SOLOPOS.COM - M. Dalhar mbahdalhar7@gmail.com Alumnus Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Anggota Jemaah Ahbabul Musthofa Solo

M. Dalhar  mbahdalhar7@gmail.com     Alumnus Jurusan Ilmu Sejarah  Fakultas Sastra dan Seni Rupa  Universitas Sebelas Maret  Anggota Jemaah  Ahbabul Musthofa Solo

M. Dalhar
mbahdalhar7@gmail.com
Alumnus Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Anggota Jemaah
Ahbabul Musthofa Solo

Beberapa tahun belakangan komunitas perempuan berkerudung dan atau berjilbab yang lebih dikenal dengan sebutan hijabers community kian mudah dijumpai di beberapa kota, termasuk di Kota Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jilbab atau kerudung yang dulu berfungsi utama sebagai penutup aurat, kini tidak sekadar menjadi bagian dari syariat, tetapi juga menjadi gaya hidup kaum Hawa.

Jilbab atau hijab secara bahasa berasal dari kata jalaba yang berarti menghimpun atau menutup. Sesuai dengan namanya, kemudian model penutup kepala ini dipakai oleh perempuan di negeri-negeri berpenduduk muslim dengan berbagai model dan nama yang berbeda-beda.

Di Indonesia disebut jilbab atau kerudung, di Iran disebut chador, di India dan Pakistan disebut pardeh, di Libya disebut milayat, di Irak disebut abaya, di Turki disebut charshaf, dan tudung adalah sebutan di Malaysia. Di negara-negara Arab-Afrika disebut hijab.

Komunitas ini dengan mudah tumbuh pesat dan menyebar di berbagai kota besar dan kecil di Indonesia. Misalnya saja Solo Hijabers yang diluncurkan pada 9 September 2011 dan kini mempunyai anggota kurang lebih 150 orang dengan 30 komite. Mereka berasal dari berbagai latar belakang.

Kebanyakan anggotanya tergolong masih muda. Mereka yang sudah menikah atau pernah menikah juga mendirikan Hijabers Mom Community (HMC). Di kawasan Soloraya, HMC diluncurkan pertengahan November lalu dengan menghadirkan Dewi Sandra.

Meski berbeda segmen, keduanya mempunyai kesamaan visi, yakni menjadi komunitas yang berguna bagi sesama, serta menjadi wadah positif bagi muslimat untuk belajar dan saling berbagi.

Adapun misi utama yang ingin dicapai adalah memperdalam dan berbagi ilmu pengetahuan tentang Islam. Dengan berbagai kegiatan, diharapkan anggota komunitas ini menjadi muslimat yang tak hanya cantik secara lahir, tetapi juga cantik secara batin.

Merebaknya para pemakai jilbab atau hijab yang kemudian disebut hijabers pada awalnya muncul dari kreasi para desainer muda di Jakarta yang mendirikan hijabers community.

Hijab yang menjadi sarana penutup aurat bagi muslimat didesain dengan apik sehingga menjadikan perempuan lebih cantik dan anggun serta tidak ketinggalan mode. Dari desain yang menarik inilah kemudian semakin banyak perempuan yang memutuskan untuk berjilbab.

Tak hanya orangtua, namun kini remaja bahkan anak-anak pun mulai banyak yang menggunakan jilbab atau hijab. Hijabers community tidak sekadar menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang berjilbab, tetapi juga tempat untuk belajar ilmu-ilmu agama.

Selain itu, ada beberapa kegiatan strategis misalnya pelatihan kewirausahaan, pelatihan membuat jilbab dengan berbagai gaya, talkshow, dan beberapa kegiatan strategis lainnya.

HMC Semarang yang terbentuk pada 8 Juli 2012 tidak hanya aktif menyelenggarakan kajian rutin keagamaan, tetapi sudah merambah ranah pengembangan diri dalam dunia wirasawata bagi para anggotanya.

Problematika

Fenomena hijabers yang tumbuh sumbur di berbagai kota di Indonesia menarik untuk dikaji. Jilbab yang dulu dianggap sebagai model pakaian perempuan pedesaan yang kalem, kini menjadi tren yang laris manis di tengah masyarakat.

Bahkan tidak sedikit artis, pejabat, maupun public figure yang mengenakan jilbab. Dalam buku Konteks Berteologi di Indonesia karya Azyumardi Azra (2009) secara sederhana dijelaskan tentang pola-pola artikulasi keberagamaan dalam beberapa waktu terakhir.

Berdasarkan penjelasan dalam buku itu, fenomena hijabers yang tumbuh subur di beberapa kota besar dan kota kecil di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kelompok Islam formalis, bukan Islam substansial.

Tipe kelompok Islam formal ini lebih menekankan pada ketaatan formal dan hukum agama yang dalam konteks sosial kemasyarakatan sering diekspresikan dalam bentuk-bentuk secara lahiriah semacam simbol keagamaan.

Ekspresi keagamaan harus diwujudkan secara eksplisit dalam setiap bidang kehidupan. Bentuknya pun bermacam-macam seperti gaya pakaian yang serba islami, bank syariat, asuransi syariat, bank griya Islam, dan berbagai atribut Islam lainnya. Atau dengan kata lain, kelompok ini memahami agama masih sebatas sampulnya.

Kondisi tersebut berbeda dengan Islam substansial. Pada prinsipnya, paradigma pemahaman keagamaan Islam substansial mementingkan substansi atau isi daripada label atau simbol-simbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama.

Dalam konteks sosial kemasyarakatan, kelompok Islam formalis lebih peduli pada pengembangan dan penerapan nilai-nilai Islam secara eksplisit saja. Para pendukung kelompok ini sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusif, toleran, dan menghormati keragaman.

Di tengah menjamurnya perempuan berjilbab, ada sebuah tantangan besar yang dihadapi hijabers community. Belakangan ini cukup banyak perempuan yang mengenakan jilbab atau hijab, tetapi masih dengan penampilan yang berlawanan dengan spirit berhijab, yaitu menutup aurat.

 



Rancu

Selama ini banyak kalangan perempuan yang rancu dalam memahami jilbab. Sebagian dari mereka menganggap dengan mengenakan kerudung yang dikombinasikan dengan pakaian ketat dan celana panjang berarti telah berjilbab. Ini pemahaman yang kurang tepat dan jauh dari misi disyariatkannya jilbab itu sendiri.

Bahkan ada kesan yang muncul bahwa perempuan yang berjilbab dengan model seperti itu hanya main-main saja, bukan berangkat dari ketaatan. Cara berjilbab yang salah kaprah seperti ini justru menimbulkan citra negatif terhadap perempuan berjilbab.

Realitas membuktikan tidak sedikit perempuan berjilbab dengan berbagai model menarik ternyata perilaku atau akhlak mereka justru memprihatinkan. Jilbab yang pada awalnya mengandung maksud untuk menjadikan pemakainya lebih terhormat, tetapi sekarang sepertinya hanya menjadi fashion. Hanya agar terlihat modis dan trendi.

Hijabers community yang tersebar di berbagai kota memiliki peran strategis untuk mengampanyekan berjilbab dengan trendi dan modis tanpa harus meninggalkan spirit dari hijab itu sendiri. Ketika mereka berjilbab, itu merupakan suatu langkah yang harus diapresiasi.

Berjilbab adalah langkah awal untuk memperbaiki diri. Langkah selanjutnya adalah menggalakkan berbagai kajian keislaman, misalnya kajian fikih perempuan yang fokus membahas problematika tentang keperempuanan.

Kegiatan ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan berbagai organisasi perempuan yang sudah ada, misalnya dengan Fatayat Nahdlatul Ulama, Muslimat Nahdlatul, Nasyiyatul Aisyiyah, Aisyiyah, atau organisasi perempuan lainnya.

Dengan ikhtiar tersebut diharapkan dapat meminimalisasi dan memperbaiki ”citra negatif” hijabers yang belakangan mengemuka. Anggapan perempuan berjilbab hanya sebagai kedok atau topeng untuk menutupi dari kejahatan dapat dihilangkan.

Berbagai kegiatan dan utamanya kajian keperempuanan yang dilaksanakan pada akhirnya dapat menjadi pembangun kesadaran bersama bagi para hijabers bahwa pakaian yang dikenakan tidak sekadar fashion, tetapi juga mempunyai makna.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya