SOLOPOS.COM - Joko Wahyono (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (27/6/2015), ditulis Joko Wahyono. Penulis adalah Analis Studi Politik di Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran Mataram Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Para politikus di Senayan kembali menjadi sorotan. Kritik pedas dan penolakan keras dari berbagai elemen ternyata tidak membuat mereka mengurungkan niat ”meminta jatah” lewat program dana aspirasi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rapat Paripurna DPR, Selasa (23/6), menyepakati usulan dana aspirasi senilai Rp11,2 triliun dalam RAPBN 2016. Dari 10 fraksi hanya tiga fraksi (Fraksi PDIP, Fraksi Partai Nasdem, dan Fraksi Partai Hanura) yang menolak usulan dana aspirasi atau Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) tersebut.

Kalau merujuk UU No. 42/2014  atau UU MD3, terutama Pasal 80 huruf (j), salah satu hak anggota DPR adalah mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (dapil).

Ekspedisi Mudik 2024

Lewat dana aspirasi 20 miliar per anggota DPR per tahun itulah mereka dinilai bisa berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhan konstituen atau pembangunan di dapil asal mereka.

Dana aspirasi menyimpan kerawanan karena potensial dengan berbagai modus penyimpangan dan politisasi demi kepentingan sempit anggota DPR. Dana aspirasi mengisahkan intimitas politikus dan partai politik dengan uang.

Urusan memenuhi misi demokrasi bergerak ke kubangan uang. Uang dan otoritas jabatan memungkinkan para politikus berkehendak korupsi. Tanpa adab dan etika politik, dana aspirasi bisa menjadi modus berpamrih individu dan parpol untuk membangun eksistensi, memelihara konstituen, bahkan kampanye terselubung untuk kepentingan pemilihan umum 2019 mendatang.

Jika asumsi dana aspirasi adalah anggaran (budgeting) pembangunan dapil, DPR juga sudah mengambil alih peran eksekutif: sebagai pelaksana anggaran, bukan pengawas anggaran. [Baca: Urusan Domestik]Urusan Domestik

Semula kita berharap anggota DPR periode 2014-2019 yang dilantik pada 1 Oktober 2014 lebih baik daripada periode sebelumnya. Sebanyak 57% dari 560 anggota DPR berwajah baru mestinya mampu menciptakan terobosan-terobosan politik (baru) untuk mempercepat konsolidasi agenda publik.

Keberadaan mereka menjadi penyeimbang agregasi dan artikulasi kepentingan publik. Yang terjadi ternyata sebaliknya. Perhelatan politik di gedung parlemen lebih banyak memperjuangkan kepentingan elite politik dan partai politik.

Dari lima undang-undang yang disahkan dalam tiga kali masa sidang, tiga di antaranya berorientasi kepentingan domestik partai politik. Pada masa sidang I, DPR mengesahkan perubahan UU MD3 untuk memuluskan jalan kekuatan (partai politik) mayoritas di DPR menguasai pimpinan dan alat-alat kelengkapan DPR.

Pada masa sidang II, DPR mengesahkan revisi UU No. 1/2015 (UU Pilkada), revisi UU No. 2/2015 (UU Pemerintahan Daerah), dan UU Program Legislasi Nasional. Pada masa sidang III, DPR hanya menetapkan Perppu No. 1/2015 tentang KPK.

Beberapa waktu lalu DPR berniat merevisi UU Pilkada berdalih menghormati (baca: memperjuangkan) partai politik yang dilanda konflik agar bisa mengikuti pilkada. Ini menunjukkan semangat kinerja DPR terbelenggu pemenuhan urusan domestik elite partai politik yang tidak punya korelasi langsung dengan kepentingan publik.

Sampai hari ini belum ada aktivitas signifikan yang lahir dari gagasan besar di kalangan anggota DPR, kecuali bualan retorika dangkal untuk ”meninggalkan” rakyat.

Gejala meninggalkan rakyat ini membuktikan DPR mengalami, meminjam istilah Dan Slater (2004), ”jebakan akuntabilitas” (accountability trap) karena gagal menjalankan fungsinya (legislasi, anggaran, pengawasan).

DPR lebih merepresentasikan keterwakilan partai politik, bukan keterwakilan rakyat. Idealisme berparlemen merapuh akibat ulah politikus yang melakukan persekongkolan demokrasi (collusive democracy).

Perhelatan politik di DPR berwajah paradoksal dan sistem politik, selain tidak bekerja normal, mengalami degradasi kewibawaan. [Baca: Aib Politikus]

 

Aib Politikus
Praktik politik semacam ini jelas mengisahkan aib politikus di DPR. Begitu pula dengan dana aspirasi yang dari berbagai sisi memiliki cela, terutama terkait  ”supporting order” untuk pengawasan, pertanggungjawaban, dan implementasi.

Jika dana aspirasi DPR ini benar-benar dikonversi dalam RAPBN 2016, itu akan menjadi bentangan empiris para politikus Senayan yang lebih banyak memainkan kebijakan anggaran untuk motif politik (dan ekonomi) demi kepentingan pribadi, partai politik, dan kelompok mereka sendiri.

Merujuk gagasan Masdar Hilmy (2014), perhelatan politik di DPR sejatinya merupakan miniatur perhelatan politik di tingkat negara-bangsa. Idealnya tiap persoalan yang muncul di tingkat kebangsaan dan kenegaraan dianalisis, diurai, dan diselesaikan di gedung parlemen.

Setiap produk politik parlemen itu kemudian dilaksanakan jajaran eksekutif di tingkat praksis. Ketidakjelasan mekanisme dana aspirasi hanya akan menjadi blunder baru dalam relasi representatif antara legislatif, eksekutif, dan konstituen.

Tidak ada yang bisa menjamin dana aspirasi DPR akan benar-benar dikelola dan digunakan berdasarkan logika teknokrasi untuk menyelesaikan persoalan pembangunan rakyat kebanyakan di daerah.

Perlu memikirkan kembali mekanisme pembangunan daerah melalui proses dan alur implementasi yang jelas, road map yang kredibel, serta regulasi dan pola operasional yang akuntabel.



Ini penting untuk menghindari ineffective budgeting akibat ketidakjelasan sistem dan aktor, apalagi celah-celah korupsi terbuka lebar. Setiap tindakan politik anggota DPR seharusnya disandarkan  tidak hanya pada legitimasi aturan perundang-undangan tapi juga legitimasi norma, nilai, etika, dan moralitas publik.

DPR adalah representasi pada tataran politik formal terhadap aspirasi logis rakyat. Rakyat adalah mitra politik, bukan sekadar objek manipulatif bagi kepentingan elite politik.

Kita hari ini mendambakan politikus yang benar-benar memiliki kemampuan teknis sebagai pemegang amanah rakyat. Di situlah letak keluhuran misi berpolitik dan tanggung jawab manusia berpolitik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya