SOLOPOS.COM - Vitradesie Noekent (Doc/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (26/11/2015), ditulis Vitradesie Noekent. Penulis adalah mahasiwa Program Doktor Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.

Solopos.com, SOLO — Ketika rancangan undang-undang (RUU) ihwal dwikewarganegaraan kelak disahkan menjadi undang-undang (UU), saya memperkirakan kemaslahatan yang luar biasa bagi setidaknya dua pihak: diaspora Indonesia dan perekonomian Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Diaspora Indonesia sebagai aktor utama telah mengadvokasi pembahasan RUU ini dalam Kongres Diaspora Indonesia III, 12-14 Agustus 2015, di Jakarta dan Javanese Diaspora Network, 15-16 Agustus 2015, di Jogja.

Cita-cita besar mereka adalah mengubah undang-undang kewarganegaraan Indonesia yang saat ini masih menganut asas kewarganegaraan tunggal menjadi asas dwi kewarganegaan (DK). Asas kewarganegaraan ganda ini memungkinkan seseorang tidak kehilangan kewarganegaraan negara asalnya apabila ia mengambil kewarganegaraan negara lain.

Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) cita-cita besar tersebut menjadi semakin nyata.  Pada sesi dialog dengan anggota diaspora Indonesia di Washington DC bulan lalu, Presiden Jokowi menyatakan dukungannya terhadap RUU yang berkaitan dengan DK dan akan mendorong rancangan tersebut dapat direalisasikan secepatnya.

Apa dan siapa diaspora Indonesia?  Secara etimologi, diaspora bermakna penyebaran. Dalam konteks pergerakan manusia, diaspora merujuk orang Indonesia  yang menetap di negara lain karena berbagai alasan, misalnya untuk belajar, bekerja mencari penghidupan yang lebih baik, atau tujuan keluarga lainnya.

Sebagai salah satu konsekuensi terjadinya globalisasi, fenomena diaspora menjadi bentuk kekuatan ekonomi baru bagi sebuah bangsa. Mereka memiliki pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan jaringan yang mungkin tidak akan pernah ditemui di negara asalnya.

Pada level mikro, diaspora menjadi identitas kolektif untuk berbagai profesi, yaitu artis (kita mengenal Anggun C. Sasmi, Cinta Laura, Joe Taslim), profesional (seperti Sri Mulyani yang bekerja di Bank Dunia), akademisi, pengusaha, dan termasuk buruh migran yang menyandang status tenaga kerja Indonesia.

Warga perantau ini bermanfaat dalam transfer teknologi yang berdampak positif bagi kedua negara, yakni negara asal dan negara tempat domisili. Menurut Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, terdapat empat kelompok diaspora Indonesia.

Kelompok pertama adalah warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri. Mereka masih memegang paspor Indonesia secara sah. Berdasar data dari 167 kedutaan besar dan perwakilan Indonesia di luar negeri, saat ini diperkirakan ada sekitar 4,7 juta WNI di luar wilayah Indonesia.

Kelompok kedua adalah warga Indonesia yang telah menjadi warga negara asing karena proses naturalisasi dan tidak lagi memiliki paspor Indonesia.  Kelompok ketiga adalah warga negara asing yang memiliki orang tua atau leluhur yang berasal dari Indonesia.

Kelompok yang keempat sama sekali berbeda. Kelompok ini adalah warga negara asing yang tidak memiliki pertalian leluhur dengan Indonesia sama sekali namun memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap Indonesia.

Pada beberapa kasus banyak diaspora Indonesia karena keadaan tertentu harus mengambil kewarganegaraan kedua dan menanggalkan kewarganegaraan Indonesia tidak lain karena status kewarganegaraan negara lain lebih menjanjikan masa depan yang gemilang.

Jumlah orang Indonesia yang hidup dan berkarya di luar negeri diperkirakan hanya  berjumlah 7 juta-8 juta jiwa. Dari jumlah itu, sebagian sudah melepas kewarganegaraan Indonesia, padahal negara-negara lain yang jumlah diasporanya jauh lebih banyak telah menerapkan kebijakan khusus: status kewarganegaraan ganda terhadap mereka.

RUU DK hendaknya diarahkan untuk mengatasi persoalan mempertahankan keindonesiaan seseorang tanpa harus menghadapi dilema pilihan kewarganegaraan. Indonesia sebenarnya telah memiliki UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan sebagai penyempurna UU yang sama yang terbit pada 1958, walau belum mengatur mekanisme DK secara spesifik.

Guna menyempurnakan UU  tersebut dan mengakui status DK, para diaspora membentuk Indonesia Diaspora Network (IDN) yang tersebar di 34 negara.  Menurut tim advokasi IDN, Dita Nasroel, terdapat tiga definisi subjek hukum yang akan diperjuangkan IDN dalam UU tentang DK.

Pertama, para WNI yang karena tuntutan pekerjaan atau perkawinan menjadi warga negara asing. Kelompok ini diperjuangkan agar tidak kehilangan status kewarganegaraan Indonesia. Kedua, eks-WNI beserta anak-anak mereka yang ingin kembali menjadi warga negara Indonesia.

Ketiga, mereka yang menjadi warga negara asing bukan karena kehendaknya seperti, misalnya anak-anak diaspora Indonesia yang lahir di luar negeri. Diaspora Indonesia adalah aset bangsa Indonesia yang telah memuliki kultur kompetisi global.

Agar sebuah bangsa dapat berkompetisi secara global maka penduduknya juga harus dapat berkompetisi secara global. Potensi terbesar diaspora Indonesia sebenarnya adalah memberikan inspirasi pada komponen bangsa yang lain bahwa diaspora Indonesia mampu berkompetisi di level global.

Bagi perekonomian nasional, diaspora Indonesia merupakan nonstate actor yang perannya sangat penting dalam pembangunan nasional terutama melalui remitansi atau devisa masuk. Sejumlah sumber menyebutkan pada 2014 remitansi tersebut senilai US$8,4 miliar atau sekitar Rp115 triliun, baik dari TKI maupun profesional.

Mengingat ASEAN Free Trade Area telah diberlakukan sepenuhnya pada 2015 ini, status DK akan membuat warga lebih bebas untuk berbisnis di negara lain. Informasi ekonomi dan alih teknologi bisa terjadi tanpa kendala atau batas.

Hal lainnya, seperti ASEAN Trading Link akan menjadi sarana komunikasi bursa antara Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Biaya menjadi semakin murah dan jumlah investor akan bertambah banyak.

Hal ini merupakan permulaan  yang baik untuk menguatkan pilar-pilar ekonomi regional,  memberi seorang warga landasan hukum untuk membuka bisnis dan mendapatkan karyawan di berbagai negara.

Selain itu, status DK mampu melindungi anak dari pasangan yang berbeda kewarganegaraan.  Orang-orang berpendidikan internasional dan multibudaya juga lebih termudahkan dalam mencari kerja atau dipekerjakan di berbagai negara tanpa kendala imigrasi. [Baca: Aktivitas IDN]  

 

Aktivitas IDN
IDN adalah organisasi global pertama diaspora Indonesia. Berdasar petikan wawancara antara detik.com dengan Mohamad Al-Arief selaku Ketua IDN yang berprofesi sebagai Senior Officer Bank Dunia, di Washington DC terdapat 13.000 orang, sedang di Los Angeles jumlahnya lebih besar lagi, sekitar  40.000 ribu orang.

IDN memiliki 12 gugus tugas  yang memikirkan bakti bangsa, misalnya ada gugus tugas pendidikan tinggi yang memikirkan bagaimana para akademisi diaspora Indonesia bisa membantu para administrator universitas di Indonesia untuk menjadikannya sebagai universitas kelas dunia.

Gugus tugas kuliner memikirkan bagaimana khazanah kuliner Indonesia dapat mendunia seperti halnya kuliner Thailand atau Jepang. Dengan topik sederhana, efeknya sangat luar biasa. Kuliner akan menjadi diplomacy tool yang luar biasa.

Beberapa riset menunjukkan korelasi antara kesuksesan pemasaran kuliner dan pariwisata.  Ada pula yang membantu pemerintah daerah membangun kota layak huni. Pada 2015 ini, IDN telah bermitra dengan Pemerintah Kota Bandung membangun kota layak anak.

Harapannnya, model kemitraan ini dapat direplikasi oleh pemerintah daerah lainnya.  Bupati Nurdin Abdullah yang berhasil mengubah Kabupaten Bantaeng menjadi agropolitan adalah bukti keberhasilan jaringan yang dibangunnya selama menjadi diaspora di Jepang.

Menurut Dr. Satya Arinanto yang menyiapkan naskah akademik tentang DK, perjuangan pelagalan kewarganegaraan ganda ini telah dimulai sejak 2011 dengan pengumpulan 5.500 tanda tangan, pengajuan petisi kepada wakil ketua DPR dan Komisi III DPR RI serta wakil pemerintah di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saat Kongres Diaspora Indonesia I pada  2012.

Secara masif, IDN juga melakukan uji publik berupa seminar di enam universitas berbagai kota Indonesia untuk mengumpulkan kajian ilmiah dari berbagai aspek sebagai dasar rancangan.    

Di balik potensi yang terbukti keberhasilnya, beberapa pihak mengkhawatirkan ekses negatif status DK.  Pertama, berkaitan dengan isu nasionalisme, loyalitas, dan kecintaan pada negara asal.  Atas ekses negatif ini, kita menyaksikan bahwa hal ini terbantahkan dengan kehadiran 2.000 diaspora Indonesia pada Kongres Diaspora Indonesia III tahun ini yang bertema Diaspora Bakti Bangsa.



Para diaspora datang dari lima benua, mengorbankan waktu dan materi untuk hadir di sini. Mereka membiayai diri mereka sendiri untuk datang dan mengambil cuti dari pekerjaan, bersama-sama dengan yang di Indonesia merayakan 70 tahun kemerdekaan dan memikirkan hal-hal konkret yang bisa disumbangsihkan kepada bangsa.

Kedua, kekhawatiran akan terorisme, keamanan imigrasi, dan berbagai buruk hal lain yang terjadi di Indonesia menyangkut kewarganegaraan ganda. Ini juga terjadi di berbagai negara yang telah menerapkan sebelum mereka menjalankan kebijakan ini.

Perubahan asas kewarganegaraan tunggal ke ganda juga menyimpan sejuta permasalahan karena dampak dari perubahan tersebut tentu akan berimbas pada perubahan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti UU ihwal agraria, perkawinan, politik, dan sejumlah undang-undang lainnya yang harus dikaji ulang.

Mahardika (2015) memperkirakan peralihan tersebut akan mengubah ratusan produk hukum dan aturan di Indonesia. Perubahan masif tersebut tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit serta proses yang tidak cepat. Pihak yang paling diuntungkan dengan perubahan ini hanyalah beberapa orang sementara apa yang akan negara dapatkan masih menjadi tanda tanya besar. [Baca: Solusi ]

 

Solusi
Pemerintah Indonesia dapat mempelajari kebijakan DK dari negara lain.  Selain Tiongkok yang memiliki jumlah diaspora terbesar, sekitar 80 juta, kita dapat belajar dari diaspora India yang berjumlah lebih dari 60 juta orang.

Pemberlakuan DK yang terbatas, yaitu Overseas Citizenship of India (OCI) dan Person of Indian Origin (PIO), maka OCI memberi kesempatan kepada orang India yang lahir di luar India dan memiliki kewarganegaraan lain.

Sedangkan PIO ditujukan kepada orang India yang lahir di India atau memenuhi syarat menjadi warga negara India sejak 26 Januari 1950.  Berbeda dengan kewarganegaraan penuh, para pemilik OCI tidak boleh memiliki tanah dan berpartisipasi dalam politik di negeri asal.

Diaspora India tersebut di antaranya adalah para pekerja ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlokasi di pusat teknologi Silicon Valley, Amerika Serikat. Satya Nadela telah menjadi monumen kesuksesan diaspora India tatkala menduduki jabatan CEO Google pada 2014.



Di Indonesia terdapat banyak pemilik korporasi yang berasal dari diaspora India, antara lain S.P. Lohia yang mendirikan Indorama Group, Sinivasan Marimutu dengan Texmaco Group, Mittal dengan Ispat Group, Raam Punjabi yang membangun kerajaan industri film dan Harris Lasmana yang mendirikan Cinema 21.

CEO dan kepala cabang negara menambah panjang daftar kesuksesan diaspora India: Ranjana Singh menjadi CEO WPP – kelompok komunikasi terbesar di Indonesia, VP Sharma memimpin Mitra Adi Perkasa–perusahaan ritel terbesar di Indonesia, Thomas Malayil di Lippo Malls–operator pusat perbelanjaan terbesar di Indonesia, serta Dr. Gershu Paul di Siloam Hospitals–jaringan layanan kesehatan terbesar di Indonesia.

Diaspora India di Indonesia dipersatukan oleh beberapa organisasi yang memiliki landasan kuat di masyarakat seperti Gandhi Seva Loka (lembaga amal di bidang pendidikan dan sosial) dan The India Club (tempat berkumpulnya kelompok profesional).

Pendekatan yang sistematis dalam mengembangkan diaspora India diilhami Tiongkok mengelola diaspora beberapa dekade silam dan pertumbuhan pesat ekonomi Tiongkok juga membuat pemerintah India menyadari arti pentingnya diaspora.  Pemerintah India mulai aktif mengelola diaspora sebagai mitranya dalam mewujudkan kebangkitan India.

Para pemangku kebijakan hendaknya memandang diaspora ini sebagai potensi luar biasa dan aset bangsa yang harus digali dan bukan sebagai ancaman.  Setidaknya terdapat 56 negara yang telah melakukan strategi extended-nation dan bisa menjadi template bagi Indonesia.

Apa saja yang telah dilakukan pemerintah Indonesia?  Berdasar keterangan Ketua IDN di Kementerian Luar Negeri, Wahid Supriyadi, pemerintah Indonesia memberi respons positif dengan menawarkan kemudahan bagi diaspora Indonesia eks-WNI yang ingin tinggal di Indonesia dalam waktu terbatas dengan visa tinggal terbatas (vitas) yang berlaku selama dua tahun dan dapat diperpanjang dua kali berturut-turut.

Menteri Luar Negeri Retno L.P Marsudi menjelaskan pemerintah telah mendiskusikan rancangan tersebut dan telah mencapai kemajuan.  Pemerintah percaya populasi diaspora Indonesia di luar negeri memiliki potensi yang besar untuk mendukung perekonomian nasional. [Baca : Koneksi]

 

Koneksi
Salah satu ciri Diaspora Indonesia saat ini masih belum sepenuhnya terkoneksi satu sama lain, masih terpecah-pecah, belum terorganisir, dan belum menjadi suatu kekuatan sosial budaya.  DK bukan hanya soal moneter tetapi soal potensi bangsa dalam usaha menuju kemakmurannya.



Memang disadari bahwa kompleksitas permasalahan di Indonesia, konstelasi politik nasional serta efek negatif teknologi informasi dan komunikasi membuat beberapa pihak menyangsikan kemaslahan status DK.

Belajar dari Diaspora Tiongkok dan Diaspora Yahudi yang telah menguasai jejaring teknologi dunia, maka status DK menjadi sebuah persyaratan mutlak bagi bangsa Indonesia untuk bersaing di level global, mempertahankan keunggulan kompetitifnya secara berkelanjutan.

Bagaimanapun, suatu hasil positif telah dicapai dari beberapa Kongres Diaspora Indonesia tahun 2013 – 2015, setidaknya di Amerika Serikat yang sudah mulai menunjukkan hasil. Diaspora Indonesia di negeri Paman Sam kini sudah mulai terkoneksi dan spontan bergerak ketika ada masalah yang menimpa sesama diaspora Indonesia seperti bencana alam atau kasus-kasus lainnya.

DK seharusnya tidak disalahartikan sekedar loyalitas kepada negara. Sebaliknya, dalam konteks diaspora Indonesia, hendaknya loyalitas tiap individu pada negaranya masing-masing tetap dihormati.

Tidak semua orang yang terlibat dalam diaspora Indonesia adalah WNI. Maka, pihak Indonesia tidak mungkin meminta diaspora Indonesia untuk loyal kepada negara Indonesia,  juga tidak pula berarti harus pulang ke Indonesia. Hal yang terpenting dalam Diaspora Indonesia adalah konektivitas.

Nasionalisme yang mengalir dalam darah orang akan semakin mengental mana kala mereka tak harus menghadapi dilema.  Diaspora Indoensia akan senantiasa berperan penting di mana pun mereka berada, dan menciptakan lingkungan sendiri di sebagian besar negara-negara yang mereka anggap sebagai rumah sendiri khususnya di era globalisasi.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya