SOLOPOS.COM - Joko Setiyono jjokko@gmail.com Pustakawan UPT Perpustakaan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo

Joko Setiyono jjokko@gmail.com Pustakawan UPT Perpustakaan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo

Joko Setiyono
jjokko@gmail.com
Pustakawan UPT Perpustakaan
Institut Seni Indonesia (ISI) Solo

Hari ini, 23 April, merupakan peringatan Hari Buku Sedunia yang ke-19. United Nations for Educational and Scientific Cultural Organization (UNESCO) dalam konferensi umum di Paris pada 1995, memutuskan 23 April sebagai World Book Day (WBD).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Perayaan tentang buku menjadi intensif dan meluas. Indonesia melalui Forum Indonesia Membaca mulai merayakan WBD pada 2006 di Plaza Departemen Pendidikan Nasional [kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan] dan perpustakaan kementerian itu di kawasan Senayan, Jakarta, waktu itu.

Perayaan WBD merupakan bentuk penghargaan dan kemitraan antara pengarang/penulis, penerbit, distributor, organisasi perbukuan, serta komunitas yang bekerja sama mempromosikan buku dan budaya membaca. Perayaan itu dalam rangka pengayaan kapasitas intelektual; meningkatkan nilai-nilai sosial budaya dan kemasyarakatan serta kemanusiaan; mempromosikan kegiatan interaksi, eksplorasi, dan membaca buku sebagai sebuah kesenangan dan kegembiraan.

Perayaan juga untuk mempromosikan membaca buku sebagai aktivitas mengisi waktu senggang yang menyehatkan sekaligus mencerdaskan. WBD secara berkala menyegarkan kembali ingatan publik terhadap urgensi penguatan budaya membaca dan menulis atau budaya literer. WBD mengajak partisipasi segenap elemen masyarakat untuk melihat jendela dunia, membaca buku.

Buku menjadi fokus WBD. Buku bukan hanya menjadi bahan bacaan di waktu senggang. Buku telah menjadi tali pengikat manusia dengan kebudayaan. Buku adalah media perekam dan penyebaran ilmu pengetahuan. Selama berabad-abab buku menjadi tulang punggung perkembangan peradaban manusia.

Melalui buku ilmu pengetahuan diakumulasi dan didistribusikan dari generasi ke generasi, dari satu kebudayaan ke kebudayaan, dari peradaban ke peradaban. Dari zaman Plato sampai kepada Ipad-nya Parjo, dari khotbah para nabi sampai Islamku, Islam Anda, Islam Kita karya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Inilah saham buku terhadap peradaban.

William Ellery Channing mengungkapkan terutama melalui buku-buku kita menikmati hubungan dengan pikiran superior. Di dalam buku-buku terbaik, orang-orang besar berbicara kepada kita, memberikan kepada kita pikiran paling berharga yang mereka miliki, juga menuangkan jiwa mereka ke dalam diri kita. Mereka adalah suara-suara dari jauh dan sudah tiada yang  membuat kita menjadi waris dari kehidupan spiritual zaman-zaman silam (M. Rusli Amin, 2002:39).

Maka, perintah yang sampai kepada kita kemudian adalah: Bacalah, bacalah, bacalah dengan Nama Tuhanmu Yang Maha Menciptakan. WBD mengirimkan spirit menyegarkan, bak oase di padang pasir dari fenomena gempuran budaya instan yang kian menyergap ke segenap sudut kehidupan.

Interaksi kita dengan buku, jalinan mesra antara kita dan buku, adalah masa syahdu yang bertolak belakang dengan kegersangan budaya instan. Membaca buku mengantarkan kita ke dalam benteng waktu yang melindungi dari arus liar budaya instan.

Membaca buku berarti menyediakan ruang kontemplasi untuk permenungan diri, mengunyah dan mencerna atas apa yang tersaji. Membaca buku berarti membangun elaborasi diri sehingga kaki lebih kokoh menjejak di bumi.

 

Perilaku Bergegas

Budaya instan dalam pemaknaan sebagai perilaku ringkas dan bergegas. Budaya instan yang semakin sering tampil dengan takzim dalam praksis kehidupan telah membuat denyut detak zaman semakin panas perputarannya.

Kenyataan ini telah mengakibatkan kecelakaan-kecelakaan budaya para penganutnya. Perilaku absurd para calon anggota legislatif (caleg) yang gagal, joki Ujian Nasional, investasi bodong, ijazah palsu, korupsi, pembunuh bayaran, dan sebagainya adalah contoh nyata buah pahit getir dari budaya instan.

Realitas zaman telah melahirkan budaya instan sebagai sebuah keniscayaan yang tak mungkin terhindarkan. Namun, menyerahkan seluruh ruang kehidupan sebagai ruang praktik budaya instan adalah tragedi yang tak terperi.

Gelar dan ijazah bisa jadi mudah diraih dengan rupiah, namun mungkinkah kecerdasan diraih dengan laku demikian? Penghancuran dan kekerasan fisik sangat mengintimidasi, namun semudah itukah menghapuskan keyakinan dan ideologi?

Pakaian bagus, rumah megah, dan mobil mewah mudah menaikkan gengsi, namun semudah itu pulakah meraih kehormatan dan harga diri? Koalisi dan kongsi sangat mungkin dikalkulasi, namun mampukah menjaga kesetiaan hanya dengan bagi-bagi kursi?

Ada kalanya kita bisa mengonsumsi fast food, namun sangat berisiko bagi kesehatan bila seluruh menu terisi makanan cepat saji semata. Ada saatnya canda, tawa, tangis, dan haru kita bersama program acara televisi, namun relakah menghibur diri sepanjang hari di depan televisi dalam melewatkan waktu luang?

Adalah sah-sah saja ber-SMS-an, menggunakan Facebook, berinteraksi via Twitter, dan menggunakan telepon untuk mengabarkan diri, namun kehadiran fisik adalah mengukuhkan sisi manusiawi.

Pepatah Jawa menyatakan ilmu iku kelakone kanthi laku. Pepatah ini mengingatkan kita bahwa proses menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan ini. Ada fakta yang perlu dicerna, ada data yang butuh dianalisis.

Sementara laku budaya instan sejauh mungkin menghindar hal-hal sedemikian. Budaya instan lebih menampilkan kulit daripada isi, mengiring kepada kemasan dari pada esensi. Namun, justru dalam keringkasan dan kebergegasannya ini kekuatan pesona budaya instan.

Budaya instan menggoda banyak penganutnya untuk terus larut semakin dalam. Mereka menapaki kehidupan dengan jiwa dangkal, gersang, dan rapuh menghadapi kendala dan rintangan. Mudah pasrah dan menyerah bersahabat dengan stres dan depresi.

Kabar baiknya, kini seruan-seruan untuk mengurangi ketergantungan terhadap budaya instan semakin mengemuka. Seperti slow food mencoba mereduksi fast food, bersepeda menuju kantor, pupuk organik, pertanian organik, permainan tradisional mengganti game o-line, dan sebagainya.



Dalam kerangka inilah spirit WBD bak oase di padang pasir atas fenomena gempuran budaya instan menemukan relevansinya. Seruan untuk lebih intensif membangun relasi dengan buku. WBD menawarkan resep atau obat untuk melakukan diet terhadap budaya instan, yaitu membaca buku.

Morfologi buku yang sedemikian hingga, yaitu tersusun dari elemen huruf, afabet, aksara, mencipta suku kata, suku kata merangkai kata, kata menyusun kalimat, kalimat membentuk paragraf, paragraf menyusun bab, bab membangun wacana.

Morfologi buku memaksa kita sebagai penikmat sajian wacana harus melek huruf dahulu sebagai langkah sangat awal agar terbebas dari buta aksara. Ini untuk mengeja suku kata, menangkap kata, mengungkap kalimat, membaca paragraf, membaca bab demi bab demi, memahami isi wacana dalam buku.

Tak sedikit waktu yang kita habiskan untuk meraih kemampuan membaca. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung adalah pengetahuan paling dasar yang pertama diajarkan di sekolah. Anak-anak mengawali pendidikan sekolah dasar dengan pelajaran membaca dan menulis dengan buku-buku yang mengenalkan huruf-huruf, dengan tulisan besar-besar dan masih sedikit teks.

 

Beragam Ilmu Pengetahuan

Seiring dengan itu, mereka harus menyalin di buku tulis. Keterampilan ini makin bertambah hingga akhirnya mereka bisa menguasai kata, baik penulisan dan pengucapannya. Maka, kemampuan mencerna kalimat berhasil didapatkan.

Kemudian, semakin tinggi kelas mereka akan makin banyak berhubungan dengan buku yang kaya akan teks-teks bacaan. Mulailah mereka berinteraksi dengan beragam ilmu pengetahuan. Ketika sampai menyelesaikan pendidikan sarjana, mereka telah bisa menuliskan karya ilmiah dalam bentuk skripsi.

Tak terhitung waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan buku, membuat pola pokir terkondisikan dan menjadi panduan memahami realitas sosial dan natural yang dihadapi. Ini bukanlah pola yang instan.

Ben Carson dalam bukunya Think Big mengemukakan membaca akan menggerakkan dan melatih pikiran. Membaca akan memaksa pikiran untuk memilah. Dari awal, si pembaca harus mengenal huruf-huruf yang dicetak di halaman buku, lalu membuat huruf-huruf itu menjadi kata, kata-kata menjadi kalimat dan kalimat-kalimat menjadi konsep.

Membaca juga mendorong kita untuk menggunakan imajinasi dan membuat kita cenderung lebih kreatif. Membaca buku merupakan resep diet terhadap budaya instan yang mudah dan murah. Buku banyak tersedia di sekitar kita dari pedagang kaki lima sampai toko buku dalam supermal. Buku juga tersedia di perpustakaan-perpustakaan, dari perpustakaan sekolah sampai perguruan tinggi, dari perpustakaan umum sampai perpustakaan masjid.

Bahkan, kini buku telah tersimpan dalam rak-rak buku di langit berkat teknologi cloud computing yang siap diunduh dan dibaca melalui komputer tablet yang ringan dalam genggaman tangan. Menyambut WBD ini, mari ambil buku kita masing-masing dan mulai membuka lembar halaman-halamannya.

Mari membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat. Menyimak paragraf demi paragraf, bab demi bab. Mencerna dan merenungkan wacana yang disampaikan. Melakukan kontemplasi dan elaborasi terhadap sepenggal hikmah yang terkemas.

Membaca dalam laku demikian sebagai upaya terapi terhadap racun budaya instan yang mungkin telah menyergap sanubari kita, bak kolesterol jahat yang mengendap di pembuluh darah kita. Melalui membaca buku, analisis akal dan nurani akan terjaga. Dengan demikian, kita tak mudah tergoda oleh kemasan semata dan selalu jeli meniti esensi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya