat, kebangkitan intelektual terjadi, sebelum hubungan ini terjadi, masyarakat kita miskin kehidupan intelektual” (Husaini, 2005 : 75). Hal ini ditambah dengan posisi Turki sebagai minoritas muslim di benua Eropa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Sedangkan hilangnya huruf Arab Pegon (sebutan huruf Arab yang digunakan untuk menulis bahasa lokal), disebabkan politik asosiasi Belanda, melalui pendidikan di sekolah-sekolah ”sekuler” di masa politik etis.

Proses perpindahan massal keagamaan di Indonesia dari Hindu dan Buddha kepada Islam melalui islamisasi pada bahasa lokal di Nusantara, khususnya bahasa Melayu. Bahasa Melayu telah mengalami suatu perubahan besar, selain sebagian besar perbendaharaan katanya diperkaya dengan sejumlah kata-kata dari bahasa Arab dan Persia, ia menjadi bahasa pengantar utama untuk menyampaikan Islam ke seluruh kepulauan Melayu (Al Attas, 2011: 216).

Kata-kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu berkisar 15%–20%.  Tidak terhenti pada Islamisasi bahasa, pada 1600 huruf Arab Jawi/Arab Pegon merupakan satu-satunya huruf yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Melayu (Johns, 2009: 49-51). Bahasa Melayu yang sudah diislamisasi dan huruf Arab Pegon menjadi bahasa dagang, diplomasi, dakwah, dan administrasi kenegaraan di hampir semua kerajaan/kesultanan di Nusantara. Satu-satunya wilayah yang belum memakai huruf Arab Pegon adalah wilayah Jawa/Kesultanan Mataram (Lombard, 2008 : 165).

Jawa di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo melakukan islamisasi besar-besaran. Tahun Jawa diselaraskan dengan tahun Hijriah. Sultan Agung juga mengawali tahap pemantapan keislaman melalui pendidikan Islam massal kepada masyarakat. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Alquran, tata cara beribadah, dan tentang ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam.

Saat itu, apabila ada anak berusia tujuh tahun belum bisa membaca Alquran, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Para guru agama ini diberi gelar Kyahi Anom oleh pihak keraton.  Di tingkat kadipaten didirikan pesantren yang dipimpin Kyahi Sepuh. Saat itu juga dilakukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandongan (halakah).

Kitab-kitab itu meliputi kitab fikih, Ttfsir, hadis, ilmu kalam, dan tasawuf. Juga nahwu, saraf, dan falaq. Sistem kalender juga disesuaikan dengan sistem Islam( Yunus, 1996: 223-225). Sayangnya, rintisan Sultan Agung ini tidak dilanjutkan oleh pewarisnya, yakni Amangkurat I, yang lebih memilih dekat dengan VOC dan berhadapan dengan kaum santri di bawah kepimpinanan Trunojoyo.

Ketergantungan militer pada VOC menyebabkan penerusnya, yakni Amangkurat II, tidak mempunyai pilihan kecuali memberikan sebagian wilayah pesisir kepada VOC. Hal ini membuat komunikasi dengan pusat-pusat studi Islam di Asia Selatan dan Timur menjadi sulit (Woodward, 2008: 16-17). Islamisasi budaya dan bahasa di Kesultanan Mataram pun terhenti. Mataram menjadi satu-satunya wilayah di kepulauan Nusantara yang belum pernah menjadikan huruf Arab Pegon sebagai huruf resmi dalam pemerintahan dan perdagangan, meskipun tetap ada kelompok masyarakat yang menggunakannya, yakni pesantren.

Oleh karena itu menjadikan kritik Kartini atas pengajaran agama yang doktriner dan tanpa proses penerjemahan yang berlaku di Mataram, untuk menyanggah pendapat Muhammad Natsir akan peran besar bahasa Arab dalam membangun kecerdasan bangsa, tidaklah tepat. Muhammad Natsir lahir dari tradisi Minangkabau yang memang sangat dekat dengan peran bahasa Melayu dan Arab. Kartini lahir dan besar di lingkungan bangsawan Jawa yang proses islamisasi bahasa daerahnya terhenti secara prematur.

 

Arab Pegon Hilang

Kalau kita menyempatkan diri mengunjungi pesantren-pesantren salafiyah yang biasanya berpayung di bawah Nahdlatul Ulama (NU), yang masih setia mengkaji kitab dengan sistem terjemah antarbaris dengan menggunakan huruf Arab Pegon, kita akan temukan bahwa penerjemahannya bukan sekadar penerjeman kata per kata, akan tetapi juga disesuaikan dengan tata bahasa Arab. Kesalahan dalam pemaknaan dapat diminimalisasi.

Menerjemahkan huruf Arab ke Arab Pegon bukan sekadar mengartikan, tapi seperti kata A.H. Johns, translation adalah proses mengungkapkan makna suatu ajaran, buku, atau puisi ke dalam bahasa lain (Johns, 2009: 49). Kesamaan huruf tentu lebih memudahkan proses asimilasi, adaptasi, dan adopsi konsep-konsep Islam ke dalam bahasa lokal.

kekhawatiran Al Attas bahwa Romanisasi huruf akan berakibat kebingungan dan kesalahan dalam memahami Islam bukan tidak beralasan. Romanisasi bahasa yang semula berhuruf Arab menjadi Latin secara berangsur-angsur mengakibatkan pemisahan hubungan leksikal dan konseptual antara umat Islam dengan sumber Islam (Al Attas, 2011 : 156-157).

Proses latinisasi ini akan menceraikan hubungan pedagogi antara Kitab Suci Alquran dengan bahasa setempat. Terjadilah proses deislamisasi, di mana terjadi penyerapan konsep-konsep asing ke dalam pikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan memengaruhi pemikiran serta penalaran mereka (Al Attas, 2011: 57).

Dampaknya dapat kita lihat sekarang. Umat Islam tidak lagi bisa membedakan antara ”munafik” dan “hipokrit.” Munafik tidak sekadar berbeda antara hati dengan perbuatan seperti arti hipokrit. Munafik mempunyai arti baku, yakni lahirnya beriman padahal hatinya memusuhi Islam. Konsep masyarakat majemuk yang berasal dari kata jamak yang berarti keanekaragaman kini tergantikan dengan istilah pluralisme yang masih menimbulkan kontroversi dalam pemaknaannya.

Bila kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga yang diterbitkan Departemen [kini Kementerian] Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, penulisan beberapa istilah baku Islam sudah meninggalkan kedisplinan transliterasi. Sebagai contoh, Al Qur’an ditulis Kuran (hal. 616), ibadah sholat ditulis salat (hal. 983). Hal ini merupakan kesalahan fatal sebab sebagai agama wahyu Islam sangat disiplin menjaga kemurnian baik istilah kunci agamanya, baik dalam pelafalan, maupun pemaknaannya.

Masih banyak contoh lain tentang kerancuan pemahaman umat terhadap Islam akibat proses deislamisasi bahasa ini. Bahkan beberapa pihak menduga proses radikalisasi umat Islam juga terkait dengan kesalahan penerjemahan teks Alquran. Basis-basis pesantren salafiyah yang masih setia dengan penerjemahan berbasis huruf Arab Pegon terbentengi dari paham ini. Jadi, bisakah kita menyederhanakan permasalahan dengan menyebut bahwa perilaku lebih fasih daripada bahasa?

Perilaku adalah buah dari pemahaman. Pemahaman sangat dipengaruhi bahasa sebagai media pemaknaannya. Dalam kata lain, bahasa, pemahaman, dan perilaku adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, apalagi dalam agama Islam, agama wahyu yang sangat disiplin dalam menjaga kemurnian konsep-konsep baku keagamaan. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya