SOLOPOS.COM - Rumongso (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (13/6/2015), ditulis Rumongso. Penulis adalah Guru SD Djama’atul Ichwan Program Utama Solo.

Solopos.com, SOLO — Ketika kita menyaksikan kisah dalam pewayangan, mengapa dalam setiap peperangan antara Kurawa dan Pandawa kemenangan selalu berada di pihak Pandawa?

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Jawaban klisenya adalah karena Pandawa memiliki watak yang baik sehingga mereka ditolong para Dewa. Ini stereotip bahwa yang baik hati/protagonis pasti menang, mengalahkan tokoh jahat/antagonis.

Sebenarnya bukan itu jawabanya. Kekalahan para Kurawa dalam setiap peperangan lebih disebabkan perbedaan ”laku” dengan Pandawa. Kurawa dipersepsikan sebagai jarang melaksanakan atau menjalani ”laku” hidup.

Mereka digambarkan dekat dengan dunia yang dalam istilah Jawa disebut sebagai ”malima”, yaitu main (berjudi), madon (main perempuan), madat (mengisap candu), minum (suka mabuk), dan maling (mencuri).

Pandawa dipersepsikan sebagai pihak yang benar namun selalu menerima cobaan dan rintangan sebagai jalan menjadi seorang kesatria. Pandawa gemar bertapa untuk mendapatkan kemuliaan, suka berguru untuk menambah wawasan dan ilmu. Mereka jauh dari dunia ”malima”.  Mereka tidak silau dengan pujian dan meratapi ketakutan, seperti kata Socrates, ”Nec laudibus, nec timore.” Bahwa hidup dengan mengedepankan laku dan darma seorang satria itu memang tidak mudah.

Dalam istilah kosmologi Jawa ini disebut sebagai dharmaning satriya (darma seorang satria), yakni salah satu fase kehidupan yang harus dilewati kaum kesatria. Dalam pertempuran besar Baratayuda, senjata para Pendawa adalah senjata yang diperoleh lewat jalan hidup penuh keprihatinan.

Kurawa membawa senjata yang sudah diberi jampi–jampi, kesaktian pemberian para resi dan begawan berwatak hitam. Kurawa bangga dengan kesaktian para resi dan begawan backing mereka.

Mereka pamer kesaktian. Tidak jarang senjata mereka terkadang memakan diri mereka sendiri karena mereka tidak mengetahui sisik melik atau asal usul pusaka itu. Kurawa tidak suka menjalani dharmaning satriya sebagaimana Pendawa.

Kita sekarang hidup di era yang serbainstan, serbacepat, dan mengutamakan jalan pintas. Ada yang ingin jadi artis terkenal dengan membayar mahal dan membuat gosip agar dikenal masyarakat. Ada yang ikut audisi pencarian bakat yang hasilnya mirip obor blarak (daun kelapa kering yang dibakar).

Agar menjadi polisi, tentara, pegawai negeri sipil ada yang membayar ratusan juta rupiah. Untuk menjadi anggota parlemen, bupati, wali kota, gubernur, dan jabatan publik lainnya ada yang mengeluarkan uang hingga puluhan miliar rupiah.

Jangan heran ketika mereka mendapatkan apa yang diinginkan ternyata kemudian korupsi sebab yang didapatkan tidak sebanding dengan yang telah mereka keluarkan. Mereka dipuja karena kedudukan dan jabatan yang kemudian membawa mereka ke penjara.

Mereka menjadi satriya wirang, kesatria yang dipermalukan. Ini adalah watak Kurawa yang memiliki keinginan hidup mulia namun menapaki jalan yang salah. Janganlah silau dengan mereka yang tampil laksana satria Pandawa namun sejatinya adalah barisan Kurawa.

Hal ini akan terjadi menjelang pemilihan kepala daerah serentak pada Desember mendatang. Ribuan baliho calon kepala daerah dengan senyum menawan akan meneror pandangan mata kita di sepanjang jalan. Kita tidak mengenal mereka dan kita disuruh memilih mereka. Kita tidak tahu mereka ini kategori para satria atau pecundang.

Silakan Anda hitung berapa biaya yang telah mereka keluarkan untuk kampanye, mencari kendaraan politik, menggali dukungan, membuat tim sukses lalu bandingkan dengan pendapatan resmi mereka. Niscaya besar pasak daripada tiang. [Baca: Bambang Ekalaya]

 

Bambang Ekalaya
Kita tidak menginginkan sosok Bambang Ekalaya alias Palguna yang menjadi naif karena menginginkan kesaktian. Ia menempuh jalan sulit untuk menjadi satria, seperti bertapa di tengah hutan tanpa makan dan minum.

Ketika ia memperoleh kesaktian, ia mencari Pendeta Durna, sosok yang sangat ia kagumi. Ia berharap diakui Durna sebagai muridnya. Ia pamer kesaktian dengan memanah kijang tanpa melihat dan ternyata panah itu persis mengenai mulut kijang itu.

Melihat kesaktian Ekalaya, Durna meminta sebuah syarat bila ia mau diakui sebagai muridnya, yakni meminta Ekalaya memotong dua jarinya. Tanpa berpikir panjang, ia menuruti. Yang terjadi adalah ia kehilangan kemahiran memanah karena kehilangan dua jari.

Menjadi dan memiliki hidup yang mulia memang mimpi siapa pun. Banyak orang yang mirip Bambang Ekalaya di sekitar kita. Di rumah, di kantor, di lingkungan masyarakat, di pemerintahan. Orang baik akan dihalangi untuk melaksanakan kebajikan.

Pejabat yang tulus akan direcoki, dijerumuskan, dibuat tidak berdaya, bahkan dijauhkan dari rakyat yang dicintainya. Orang–orang di sekitar seorang satria berkata manis, bahkan rela menyembah, saat berada di depannya, namun di belakang mereka menjelek-jelekkan satria itu.

Dunia ini penuh orang licik yang siap menikam dari belakang. Tanpa pengetahuan yang memadai, seorang satria akan menjadi bulan–bulanan lawan politiknya. Banyak sosok seperti Durna yang seolah berbicara dengan nada menuntun, namun sejatinya njlomprongke (menjerumuskan).

Ada sosok mirip Patih Sangkuni yang seolah member jalan terang namun sejatinya gemar melakukan konspirasi jahat. Ada Togog Tejomantri yang selalu mengamini apa kata majikan tanpa mengetahui esensinya, tentu dengan tujuan kepentingannya tercukupi. Kita hidup laksana dunia pewayangan. Dunia ini panggung sandiwara. Darma seorang kesatria yang akan menyelamatkan kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya