SOLOPOS.COM - Ilustrasi dangdung (radiostream.us)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (20/01/2018). Esai ini karya A. Windarto, peneliti di Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah winddarto@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Esai Aris Setiawan berjudul Sriwedari, Dangdut, dan Ruang Pelarian (Solopos, 27 Desember 2017) menarik untuk dikaji lebih jauh. Artinya, bukan hanya karena Taman Hiburan Remaja (THR) Sridewari ditutup dan dialihfungsikan menjadi tempat ibadah maka panggung dangdut, khususnya di Solo, hilang, bahkan dikhawatirkan mati.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Masih ada sisi lain dari balik panggung dangdut yang bukan sekadar ruang pelarian, melainkan juga merupakan wujud dari budaya tandingan. Merujuk Kuntowijoyo dalam tulisan berjudul Kawula: Sumur Ajaib sebagai Budaya Tandingan (2004) dapat ditemukan bahwa imajinasi rakyat (wong cilik) sebagai kawula tidak pernah mati.

Hal itu telah menjadi entitas bawah sadar masyarakat bawah yang selalu dihadapkan pada kegelisahan sosial secara nyata akibat perubahan lingkungan sosial dan budaya zaman. Tak mengherankan dalam kehidupan rakyat kebanyakan senantiasa ada harapan yang berwujud mesianisme atau milenarianisme agar dapat keluar (sejenak) dari tuntutan perubahan tersebut.

Selanjutnya adalah: Cerita sumur ajaib yang beredar di Laweyan

Sumur Ajaib

Salah satunya melalui cerita tentang sumur ajaib yang pernah beredar di daerah Laweyan, Solo, pada awal abad ke-20. Dari cerita itu dapat dipelajari bahwa meski secara historis cerita itu tidak serta-merta bisa dikatakan sungguh-sungguh terjadi, namun bukan berarti hal itu adalah ahistoris.

Dengan kata lain, cerita itu tetap mempunyai makna historis yang bernuansa psikologis karena ada banyak surat kabar yang memuat hingga akhinya polisi menutup sumur tersebut.

Jadi, bukan semata-mata perkara empiris-rasional belaka, tetapi bahwa pengalaman massa yang tergerak oleh cerita itu memperlihatkan betapa rakyat mempunyai cara yang unik untuk menanggapi apa yang terjadi di sekitar mereka dalam bentuk budaya tandingan.

Budaya tandingan sebagai alternatif dari pengaruh kekuasaan dan dominasi budaya lokal, khususnya keraton, yang sedemikian mengakar serta ditambah dengan budaya kota yang sedang tumbuh telah menciptakan beragam kepercayaan yang aneh, tidak lazim, alias tidak masuk akal.

Selanjutnya adalah: Dalam konteks zaman yang sedang bergerak

Zaman Bergerak

Dalam konteks zaman yang sedang bergerak itu, segenap kepercayaan tersebut menjadi pengalaman baru, luar biasa, dan menggairahkan yang membuat orang-orang biasa tertarik untuk mengikuti (Shiraishi, 1997).

Itulah mengapa tidak sedikit orang yang terlibat sebagai anggota Sarekat Islam (SI) lantaran dalam cerita itu digambarkan simbol-simbol seperti gajah, harimau/macan, haji yang berzikir, bintang dan rembulan yang merupakan representasi dari gerakan SI pada saat itu.

Termasuk juga simbol-simbol ”kemajoen” yang diwakilkan melalui ”gambar idoep” sebagai penampakan dari gaya hidup modern di Solo dengan kehadiran bioskop kali pertama pada 1914. Bukan kebetulan jika sejak semula Taman Sriwedari telah menjadi simbol kemajuan dan pergerakan rakyat pada zaman itu.

Sebagaimana dikisahkan Mas Marco Kartodikromo dalam novel berjudul Student Hidjo (2000), bahwa di ”Sri Wedari: kebon binatang kepoenjaan Hingkang Sinoehoen di Solo” itulah kaum muda mengalami perjumpaan dengan dunia Barat yang modern dan mendapatkan kesadaran nasional sebagai bumiputra di Hindia Belanda.

Dengan demikian, Sriwedari telah menjadi saat dan tempat yang tepat untuk menampilkan cita-cita sebagai pribumi atau bumiputra yang setara dan sederajat dengan bangsa-bangsa mana pun, termasuk bangsa Barat (Belanda/Eropa).

Selanjutnya adalah: Kehadiran panggung dangdut di Sriwedari

Panggung Dangdut

Kehadiran panggung dangdut di Sriwedari tentu tidak serta-merta mencerminkan cita-cita awal nasionalisme kerakyatan tersebut. Selain karena berbeda era/zaman, juga lantaran dangdut sejak semula telah dijadikan salah satu produk politik kebudayaan oleh para penguasa, terutama di tingkat lokal.

Solo dan Jogja termasuk sebagian kota yang diciptakan sebagai pewaris dari kebudayaan adiluhung, khususnya di Jawa. Dangdut sesungguhnya menjadi semacam panggung simbolis bagi penguasa lokal, terutama keraton di Solo dan Jogja, untuk memperagakan kekuasaan.

Itu artinya, rakyat, terutama para penonton pertunjukan dangdut, (diwajibkan?) hadir serentak sebagai massa yang diberi kesempatan untuk menikmati hiburan secara tertib, teratur, dan disiplin. Dengan kata lain, hiburan yang tidak menimbulkan kebisingan, kekacauan, apalagi keseronokan itu diharapkan mampu menjaga keharmonisan masyarakat.

Keharmonisan itu merupakan kunci dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa yang diupayakan hadir dengan cara mengatur atau mengendalikan beragam penglihatan dan/atau pendengaran di sekitarnya. Sedangkan dangdut adalah bagian dari musik atau lagu yang menghasilkan bunyi, suara, atau kebisingan yang kerap sulit dikendalikan, bahkan oleh pesan keberagamaan tertentu seperti pernah terjadi di arena pasar malam perayaan sekaten.

Berbeda dengan gamelan yang pada dasarnya berfungsi untuk ”menciptakan” masyarakat (pendengar) yang pasif dan masif, musik dangdut justru menggugah wilayah bawah sadar masyarakat yang mendengar dan menontonnya, terutama secara massal.

Selanjutnya adalah: Musik jenis itu tidak hanya mengutamakan bunyi

Tidak Hanya Bunyi

Hal itu dimungkinkan lantaran musik jenis itu tidak hanya mengutamakan bunyi atau suara, tetapi juga goyang(an) tubuh. Goyang(an) itulah yang kerap menimbulkan beragam tafsiran, khususnya dari pihak-pihak yang mempunyai otoritas keberagamaan.

Tafsiran yang biasanya dikenakan terhadap tubuh perempuan penyanyi dangdut itu telah menimbulkan berbagai (re)aksi pro dan kontra yang ujung-ujungnya membatasi, bahkan melarang, pertunjukan dangdut yang secara sepihak dinilai sebagai ”seronok”, “mesum”, atau “erotis”, padahal seperti diungkap oleh sejumlah penyanyi dangdut bahwa goyang(an) mereka itu hanyalah sebatas pertunjukan di panggung.

Para penyanyi itu sendiri tak jarang merasa malu dengan keseronokan yang disuguhkan di hadapan para penonton (laki-laki), tetapi aksi ”pura-pura” atau ”tak sengaja” itu tetap dilakukan asal tidak kelewatan dan norak.



”Bagaimanapun dia kan juga ibu dari anak-anak dan juga ibu rumah tangga,” tutur salah seorang suami penyanyi dangdut di Jogja pada 1989 (Susanto, 1992).

Selanjutnya adalah: Keprihatian yang perlu mendapat perhatian

Keprihatinan

Di sinilah sesungguhnya keprihatinan yang perlu mendapat perhatian pula ketika panggung dangdut, khususnya di Sriwedari, Solo, hilang dari hadapan masyarakat sehari-hari.

Bukan hanya karena alasan dialihfungsikan, melainkan juga lantaran dangdut, yang kini sudah tidak lagi dianggap musik kampungan atau picisan, telah kehilangan makna historis sebagai sebuah budaya tandingan.

Budaya yang mampu menggerakkan rakyat untuk bersiasat terhadap sebuah kekuasaan yang cenderung memagari, menjinakkan, dan menampung apa pun dan siapa pun yang mencoba menerobos masuk ke dalam wilayahnya.

Di situlah panggung dangdut masih dapat disebut bermakna, meski lokasinya dialihfungsikan sebagaimana terjadi di THR Sriwedari.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya